Kamis, 28 Mei 2015

Saus Stroberi

Hampir setiap minggu aku menemuinya. Wanita yang selalu kusayang dan kubanggakan. Hanya satu atau dua jam aku bisa mengunjunginya, bercengkrama dengannya. Selama satu atau dua jam itu kami hanya menghabiskan waktu berdua di tempat yang sama. Seperti tahu rutinitas kedatanganku, dia akan menunggu. Padahal aku tidak pernah memberitahu padanya bahwa aku akan datang. Tapi ia selalu memakai rasa. Perasaan yang ia gunakan untuk mengendus kedatanganku. Dan dengan santainya ia duduk di bangku taman, atau duduk di lantai lorong bangunan rumahnya kini. Seperti sore ini yang cerah di taman yang sama.
“Sarah!” aku berseru pelan.
Wanita yang kupanggil sarah hanya menoleh, tersenyum singkat. Aku berjalan mendekatinya yang tinggal beberapa meter jaraknya denganku. Sarah mengenakan baju terusan selutut berkerah sailor yang imut berwarna biru muda. Tampak manis meski dandanannya polos tanpa riasan apapun. Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya.
“Apa kabar Sarah? Kamu cantik hari ini” ucapku sambil menggenggam jemari tangannya.
Sarah hanya tersenyum singkat. Matanya menatap lurus ke depan. Jemarinya masih dalam genggamanku. Kuusap perlahan agar ia merasa nyaman didekatku. aku tak pernah kehilangan sabar untuk bisa mendapatkan senyumannya.
Waktunya mengeluarkan senjata rahasia. Roti tawar tanpa kulit dan saus selai favoritnya. Kali ini kubawakan saus cokelat. Kubuka jemarinya dan kuletakkan selembar roti di atasnya. Ia bereaksi. Sarah menatap roti itu kemudian menatap mataku. Seperti meminta sesuatu. Aku tahu dan selalu tahu tatapan matanya itu. saus cokelat. Kutuang pelan saus cokelat ke atas serat-serat roti. Membentuk dua mata, satu hidung panjang dan akhirnya, satu senyuman lebar. Sarah akhirnya tersenyum lebar. Manis sekali.
Kami berdua bersama-sama melukis di atas lembaran roti. Membentuk ekspresi tertawa, sedih, menjulurkan lidah, lalu.. sarah membentuk rumah. Dengan satu pintu, satu jendela, dan satu atap segitiga. Aku tahu ia pasti sangat merindukan rumah, tapi kondisinya sekarang tidak memungkinkan ia untuk berada di rumah sendirian. Terlalu beresiko. Aku tidak mau terjadi apa-apa pada Sarah. Bisa saja memperkerjakan suster untuknya, tapi kalau lengah. Aku tak bisa membiarkan terjadi yang tidak-tidak. Sarah aman di sini.
“kamu kangen rumah?” aku pelan-pelan bertanya. Berhati-hati.
Sarah diam saja. Pandangan matanya menatap kosong ke lukisan rumah roti tadi. Ia tak perlu menjawab. Aku bodoh mengajukan pertanyaan yang padahal sudah tahu jawabannya. Justru pertanyaanku ini hanya akan mengundang emosinya saja. Aku melirik suster yang kebetulan lewat. Memberinya tanda untuk mendekat. Untuk berjaga-jaga saja kalau Sarah meledak-ledak.
“manis.”
“apa Sarah?” aku terkejut Sarah berbicara. Dengan cepat kuberikan tanda menjauh untuk suster yang sedang berjalan mendekat. Suster hanya akan mengganggunya.
“manis.”ulangnya. Sarah mencolek saus cokelat dan dijilatnya.
“ya, semanis kamu Sarah.” Aku tersenyum.
Sarah memandang mataku. Lama sekali. Aku hanya bisa diam. Tidak kuasa menatap matanya. Mata sarah yang bulat dan jernih hanya menatapku lurus dan kosong. Tapi kekosongan itu seolah menceritakan segala hal yang dirasakan Sarah. Dan aku tahu apa saja yang dirasakannya. Makanya aku tak sanggup menatap matanya itu. aku mengalihkan pandanganku ke lukisan rumah roti Sarah.
Ada yang mengangkat daguku. Mau tak mau, pandangan kami bertemu. Jemari Sarah menelurusuri daguku sampai ke rambut di sekitar telinga lau ubun-ubun. Ia mengusapnya perlahan. Penuh kasih sayang. Aku terpana. Sarah berubah kembali menjadi sosok yang mempunyai sebuah rasa. Bibirnya membuka, seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun kemudian mengatup kembali. Ada yang menahannya. Jemarinya ia tarik cepat dari rambutku dengan gerakan kilat. Kini ia meraih botol saus cokelat.
“kamu mau melukis lagi?” tanyaku hati-hati.
Seperti biasa kembali, Sarah tidak menjawab. Ia memandangku cepat, lalu beralih ke roti dan saus cokelat lagi. Aku harus mengerti apa yang ia inginkan. Mmmh, nafasku jadi agak berat sekarang. Kadang aku tidak bisa mengerti dirinya, kadang aku bisa menjadi sangat mengerti dirinya. Sarah yang sekarang sulit kupahami. Tak bisa ditebak sama sekali.
Saus cokelat menari-nari tertuang di atas roti. Aku menerka-nerka gambar apa yang akan dibuatnya. Kuperhatikan terus gerakan Sarah. Ah, itu kan? Seperti setengah hati. Ia sempat berhenti, jemarinya menjadi kaku. Mungkin sarah ingin melanjutkan setengah hatinya menjadi satu hati utuh. Ketika hati baru terbentuk tiga perempatnya, Sarah berhenti. Tidak kaku lagi namun ia hanya memencet botol tanpa menggerakkannya seperti tadi. Saus cokelat tertuang berlebihan, merusak bentuk hati yang belum jadi. Sebelum beleber ke luar area roti, aku merebut botol saus dari Sarah. Kaget, roti tadi ia lemparkan ke kemejaku. Ah.. berantakan.
Kebetulan ada suster lewat langsung menghampiri kami. suster membantuku membersihkan saus cokelat dari kemejaku dengan sapu tangan yang dibawanya. Aku mengambil sapu tangan dari tangan suster dan mengatakan tak perlu repot-repot. Suster cantik itu hanya tersenyum. lalu berpindah membersihkan jemari Sarah yang belepotan saus cokelat. Namun sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi.
Sarah mengamuk begitu suster memegang jemarinya. Ia menyerang suster dengan melemparkan roti-roti ke arah suster. Aku berusaha memegangi tangan Sarah sebelum ia melakukan hal yang lebih buruk lagi pada suster.
“Jangan Sarah! Jangan!” teriakku pelan agar Sarah tak menganggap aku memarahinya.
Bukannya menurut, Sarah malah makin di luar kendali. Tangannya aman dalam ikatan tanganku, tapi anggota badannya yang lain tak mau diam. Kakinya menendang-nendang ke segala arah. Badannya meronta-ronta. Tenaganya semakin lama semakin kuat. Aku sampai kewalahan dibuatnya. Suster langsung berlari memanggil suster lainnya meminta bantuan. Orang-orang yang berada di taman mulai mendekati kekacauan kami. bukanya membantu, malah menonton dan sibuk dengan diri masing-masing.
Akhirnya aku tak mampu lagi meredakan Sarah. Kami berdua jatuh terduduk  ke rerumputan. aku mendekapnya. Mengelus-ngelus rambutnya. Membisikkan namanya perlahan. Air mataku sudah menetes. Aku tak peduli. Laki-laki tidak berarti cengeng jika meneteskan air mata. Ini benar-benar air mata kesedihan. Sarah yang kukenal dulu bukan seperti ini.
Suster-suster berlarian ke arah kami. tapi sadar Sarah sudah mereda dan agak tenang, mereka berjalan pelan-pelan supaya tidak mengagetkannya. Aku sendiri kagum dengan suster-suster yang sangat tanggap sekali dan paham akan situasi seperti ini. mereka sangat mengerti pasien-pasiennya. Salah satu suster sudah berada di dekat kami. yang lainnya mengusir para penonton pelan-pelan bahkan ada yang sampai harus dituntun untuk “bermain” kembali. Sarah disuntikkan obat penenang oleh suster sampai akhirnya tertidur.
Aku membopong Sarah menuju ke kamarnya. Merebahkannya, lalu mengecup keningnya lembut. “mimpi indah ya, cantik.” Bisikku di telinganya. Kemudian aku pamit kepada suster tadi. Berbasa-basi mengucap terima kasih. Bergegas keluar dari kamar Sarah, pulang. Tak ada lagi yang menahanku di sini.

***

Tiga bulan silam.

Hari yang sangat ditunggu-tunggu. Sangat mendebarkan jantung ini dan membuat otot sekitar bibir otomatis tertarik tersenyum. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu datangnya hari ini. hari pernikahanku.
Keluargaku sibuk merias diri, mempersiapkan segala sesuatunya. Pagi ini pernikahan akan diberkati di gereja dekat rumahku sementara malamnya digelar resepsi di sebuah hotel berbintang. Rasanya tak sabar menuntaskan hari ini untuk kemudian bisa berlibur bulan madu ke paris bersama perempuanku.
Ia mengenakan gaun simple berwarna biru muda, warna kesukaannya. Dengan hiasan bunga di rambutnya, bagiku sudah sangat cantik dan sempurna. “Sarah!” ia menatapku lewat pantulan cermin didepannya lalu tersenyum. aku hanya diam di pintu kamarnya, tidak mau mengganggunya. Cermin besar di depannya tak bosan menampilkan wajah ceria Sarah. Aku bertanya dengan isyarat. Bagaimana dengan penampilanku? Seperi mengerti isyaratku, sarah memberi kode dengan acungan dua jempol. Bibirnya bergerak tak bersuara, “ Perfect!”
“ Saudara Agra, apakah anda bersedia menjadi suami dari Agnastia, mencintainya sampai maut memisahkan ?”
“Ya, saya bersedia.”
“ Saudari Agnastia, apakah anda bersedia menjadi istri dari Agra, mencintainya sampai maut memisahkan?”
“Ya, saya bersedia.”
Aku menengok ke arah Sarah. Ia mengacungkan satu jempol. Kalau satu tangannya tidak memegang seikat bunga, pasti ia mengacungkan dua jempol. Aku terkekeh pelan supaya tidak menganggu pendeta. Akhirnya aku dan kekasihku resmi menjadi pasangan pengantin. Tidak, memang bukan Sarah. Ia adalah saudara tiriku yang paling cantik dan baik hati meskipun sebenarnya aku mencintainya. Tapi satu darah tetaplah sedarah. Tidak ada yang perlu tahu perasaan ini.
Tiba saatnya pelemparan bunga. Semua para wanita yang belum menikah mengikuti prosesi ini. Termasuk Sarah. Ia kelihatan ceria meskipun kebagian di deretan paling belakang. Tubuh mungilnya tergeser banyak wanita yang saling berdesakan. Aku berdiri tepat disamping istriku, Tia yang tersenyum lebar melihat antusias teman-temannya menunggu bunga yang penuh arti itu. aku mengangguk untuk Tia. Akupun tak sabar menyaksikan para wanita berebutan bunga. Semmoga Sarah yang mendapatkannya.
Tia melakukan ancang-ancang melempar bunga. Aku memberi kode untuk dilempar jauh. Tia mengangguk lalu dilemparnya seikat bunga mawar putih itu jauh. Jantungku jadi ikut berdegup kencang. Dalam slow motion, para wanita seperti berloncatan mencoba meraihn bunga yang sedang terbang bebas. Kulihat Sarah tersenyum lebar. Tanganya terangkat untuk menangkapnya. Lewat. Bunga masih terbang bebas.
“It’s mine..mine..mine !!” teriak Sarah sambil melangkah mundur menggapai bunga itu. semua wanita berteriak histeris tak sabar. Akupun tak sabar.
Dan waktupun tak sabar. Seperti cheetah yang berlari dengan kecepatan tinggi. Seperti kincir angin yang berputar cepat. Terjadi begitu saja. Teriakan histeris gembira wanita-wanita berubah menjadi teriakan histeris ketakutan. Aku membeku. Tia menggenggap tanganku erat. Ketika Sarah mendapatkan bunga mawar itu. entah sepersekian detik setelahnya. Sebuah mobil yang dikemudikan seorang vallet parking menabrak Sarah. Jantungku seperti berhenti.
Semua orang berlarian. Termasuk aku. Berusaha secepat mungkin berada disamping Sarah. Ia membutuhkanku. Namun terlambat. Ketika kuangkat kepalanya dan kutaruh dipangkuan, celana panjangku menjadi berlumuran darah. Aku baru menyadari kalau kepala Sarah saat terpental mengenai sebuah batu besar. Tanpa kuminta Tia menelepon ambulance. Semoga tidak benar-benar terlambat.
Aku menatap wajah Sarah. Tapi tunggu , ia membuka bibirnya. Sepertinya ia belum pingsan. Kudekatkan telingaku ke bibirnya. Kamu mau bilang apa Sarah?
“Terima kasih Agra.. aku.. Sarah mencintaimu..”
Kemudian Sarah pingsan. aku hampir pingsan mendengar kalimat Sarah. Benarkah hal itu? Ya ampun Sarah, kenapa kau baru bilang. Kenapa kau baru bilang di hari pernikahanku? Kenapa Sarah? Aku hanya terdiam . tak mampu berbuat apa-apa. Entah karena melihat kondisi Sarah atau karena perkataan Sarah barusan. Tak lama kemudian ambulance datang membawa Sarah ke rumah sakit. Aku juga ikut menemani. Tia dan keluargaku kupesan agar tetap melanjutkan hari ini untuk menghormati tamu.
Hari ini benar-benar kacau. Pernikahan yang tak seperti di cerita dongeng. Sekarang resepsi sedang digelar tanpa pengantin. Tia menyusulku ke rumah sakit. Ia mengerti benar bagaimana perasaanku. Sarah tak punya keluarga lagi selain aku dan ibuku. Ayahnya meninggal setahun setelah menikah dengan ibuku. Dan pada saat itu aku masih dalam kandungan ibu. Sarah seperti kakak sekaligus adik untukku. Ia dewasa, selalu bisa mendewasakanku dan ia juga manja seperti adik kecil manis yang cengeng butuh perhatian. Aku menyayanginya dan memendam perasaan itu. tanpa kutahu perasaannya sampai hari ini.
Dokter mengabarkan kalau benturan di kepala Sarah bisa fatal akibatnya karena mengenai beberapa saraf penting di otaknya. Kemungkinan besar Sarah bisa hilang ingatan atau lumpuh. Aku tak kuasa mendengarnya. Tia memelukku erat.
Setelah beberapa hari koma, Sarah akhirnya tersadar. Ia tersenyum kepadaku. Tapi begitu Tia menyapanya, Sarah mengerenyitkan dahi.
“Siapa kamu?”
“Aku Tia, sahabat kamu dan juga istri Agra. Ingat kan Sarah?” Tia berusaha tersenyum.
Sarah diam saja menatapku seperti minta penjelasan. Aku tak mengerti, bagian apa yang harus kujelaskan. Lalu ia menatap mata Tia dalam-dalam. Aku berharap Sarah bisa mengingatnya. Dalam hitungan detik, mata Sarah berubah. Ia tidak seperti Sarah yang kukenal. Matanya menjadi kosong. Tangannya memegang kepalanya mengerang kesakitan. Aku memanggil suster dan dokter. Tia memeluk Sarah mencoba menenangkan. Bukannya tenang, Sarah menjadi kasar terhadap Tia. Ia melepaskan pelukan Tia. Meronta dan meneriaki Tia sejadinya. Apa yang ia teriakan tidak pantas kuumbar. Cukup pahami apa arti teriakannya. Hanya satu. Ia mencintaiku. Dan untungnya istriku mengerti, bagaimanapun ia juga wanita.

***

Minggu ini aku datang lagi. Seperti minggu-minggu sebelumnya,aku bawakan roti dan kali ini saus stroberri. Aku masih ingat, Sarah suka sekali saus stroberi bikinan mama. Semenjak Sarah masuk rumah sakit, mama tidak mau lagi membuatnya. Setelah kubujuk, akhirnya mama yang mau membuatkan selai stroberi untuk Sarah. Dulu ia pernah sampai menyembunyikan saus stroberinya di kamar untuk dinikmati sendiri dengan berlembar-lembar roti. Dulu kami sering cekikikan berdua menggambari roti-roti itu lalu dimakan bersama. Tapi sekarang tak ada cekikikan lagi. Sarah yang sekarang pelit berekspresi.
Suster berjaga dari kejauhan mengawasi kami. Takutnya Sarah mengamuk seperti minggu lalu. Aku sendiri tak takut kalau Sarah mengamuk, hanya saja selalu timbul suatu rasa yang mungkin dinamakan bersalah. Selama beberapa minggu pernikahanku, selalu muncul kata “seandainya”. Ya, seandainya saja aku cukup gentle untuk mengungkapkan perasaanku pada Sarah sebelum melamar Tia. Seandainya saja lima tahun silam aku tidak menjadikan Tia sebagai pelarianku. Mungkin keadaan Sarah akan jauh lebih baik dari ini. Sesal memang tiada arti. Namun apa lagi yang dapat kulakukan selain menyesalinya?
Roti-roti sudah berhiaskan berbagai gambar Sarah. Aku tidak terlalu mencampuri saus stoberi Sarah. Aku lebih menikmati gerakan jemarinya menggambar. Sarah yang berbeda, namun masih Sarah yang kucintai. Tak peduli seberapa banyak ia berubah. Perubahan itu takkan mampu merubah perasaanku. Aku melihat ke sekitar. Ada ibu-ibu menggendong boneka sambil bernyanyi nina bobo, mungkin ia kehilangan bayinya sehingga jadi gila seperti itu. ada juga seorang pemuda yang menubruk-nubrukan badannya ke tembok, mungkin ia kira ia adalah seorang titisan harry potter yang dapat menembus tembok. Ah banyak sekali orang yang tak dapat kumengerti di sini. mungkin aku harus ikut tak waras agar dianggap ‘waras’ oleh penghuni rumah sakit ini.
Sarah menarik-narik kerah kemejaku. Sepertinya ia sadar aku sedang memerhatikan orang lain. Aku tak ingin membuatnya kecewa karena merasa tak diperhatikan. Kualihkan mataku pada tumpukan roti-roti berselimut saus stroberi. Namun ada satu yang menarik perhatianku. Selembar roti dengan topping saus berbentuk hati yang besar. Menyadari tatapan mataku, Sarah mengambil roti tersebut. Lalu disodorkannya untukku. Bukannya meraih pemberiannya, aku malah langsung menatap matanya. Matanya terlihat jauh lebih menarik ketimbang roti itu. seperti berbicara. Dan aku mencoba mendengar matanya berbicara.
Hati ini untuk kamu.
Aku mengerenyitkan dahi. Apakah aku sudah gila mendengar matanya berbicara?
Ya, ini hati aku.
Gila, ini benar-benar gila. Aku yakin aku bisa mendengar suara Sarah dengan jelas meski tak sedikitpun bibirnya bergerak. Apakah aku ..
Kamu engga gila Agra..
Kuberanikan diri menatap mata Sarah. Apakah ini yang dinamakan ikatan batin? Atau apakah aku sudah benar-benar gila? Sarah tersenyum kepadaku. Aku jadi makin tak mengerti. Apa yang terjadi sebenarnya?
Aku ingin pulang, Agra. Aku rindu menbuat selai stroberi bersama ibu.
Sarah. Kuperhatikan dalam-dalam matanya. Sorot matanya. Tegas dan jujur. Sarah yang kukenal dulu telah kembali. Tapi kenapa hanya aku yang bisa mendengar suara hatinya? Apa yang harus aku lakukan?
Bawa aku pulang bersama kamu. Aku mohon.
Air mata Sarah menetes. Suster yang sedang memperhatikan kami langsung mendekati. Ia memberikan isyarat untukku pergi. Aku kembali menatap mata Sarah. Matanya memohon kepadaku. Sangat.
Stroberi. Aku ingin membuatnya lagi bersamamu.
Kepalaku berputar cepat, mengambil keputusan tak terduga namun sekaligus buat hatiku bahagia.
“Suster, saya ingin membawa Sarah pulang hari ini juga.” Ujarku.
Suster didepanku tampak terkejut. Ia tahu, aku tidak main-main karena aku sedari tadi menggenggam tangan Sarah. aku mengangguk yakin lalu tersenyum pada Sarah. aku ingin suster tahu bahwa Sarah sudah tak membutuhkan tempat ini. senyum Sarah mengembang. Sarah telah kembali.

***

Satu tahun kemudian.

“Ibu..ibu.. lihat stroberi yang kupetik, banyak bukan?” teriak Sarah dari kebun sambil mengangkat-angkat ember berisi penuh buah stroberi.
Ibuku sedang merajut di gazebo kebun stroberi. Ia melirik sekilas lalu mengacungkan jempol pada Sarah. Aku juga ikut mengacungkan jempol. Sarah tertawa gembira. Ia berlari-lari menghampiri kami.
“Nah.. Sarah mau buatkan kamu saus stroberi yaa adik manis..” ucapnya sambil menaruh ember penuh stroberi lalu ingin bergantian denganku menggendong Sissy, buah pernikahanku dengan Tia.
Sarah menggendongnya, memeluknya, menciuminya. Aku bahagia melihatnya begitu ceria. Senyum dan tawa Sarah seolah menghilangkan peristiwa kematian Tia ketika melahirkan Sissy. Saat itu, aku menemani persalinannya. Menyaksikan Tia yang berusaha begitu keras melahirkan bayiku, menatap kaget darah yang mengalir deras. Ya, Tia meninggal sesaat setelah bayi kami menangis sejadinya begitu melihat dunia luar. Aku sempat melihat Tia yang terkulai lemas itu tersenyum. lalu Tia pingsan dan ia tak terselamatkan lagi.
“ma..ma..ma..” aku kaget. Sarah pun tak kalah kaget. Ibu menghentikan rajutannya. Mendekati sissy.
“mamamamamamama” Sissy kembali bertingkah lalu tertawa menggemaskan. Sarah menatap padaku.
“boleh nih, aku dipanggil mama sama Sissymu?”
Aku langsung gelagapan. Ibu hanya mencibir lalu tertawa. Akhirnya kami semua tertawa. Tapi Sissy benar, ia butuh seseorang yang bisa dipanggilnya mama. Apakah ini waktu yang tepat?
“Mam.. Agra ingin menyampaikan sesuatu..” Ibu menatapku, terlihat penasaran dengan kata-kataku selanjutnya.
Aku berdeham. Sarah ikut menatapku. Sissy hanya menatap Sarah.
“Aku rasa, Sissy memang membutuhkan kasih sayang seorang Ibu. Dan aku rasa.. wanita yang tepat adalah.. Sarah.” ibu terlihat tak kaget malah tersenyum. sosok yang ada didepanku ini mengangguk, mendukung seraya berkata, katakan sekarang atau tidak sama sekali.
“Sarah.. apa kamu mau menjadi ibu dari Sissy? Menjadi suami dari ayahnya Sissy?” aku menatap pada Sarah. meskipun tanpa persiapan apapun dan tanpa cincin sekalipun, aku sangat mantap dengan kalimatku barusan.
Air matanya menetes. Lalu senyumnya mengembang. Sarah melirik pada ibu, dan hanya anggukan kepala yang terlihat. Sarah tersenyum lebar.
“Tentu saja mau!!” jawabnya ceria, khasnya Sarah.
“mamamamamamama” Sissy tampak ikut bahagia mempunyai Ibu baru.
Kami semua memeluk Sissy yang membuatnya jadi tak mau diam. Tangan dan kakinya bergerak-gerak sembarangan.
Praaanggggg.
Ember yang terbuat dari seng itupun terjatuh, terkena tendangan kaki Sissy yang tak mau diam. Stroberi berjatuhan berceceran. Merah dimana-mana.
“eehh.. Sissy mau buat saus stroberi yah?” canda Sarah.
Kami semua tertawa lagi. Entah Sissy atau Sarah yang memang konyol, dua-duanya cocok sepertinya. Dan sepertinya Sissy menyukai stroberi juga. Ia ingin turun dari gendongan Sarah, merasakan inderanya meraba stroberi berceceran dimana-mana.
Saus stroberi. Segala sesuatu yang dibuat dengan cinta, yang dibuat dari hati yang tulus pasti tersembunyi rahasia didalamnya. Rahasia yang tanpa perlu kuketahui awalnya, namun sudah kuketahui akhirnya secara fakta.
Stroberi. Tanpa kusadar, buah ini yang menjadi faktor medium bagi aku dan Sarah. Cinta yang rasanya sulit ditebak. Cinta yang harus dipupuk terus seperti tanaman stroberi supaya berbuah manis. Dan menghasilkan saus yang manis rasanya. Saus Stroberi.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar