Rabu, 27 Mei 2015

Invisible Diary

Kehidupanku perlahan berubah sesudah menemukannya. Sebuah catatan rahasia entah milik siapa, yang secara misterius muncul tiba-tiba menggantikan diary milikku yang selalu kutaruh dalam loker di sekolah. Diary adalah tempat aku mencurahkan segala isi hati, berbagi kesedihan maupun kebahagiaan,satu-satunya teman yang ada. Dan perkenalkan, namaku Clara. Aku akan membagi kisahku untuk kamu, yang mungkin saja bernasib sama denganku. Begini awal ceritanya.
Umurku tepat 15 tahun ketika pindah sekolah ke kota ini. Pekerjaan ayahku yang selalu berpindah-pindah menjadi penyebabnya. Maklum, beliau adalah seorang seniman yang tak pernah betah tinggal lama-lama di satu kota. Ia selalu mengajakku pindah ketika ia sudah tak punya inspirasi melukis lagi. Ya, inspirasinya selalu mampir hanya sebentar. Dan hal tersebut berlangsung semenjak Ibu tiada. Menurut ayah, inspirasinya adalah Ibu. Ibu sudah pergi, maka mati pula inspirasinya.
“Nama saya Clara Diana.” Ucapku pelan di depan kelas, memperkenalkan diri sebagai anak baru sesuai perintah Ibu guru.
“Silahkan duduk, Clara. ” aku mengangguk tanpa tersenyum sama sekali,berjalan ke tempat duduk kosong yang berada di pojokan kelas.
Percakapan tadi adalah kali ketiga terjadi dalam tahun ini. Aku masih duduk di kelas satu SMA jurusan IPA. Kadang aku ingin home schooling saja, tapi Ayah tak mengizinkan. Ia bilang supaya aku bisa punya sahabat jika sekolah biasa. Tapi hasilnya nihil. Setiap aku baru memiliki sahabat, secara kebetulan ayah mengucapkan tiga kata mantra yang menyebalkan, “Ayo kita pindah.” Dan aku tak kuasa menolak ajakan seseorang yang sudah membesarkan dan merawat diriku.
Makanya kali ini aku tak berminat sama sekali untuk beradaptasi ataupun bersosialisasi. Yang kulakukan setiap hari di sekolah hanyalah belajar dan menulis diary. Diary itu kunamakan Hope. Berwarna hitam polos, besar seperti agenda. Selalu kusimpan dalam loker berkunci milikku di sekolah. Kalau taruh di rumah, Ayah pasti akan membacanya.
Istirahat siang adalah waktunya aku menulis diary. Kuambil di loker, lalu berjalan perlahan menuju perpustakaan. Tempat favoritku untuk menulis memang sebuah ruangan yang terletak di lantai tiga gedung sekolah ini. realtif sepi. Meski dalam satu angkatan terdapat 3 kelas, tapi tak menjamin banyaknya pengunjung di perpustakaan. Mereka terlalu sibuk bergosip, makan bersama, atau apapun itu yang berhubungan dengan bersosialisasi. Tak penting buatku. Pengunjung perpustakaan paling banyak hanya lima orang, itupun langka. Seperti sekarang, kulihat hanya ada satu siswi tengah menekuni Novel berjudul “The Look”.Aku mengambil posisi duduk di dekat jendela yang menyuguhkan pemandangan gunung Salak dari kejauhan. Indah, memang. Di sela-sela menulis, aku melabuhkan pandangan ke bawah, melihat sejenak orang-orang bermain basket dan di dekat mereka ada sekelompok wanita memakai kaos dan rok, bersorak-sorak.
Pemandu sorak. Sebenarnya aku suka sekali mereka. Cantik, selalu gembira, menawan dengan gerakan-gerakan lincahnya. Andai saja aku bisa berkesempatan menjadi anggota mereka. Tapi satu sisi diriku yang lain menolak, bukan Clara namanya. Untuk apa? Toh aku tidak akan lama di sini. Aku kembali menulis, mengenyahkan khayalan menjadi seorang dari mereka. Meski dalam hati mengucap mantra, “Semoga suatu hari nanti, aku bisa merasakan menjadi bagian dari mereka.”
Keajaiban itu ada, keajaiban itu nyata. Aku melihat tulisan itu sekilas, tertempel pada salah satu mading sekolah. Cukup membuatku memejamkan mata, merenungi maknanya meski kaki tetap melangkah menuju kelas. Bruuk. Ups. Aku menabrak seseorang. Buku-buku yang dibawanya berserakan di lantai. Aku membantu memungutinya, tanpa merasa perlu meminta maaf. Haikal. Kubaca tag namanya yang tertera pada bajunya di dada sebelah kanan. Dia adalah ketua di kelasku. Ia tersenyum seraya mengucapkan terima kasih, kuhiraukan saja sambil berlalu pergi ke dalam kelas. Aku tak sengaja menangkap sosoknya yang berdiam memerhatikan dari balik pintu kelas begitu aku duduk. Alisku terangkat. Orang aneh.
Ini adalah hari ke 20 aku bersekolah disini. Tak ada yang berubah banyak semenjak kedatanganku pada hari pertama sekolah. Semua tampak biasa saja. Nilai pelajaranku juga bagus. Dan aku bersyukur disini belum ada tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Karena aku yakin, tak ada yang mau sekelompok denganku. Siapa yang mau? Siswi tak menarik nan sombong. Miss invisible. Kiranya itu adalah julukan yang pas untuk seorang Clara. Pernah sih ada salah satu cewek yang mendekatiku, tapi kuladeni hanya dengan anggukan, gelengan dan tatapan mata tak mau diganggu. Akhirnya ya gagal.
Klik.kluk. kudengar suara kombinasi kunci loker diputar-putar oleh pemiliknya. Haikal, kulirik sekilas. Rupanya lokernya berada tepat disebelahku. Ia tersenyum begitu menyadari kehadiranku. Aku pura-pura tak melihat, berdalih membuka loker, mengambil diaryku. Haikal masih berdiri di tempat tadi setelah aku menutup pintu loker. Bukan mencari-cari barang di dalam loker, bukan. Lokernya sudah ia tutup sedari tadi. Tapi memandangiku. Aku balas menatapnya dengan tak suka, berbalik pergi menuju perpustakaan. Kenapa sih dia?
Oh, hope, mengapa cowok itu aneh sekali? Keluhku dalam hati. Kuletakkan diary di atas meja dan astaga! Apa yang terjadi dengan diaryku? Warnanya berubah menjadi biru. Sedangkan untuk ukuran dan bentuknya, masih sama seperti yang dulu. Penasaran, kubuka lembaran pertama. Tertulis disitu. This is Miracle. Lembaran kedua. Tertulis kata-kata yang diukir-ukir dengan tarian pulpen cair warna biru. You’re beautiful, You’re confidence. Ini bukan hope! Ini bukan tulisanku. Buru-buru aku kembali lagi menuju loker, memeriksa ke dalam loker, siapa tahu diaryku tertinggal di sana. Tapi kosong. Tak ada apa-apa lagi di dalam loker itu. aku berjalan perlahan menelusuri lorong loker yang sepi, kembali menuju perpustakaan. Lantas ini diary punya siapa? Kujelajahi halaman demi halaman diary misterius ini, tapi tak tertulis siapa pemiliknya. Aku seperti terhipnotis.Rasanya seperti ada sesuatu. Aku merasakan sebuah kekuatan yang aneh timbul dari dalam hati. Entah karena membaca setiap kalimat yang penuh motivasi, atau Diary ini memang ajaib? Kudekap erat diary ini. Mataku terpejam, menikmati kekuatan yang merasuki jiwa ini.
Pagi ini cerah seperti pagi-pagi sebelumnya. Tapi aku bersemangat pagi ini. Entah kenapa. Ayah sampai terheran-heran saat mendengarku mengucapkan selamat pagi dengan ceria. Aku berjalan menuju sekolahku dengan riang. Rasanya seperti habis menang undian. Begitu memasuki gerbang sekolah, kuucapkan mantra dalam hati. “Aku bisa!”. Ya, aku bisa dan aku memang bisa. Tersenyum kepada setiap orang yang kutemui. Bahkan menyapa alih-alih mengucapkan selamat pagi untuk teman sebangkuku. Siswi yang tempo hari mendekati, tapi hanya perlakuan tak berkawan yang ia dapat. Namanya Lisa. Hari ini aku harus memulai menebus dosa. Diary misterius itu, membukakan mata, juga hatiku.
Istirahat siang. Rutinitasku ke perpustakaan tampaknya memang tak bisa dirubah meski diriku sudah mulai berubah. Aku masih butuh kesendirian dan keheninganku. Hope masih belum kembali. Baiklah, yang aku butuhkan sekarang bukan tulisan-tulisan keluhanku. Yang aku butuhkan adalah kalimat pembakar semangat. Aku tak sabar membaca halaman-halaman berikutnya. Tulisannya sangat rapih, bagus dan halus sekali seperti diukir oleh bidadari. Atau memang mungkin bidadari yang menulisnya? Aku tersenyum geli. “Yes You can, yes you have to try!” Setiap tulisan pengalaman sang pemilik diary, ditutup dengan sebuah kutipan motivasi. Sihir. Kata-katanya menyihir diriku saat ini. kupejamkan mata. Kurasakan desir angin menggelitik hidungku. Jendela terbuka sedikit karena ulahnya pula. Begitu kubuka, kudengar sorak-sorai dari arah lapangan basket. Pemandu sorak. Apakah aku bisa memulai mencoba?
Masih ada 5 menit lagi sebelum bel berbunyi. Setelah menit-menit pemberontakkan dalam diriku, akhirnya aku berhasil memutuskan. Tak ada salahnya mencoba. Kucoba mendekati lapangan basket, anggota pemandu sorak sudah selesai latihan rupanya. Mereka sedang berleha-leha di lapangan sambil meneguk air dengan cepat tandas.
“Maaf..” ucapku pelan.
“Ya, ada apa?” sahut seorang cewek yang berpostur kecil-sama sepertiku sambil berdiri. Kecil, tapi ia terlihat begitu mengagumkan. Ia kaptennya. Aku sering memerhatikannya. Kalau tidak salah dengar, namanya Sasya.
“Apakah masih ada pendaftaran bagi calon anggota cheers?” Gugup. Sumpah. Jemariku bergerak tak karuan.
Ia tersenyum. lalu dengan riang menjawab, “Tentu aja! Kamu anak baru ya?” Aku mengangguk pelan. Gugupku bertambah. Getaran jemariku meningkat. Sungguh tak percaya dengan apa yang kudengar. Waw! Semudah inikah?
“Sasya, aku kaptennya.” Ia mengulurkan tangannya yang putih bersih.
“Clara.” Kujabat tangannya halus, balas memperkenalkan diri. Sasya tersenyum lalu membalikkan badan ke arah anggota lainnya yang masih duduk beristirahat, mengumumkan ada calon anggota baru. Mereka semua tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku. Bersahabat. Aku membalasnya dengan senyuman paling manis dariku.
Ini adalah hari ke 30 aku bersekolah disini. Banyak perubahan, dimana-mana. Termasuk di diriku. Aku tak menyangka, di kota ini sebuah takdir yang sama tak lagi menghantui. Aku punya banyak teman sekarang. Dan sahabat. Lisa adalah teman sebangku sekaligus sahabat yang baik untukku. Kesan pertamaku dulu tak begitu diambil pusing olehnya. Ia bilang, wajar kalau aku butuh adaptasi lebih lama di lingkungan baru. Namanya juga remaja. Ah, Lisa memang tidak tahu soal diary biruku. Ini rahasia. Dan Lisa memang belum pernah kuajak ke tempat favoritku. Biarlah menjadi rahasiaku lainnya. Setiap jam istirahat, aku akan berkata ingin ke kamar mandi. Jadi aku punya waktu 10 menit, sebelum janjian dengan Lisa di lapangan basket. Ia sahabat setia. Lisa akan duduk menunggu di pinggir lapangan sambil memperhatikanku latihan cheers. Kabar baik satu lagi, aku sudah resmi jadi anggota!
Dua bulan lagi akan diadakan perlombaan cheers. Aku sih tidak ikut lomba, karena masih freshgirl dan belum pengalaman. Tak kalah antusias, aku selalu menyemangati anggota lainnya termasuk Sasya, kapten cheers. Ini adalah pertandingan terakhir untuknya, karena sebentar lagi Sasya akan naik ke kelas tiga yang memang sudah peraturan di sekolah bahwa tidak boleh ada kegiatan ekskul untuk siswa-siswi kelas 3, tak terkecuali. Sasya terlihat sangat bersemagat, tak mengenal lelah latihan. Sampai kejadian itu datang. Semua anggota cheers panik. Panik lapor ke guru, panik menelepon ambulance. Sasya jatuh ketika berada di posisi top. Pingsan seketika. Ketika ambulance lalu membawa Sasya, barulah kepanikan terhenti. Berganti dengan kekhawatiran.
Aku dan Lisa menjenguk Sasya di rumah sakit, sepulang sekolah. Sasya sudah sadar namun masih lemah. Tulang tangan kirinya nya patah. Kakinya belum bisa digerakkan, ada urat yang putus katanya. Ketika anggota cheers sudah sampai, mereka menangis melihat kondisi Sasya. “Sudah, sudah. Aku ngga kenapa-kenapa kok girls.” Ucap Sasya menenangkan. Bukannya tenang, mereka makin menangis. Aku sendiri tak bisa menangis, hanya diam. “Terus gimana nasib tim kita, Sas?” tanya Linda, salah satu anggota cheers. Aku melihat wajah Sasya, merasa bersalah. Lalu tiba-tiba pandangan mata Sasya bertubrukan denganku. Kaget, aku memalingkan wajah ke arah Lisa.
“Clara, coba kamu berdiri?” pinta Sasya setelah terdiam sejenak. Anggota lainnya tidak menyadari Sasya telah bersuara.
Dengan kaku, aku berdiri menuruti permintaan Sasya. Lantas, ia tersenyum lalu menjentikkan jari lentiknya. “Pengumuman-pengumuman”, Sasya berteriak pelan tapi lantang. Membuat segerombol cengeng terdiam, memerhatikan. “Kalian harus mendidik Clara extra keras, untuk gantikan posisiku si top. Lihat, posturnya sama kan denganku?” Perintah Sasya. Terdengar seru-seruan kaget. Aku sendiri pun luar biasa keget. Kugenggam erat tangan Lisa. Aku menatap Sasya. Memangnya aku bisa? Seakan membaca pikiranku, Sasya mengangguk mantap lalu tersenyum padaku. Gugup yang kurasakan dulu, tiba lagi dan datang 10 kali lipat.
Setiap hari aku latihan. Pagi sebelum bel masuk sekolah, istirahat siang, dan sepulang sekolah. Rasanya letih sekali. Tapi kulakukan semua dengan senang hati. Meski berat, aku selalu ingat kata-kata penyemangat dari diary biruku. Semua orang juga menyemangatiku. Sasya yang sudah masuk sekolah meski menggunakan gips di lengan, teman-teman di cheers, Lisa sahabat baikku, dan bertambah satu orang lagi, Haikal. Semenjak tahu aku ditunjuk menjadi pengganti Sasya, ia intensif mendekatiku. Entah membawakanku bekal, atau sekedar minuman. Sepertinya, ia suka padaku. Kalau aku? Memikirkan perlombaan saja sudah cukup membuatku stres. Jadi persoalan Haikal belum kuambil pusing.
H-2 menjelang lomba. Aku rasa ini sudah saatnya aku butuh pembakar semangat. Meski halaman diary biru sudah habis kubaca, tapi dengan membacanya lagi pasti bisa memompa energiku menjadi penuh kembali. Cepat-cepat kuambil langkah, sembunyi dari anggota cheers yang kalau ketemu pasti langsung menarikku ke lapangan untuk latihan. Lima menit saja, kumohon dalam hati. Di loker sudah ada Haikal, berdiri di depan lokernya. Aku tersenyum menyapa dan tanpa perlu basa-basi lagi langsung kuambil diary dan berbalik menuju perpustakaan. Ah, akhirnya. Kunikmati desiran angin menggoda begitu duduk. Aku tersenyum lalu berpaling ke diary biru. Eh? Apa yang terjadi? ini bukan diary biru, ini hope! Kubuka halaman demi halaman dan hanya ada tulisanku. Kemana dia? Aku bangun, berbalik lari menuju loker. Dan bruuk! Aku menabrak seseorang. Dia mengambil diaryku, lalu diserahkannya padaku. Haikal. Sejak kapan ia berdiri di balik pintu perpustakaan? Aku tak mengindahkannya, buru-buru lari menuju loker. Hilang! Lokerku kosong.
“Clara? Cari apa sih?” tanya Haikal, cukup mengagetkanku. Rupanya ia mengikutiku.
“Kamu suka perhatikan aku kan? Kamu lihat diary biru yang selalu kuambil dari loker?” tanyaku langsung.
Haikal tampak kaget bercampur bingung. Dahinya berkerut. “sepertinya aku selalu melihat kamu membawa diary hitam yang kamu pegang sekarang. Memangnya kamu punya 2 diary?” aku menggeleng pelan.
Kudongakkan kepala, berniat menutup pintu loker. Alangkah terkejutnya aku, ada secarik kertas menempel di balik pintunya. “Congrats! I’m so proud of you, Clara.” Kertasnya berwarna biru. Pasti disobek dari diary biru! Haikal menyolek lenganku pelan. begitu aku akan mengambil sobekan kertas yang tertempel itu, lenyap. Tiba-tiba saja lenyap. Pantas saja. Ternyata memang hanya aku yang bisa melihatnya. Aku berbisik mengucapkan,”Terima kasih”. Dia pasti mendengarnya. Teman rahasiaku. Haikal kembali menyolek lenganku. Buru-buru kusimpan hope lalu kututup loker. Kujawil hidung Haikal. “Genit! Colek-colek.” Candaku. Wajahnya bersemu merah, malu. Bersamaan dengan teriakan dari Linda, yang ternyata mencariku untuk latihan.
Aku bisa! Dan ya, memang aku bisa! Kuucapkan mantra dalam hati sebelum tampil dihadapan para juri dan penonton. Keajaiban itu ada, keajaiban itu nyata. Aku membuktikkan sendiri. Clara yang awalnya tak percaya diri, tak bersahabat, dan tak merasa bahagia. Bisa berubah segila ini. Menjadi Clara yang percaya diri, bersahabat dan selalu merasa bahagia berkat hatiku kuat dan aku yakin aku mampu. Ini bukan kebetulan, perubahan selalu melalui proses lewat faktor medium entah apapun itu.

Kuangkat piala kejuaraan cheers tinggi-tinggi dihadapan semua orang. Aku tersenyum lebar. Semua menontonku. Termasuk Ayah. Aku berteriak padanya, “Ayah! Jangan pernah katakan tiga kata menyebalkan itu lagi!” Ayah tersenyum kikuk. Lalu mengacungkan jempol, berteriak menjawab,”Kamu adalah inspirasiku sekarang!”. Orang-orang bertepuk tangan menyaksikan drama antara anak dan ayah ini meski sebenarnya mereka tidka mengerti apa artinya. Memangnya aku peduli? aku hanya peduli dengan kebahagiaan orang sekitarku. Percayalah, keajaiban itu pasti terjadi suatu hari nanti jika kamu meyakininya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar