Kehidupanku
perlahan berubah sesudah menemukannya. Sebuah catatan rahasia entah milik
siapa, yang secara misterius muncul tiba-tiba menggantikan diary milikku yang
selalu kutaruh dalam loker di sekolah. Diary adalah tempat aku mencurahkan
segala isi hati, berbagi kesedihan maupun kebahagiaan,satu-satunya teman yang
ada. Dan perkenalkan, namaku Clara. Aku akan membagi kisahku untuk kamu, yang
mungkin saja bernasib sama denganku. Begini awal ceritanya.
Umurku
tepat 15 tahun ketika pindah sekolah ke kota ini. Pekerjaan ayahku yang selalu
berpindah-pindah menjadi penyebabnya. Maklum, beliau adalah seorang seniman
yang tak pernah betah tinggal lama-lama di satu kota. Ia selalu mengajakku
pindah ketika ia sudah tak punya inspirasi melukis lagi. Ya, inspirasinya
selalu mampir hanya sebentar. Dan hal tersebut berlangsung semenjak Ibu tiada.
Menurut ayah, inspirasinya adalah Ibu. Ibu sudah pergi, maka mati pula
inspirasinya.
“Nama
saya Clara Diana.” Ucapku pelan di depan kelas, memperkenalkan diri sebagai
anak baru sesuai perintah Ibu guru.
“Silahkan
duduk, Clara. ” aku mengangguk tanpa tersenyum sama sekali,berjalan ke tempat
duduk kosong yang berada di pojokan kelas.
Percakapan
tadi adalah kali ketiga terjadi dalam tahun ini. Aku masih duduk di kelas satu
SMA jurusan IPA. Kadang aku ingin home schooling saja, tapi Ayah tak
mengizinkan. Ia bilang supaya aku bisa punya sahabat jika sekolah biasa. Tapi
hasilnya nihil. Setiap aku baru memiliki sahabat, secara kebetulan ayah
mengucapkan tiga kata mantra yang menyebalkan, “Ayo kita pindah.” Dan aku tak
kuasa menolak ajakan seseorang yang sudah membesarkan dan merawat diriku.
Makanya
kali ini aku tak berminat sama sekali untuk beradaptasi ataupun bersosialisasi.
Yang kulakukan setiap hari di sekolah hanyalah belajar dan menulis diary. Diary
itu kunamakan Hope. Berwarna hitam polos, besar seperti agenda. Selalu kusimpan
dalam loker berkunci milikku di sekolah. Kalau taruh di rumah, Ayah pasti akan
membacanya.
Istirahat
siang adalah waktunya aku menulis diary. Kuambil di loker, lalu berjalan
perlahan menuju perpustakaan. Tempat favoritku untuk menulis memang sebuah
ruangan yang terletak di lantai tiga gedung sekolah ini. realtif sepi. Meski
dalam satu angkatan terdapat 3 kelas, tapi tak menjamin banyaknya pengunjung di
perpustakaan. Mereka terlalu sibuk bergosip, makan bersama, atau apapun itu
yang berhubungan dengan bersosialisasi. Tak penting buatku. Pengunjung
perpustakaan paling banyak hanya lima orang, itupun langka. Seperti sekarang,
kulihat hanya ada satu siswi tengah menekuni Novel berjudul “The Look”.Aku mengambil
posisi duduk di dekat jendela yang menyuguhkan pemandangan gunung Salak dari
kejauhan. Indah, memang. Di sela-sela menulis, aku melabuhkan pandangan ke
bawah, melihat sejenak orang-orang bermain basket dan di dekat mereka ada
sekelompok wanita memakai kaos dan rok, bersorak-sorak.
Pemandu
sorak. Sebenarnya aku suka sekali mereka. Cantik, selalu gembira, menawan
dengan gerakan-gerakan lincahnya. Andai saja aku bisa berkesempatan menjadi
anggota mereka. Tapi satu sisi diriku yang lain menolak, bukan Clara namanya.
Untuk apa? Toh aku tidak akan lama di sini. Aku kembali menulis, mengenyahkan
khayalan menjadi seorang dari mereka. Meski dalam hati mengucap mantra, “Semoga
suatu hari nanti, aku bisa merasakan menjadi bagian dari mereka.”
Keajaiban
itu ada, keajaiban itu nyata. Aku melihat tulisan itu sekilas, tertempel pada
salah satu mading sekolah. Cukup membuatku memejamkan mata, merenungi maknanya
meski kaki tetap melangkah menuju kelas. Bruuk. Ups. Aku menabrak seseorang.
Buku-buku yang dibawanya berserakan di lantai. Aku membantu memungutinya, tanpa
merasa perlu meminta maaf. Haikal. Kubaca tag namanya yang tertera pada bajunya
di dada sebelah kanan. Dia adalah ketua di kelasku. Ia tersenyum seraya
mengucapkan terima kasih, kuhiraukan saja sambil berlalu pergi ke dalam kelas.
Aku tak sengaja menangkap sosoknya yang berdiam memerhatikan dari balik pintu
kelas begitu aku duduk. Alisku terangkat. Orang aneh.
Ini
adalah hari ke 20 aku bersekolah disini. Tak ada yang berubah banyak semenjak
kedatanganku pada hari pertama sekolah. Semua tampak biasa saja. Nilai
pelajaranku juga bagus. Dan aku bersyukur disini belum ada tugas yang harus
dikerjakan secara berkelompok. Karena aku yakin, tak ada yang mau sekelompok
denganku. Siapa yang mau? Siswi tak menarik nan sombong.
Miss invisible. Kiranya itu adalah julukan yang pas untuk seorang Clara. Pernah
sih ada salah satu cewek yang mendekatiku, tapi kuladeni hanya dengan anggukan,
gelengan dan tatapan mata tak mau diganggu. Akhirnya ya gagal.
Klik.kluk.
kudengar suara kombinasi kunci loker diputar-putar oleh pemiliknya. Haikal,
kulirik sekilas. Rupanya lokernya berada tepat disebelahku. Ia tersenyum begitu
menyadari kehadiranku. Aku pura-pura tak melihat, berdalih membuka loker,
mengambil diaryku. Haikal masih berdiri di tempat tadi setelah aku menutup
pintu loker. Bukan mencari-cari barang di dalam loker, bukan. Lokernya sudah ia
tutup sedari tadi. Tapi memandangiku. Aku balas menatapnya dengan tak suka,
berbalik pergi menuju perpustakaan. Kenapa sih dia?
Oh,
hope, mengapa cowok itu aneh sekali? Keluhku dalam hati. Kuletakkan diary di
atas meja dan astaga! Apa yang terjadi dengan diaryku? Warnanya berubah menjadi
biru. Sedangkan untuk ukuran dan bentuknya, masih sama seperti yang dulu.
Penasaran, kubuka lembaran pertama. Tertulis disitu. This is Miracle. Lembaran
kedua. Tertulis kata-kata yang diukir-ukir dengan tarian pulpen cair warna
biru. You’re beautiful, You’re confidence. Ini bukan hope! Ini bukan tulisanku.
Buru-buru aku kembali lagi menuju loker, memeriksa ke dalam loker, siapa tahu
diaryku tertinggal di sana. Tapi kosong. Tak ada apa-apa lagi di dalam loker
itu. aku berjalan perlahan menelusuri lorong loker yang sepi, kembali menuju
perpustakaan. Lantas ini diary punya siapa? Kujelajahi halaman demi halaman
diary misterius ini, tapi tak tertulis siapa pemiliknya. Aku seperti
terhipnotis.Rasanya seperti ada sesuatu. Aku merasakan sebuah kekuatan yang
aneh timbul dari dalam hati. Entah karena membaca setiap kalimat yang penuh
motivasi, atau Diary ini memang ajaib? Kudekap erat diary ini. Mataku terpejam,
menikmati kekuatan yang merasuki jiwa ini.
Pagi
ini cerah seperti pagi-pagi sebelumnya. Tapi aku bersemangat pagi ini. Entah
kenapa. Ayah sampai terheran-heran saat mendengarku mengucapkan selamat pagi
dengan ceria. Aku berjalan menuju sekolahku dengan riang. Rasanya seperti habis
menang undian. Begitu memasuki gerbang sekolah, kuucapkan mantra dalam hati.
“Aku bisa!”. Ya, aku bisa dan aku memang bisa. Tersenyum kepada setiap orang
yang kutemui. Bahkan menyapa alih-alih mengucapkan selamat pagi untuk teman
sebangkuku. Siswi yang tempo hari mendekati, tapi hanya perlakuan tak berkawan
yang ia dapat. Namanya Lisa. Hari ini aku harus memulai menebus dosa. Diary
misterius itu, membukakan mata, juga hatiku.
Istirahat
siang. Rutinitasku ke perpustakaan tampaknya memang tak bisa dirubah meski
diriku sudah mulai berubah. Aku masih butuh kesendirian dan keheninganku. Hope
masih belum kembali. Baiklah, yang aku butuhkan sekarang bukan tulisan-tulisan
keluhanku. Yang aku butuhkan adalah kalimat pembakar semangat. Aku tak sabar
membaca halaman-halaman berikutnya. Tulisannya sangat rapih, bagus dan halus
sekali seperti diukir oleh bidadari. Atau memang mungkin bidadari yang
menulisnya? Aku tersenyum geli. “Yes You can, yes you have to try!” Setiap
tulisan pengalaman sang pemilik diary, ditutup dengan sebuah kutipan motivasi.
Sihir. Kata-katanya menyihir diriku saat ini. kupejamkan mata. Kurasakan desir
angin menggelitik hidungku. Jendela terbuka sedikit karena ulahnya pula. Begitu
kubuka, kudengar sorak-sorai dari arah lapangan basket. Pemandu sorak. Apakah
aku bisa memulai mencoba?
Masih
ada 5 menit lagi sebelum bel berbunyi. Setelah menit-menit pemberontakkan dalam
diriku, akhirnya aku berhasil memutuskan. Tak ada salahnya mencoba. Kucoba
mendekati lapangan basket, anggota pemandu sorak sudah selesai latihan rupanya.
Mereka sedang berleha-leha di lapangan sambil meneguk air dengan cepat tandas.
“Maaf..”
ucapku pelan.
“Ya,
ada apa?” sahut seorang cewek yang berpostur kecil-sama sepertiku sambil
berdiri. Kecil, tapi ia terlihat begitu mengagumkan. Ia kaptennya. Aku sering
memerhatikannya. Kalau tidak salah dengar, namanya Sasya.
“Apakah
masih ada pendaftaran bagi calon anggota cheers?” Gugup. Sumpah. Jemariku
bergerak tak karuan.
Ia
tersenyum. lalu dengan riang menjawab, “Tentu aja! Kamu anak baru ya?” Aku
mengangguk pelan. Gugupku bertambah. Getaran jemariku meningkat. Sungguh tak
percaya dengan apa yang kudengar. Waw! Semudah inikah?
“Sasya,
aku kaptennya.” Ia mengulurkan tangannya yang putih bersih.
“Clara.”
Kujabat tangannya halus, balas memperkenalkan diri. Sasya tersenyum lalu membalikkan
badan ke arah anggota lainnya yang masih duduk beristirahat, mengumumkan ada
calon anggota baru. Mereka semua tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku.
Bersahabat. Aku membalasnya dengan senyuman paling manis dariku.
Ini
adalah hari ke 30 aku bersekolah disini. Banyak perubahan, dimana-mana.
Termasuk di diriku. Aku tak menyangka, di kota ini sebuah takdir yang sama tak
lagi menghantui. Aku punya banyak teman sekarang. Dan sahabat. Lisa adalah
teman sebangku sekaligus sahabat yang baik untukku. Kesan pertamaku dulu tak
begitu diambil pusing olehnya. Ia bilang, wajar kalau aku butuh adaptasi lebih
lama di lingkungan baru. Namanya juga remaja. Ah, Lisa memang tidak tahu soal
diary biruku. Ini rahasia. Dan Lisa memang belum pernah kuajak ke tempat
favoritku. Biarlah menjadi rahasiaku lainnya. Setiap jam istirahat, aku akan
berkata ingin ke kamar mandi. Jadi aku punya waktu 10 menit, sebelum janjian
dengan Lisa di lapangan basket. Ia sahabat setia. Lisa akan duduk menunggu di
pinggir lapangan sambil memperhatikanku latihan cheers. Kabar baik satu lagi,
aku sudah resmi jadi anggota!
Dua
bulan lagi akan diadakan perlombaan cheers. Aku sih tidak ikut lomba, karena
masih freshgirl dan belum pengalaman. Tak kalah antusias, aku selalu
menyemangati anggota lainnya termasuk Sasya, kapten cheers. Ini adalah
pertandingan terakhir untuknya, karena sebentar lagi Sasya akan naik ke kelas
tiga yang memang sudah peraturan di sekolah bahwa tidak boleh ada kegiatan
ekskul untuk siswa-siswi kelas 3, tak terkecuali. Sasya terlihat sangat
bersemagat, tak mengenal lelah latihan. Sampai kejadian itu datang. Semua
anggota cheers panik. Panik lapor ke guru, panik menelepon ambulance. Sasya
jatuh ketika berada di posisi top. Pingsan seketika. Ketika ambulance lalu
membawa Sasya, barulah kepanikan terhenti. Berganti dengan kekhawatiran.
Aku
dan Lisa menjenguk Sasya di rumah sakit, sepulang sekolah. Sasya sudah sadar
namun masih lemah. Tulang tangan kirinya nya patah. Kakinya belum bisa
digerakkan, ada urat yang putus katanya. Ketika anggota cheers sudah sampai,
mereka menangis melihat kondisi Sasya. “Sudah, sudah. Aku ngga kenapa-kenapa
kok girls.” Ucap Sasya menenangkan. Bukannya tenang, mereka makin menangis. Aku
sendiri tak bisa menangis, hanya diam. “Terus gimana nasib tim kita, Sas?”
tanya Linda, salah satu anggota cheers. Aku melihat wajah Sasya, merasa bersalah.
Lalu tiba-tiba pandangan mata Sasya bertubrukan denganku. Kaget, aku
memalingkan wajah ke arah Lisa.
“Clara,
coba kamu berdiri?” pinta Sasya setelah terdiam sejenak. Anggota lainnya tidak
menyadari Sasya telah bersuara.
Dengan
kaku, aku berdiri menuruti permintaan Sasya. Lantas, ia tersenyum lalu
menjentikkan jari lentiknya. “Pengumuman-pengumuman”, Sasya berteriak pelan
tapi lantang. Membuat segerombol cengeng terdiam, memerhatikan. “Kalian harus
mendidik Clara extra keras, untuk gantikan posisiku si top. Lihat, posturnya
sama kan denganku?” Perintah Sasya. Terdengar seru-seruan kaget. Aku sendiri
pun luar biasa keget. Kugenggam erat tangan Lisa. Aku menatap Sasya. Memangnya
aku bisa? Seakan membaca pikiranku, Sasya mengangguk mantap lalu tersenyum
padaku. Gugup yang kurasakan dulu, tiba lagi dan datang 10 kali lipat.
Setiap
hari aku latihan. Pagi sebelum bel masuk sekolah, istirahat siang, dan sepulang
sekolah. Rasanya letih sekali. Tapi kulakukan semua dengan senang hati. Meski
berat, aku selalu ingat kata-kata penyemangat dari diary biruku. Semua orang
juga menyemangatiku. Sasya yang sudah masuk sekolah meski menggunakan gips di
lengan, teman-teman di cheers, Lisa sahabat baikku, dan bertambah satu orang
lagi, Haikal. Semenjak tahu aku ditunjuk menjadi pengganti Sasya, ia intensif
mendekatiku. Entah membawakanku bekal, atau sekedar minuman. Sepertinya, ia
suka padaku. Kalau aku? Memikirkan perlombaan saja sudah cukup membuatku stres.
Jadi persoalan Haikal belum kuambil pusing.
H-2
menjelang lomba. Aku rasa ini sudah saatnya aku butuh pembakar semangat. Meski
halaman diary biru sudah habis kubaca, tapi dengan membacanya lagi pasti bisa
memompa energiku menjadi penuh kembali. Cepat-cepat kuambil langkah, sembunyi
dari anggota cheers yang kalau ketemu pasti langsung menarikku ke lapangan
untuk latihan. Lima menit saja, kumohon dalam hati. Di loker sudah ada Haikal,
berdiri di depan lokernya. Aku tersenyum menyapa dan tanpa perlu basa-basi lagi
langsung kuambil diary dan berbalik menuju perpustakaan. Ah, akhirnya.
Kunikmati desiran angin menggoda begitu duduk. Aku tersenyum lalu berpaling ke
diary biru. Eh? Apa yang terjadi? ini bukan diary biru, ini hope! Kubuka
halaman demi halaman dan hanya ada tulisanku. Kemana dia? Aku bangun, berbalik
lari menuju loker. Dan bruuk! Aku menabrak seseorang. Dia mengambil diaryku,
lalu diserahkannya padaku. Haikal. Sejak kapan ia berdiri di balik pintu
perpustakaan? Aku tak mengindahkannya, buru-buru lari menuju loker. Hilang!
Lokerku kosong.
“Clara?
Cari apa sih?” tanya Haikal, cukup mengagetkanku. Rupanya ia mengikutiku.
“Kamu
suka perhatikan aku kan? Kamu lihat diary biru yang selalu kuambil dari loker?”
tanyaku langsung.
Haikal
tampak kaget bercampur bingung. Dahinya berkerut. “sepertinya aku selalu
melihat kamu membawa diary hitam yang kamu pegang sekarang. Memangnya kamu
punya 2 diary?” aku menggeleng pelan.
Kudongakkan
kepala, berniat menutup pintu loker. Alangkah terkejutnya aku, ada secarik
kertas menempel di balik pintunya. “Congrats! I’m so proud of you, Clara.”
Kertasnya berwarna biru. Pasti disobek dari diary biru! Haikal menyolek
lenganku pelan. begitu aku akan mengambil sobekan kertas yang tertempel itu,
lenyap. Tiba-tiba saja lenyap. Pantas saja. Ternyata memang hanya aku yang bisa
melihatnya. Aku berbisik mengucapkan,”Terima kasih”. Dia pasti mendengarnya.
Teman rahasiaku. Haikal kembali menyolek lenganku. Buru-buru kusimpan hope lalu
kututup loker. Kujawil hidung Haikal. “Genit! Colek-colek.” Candaku. Wajahnya
bersemu merah, malu. Bersamaan dengan teriakan dari Linda, yang ternyata
mencariku untuk latihan.
Aku
bisa! Dan ya, memang aku bisa! Kuucapkan mantra dalam hati sebelum tampil
dihadapan para juri dan penonton. Keajaiban itu ada, keajaiban itu nyata. Aku
membuktikkan sendiri. Clara yang awalnya tak percaya diri, tak bersahabat, dan
tak merasa bahagia. Bisa berubah segila ini. Menjadi Clara yang percaya diri,
bersahabat dan selalu merasa bahagia berkat hatiku kuat dan aku yakin aku
mampu. Ini bukan kebetulan, perubahan selalu melalui proses lewat faktor medium
entah apapun itu.
Kuangkat
piala kejuaraan cheers tinggi-tinggi dihadapan semua orang. Aku tersenyum
lebar. Semua menontonku. Termasuk Ayah. Aku berteriak padanya, “Ayah! Jangan
pernah katakan tiga kata menyebalkan itu lagi!” Ayah tersenyum kikuk. Lalu
mengacungkan jempol, berteriak menjawab,”Kamu adalah inspirasiku sekarang!”.
Orang-orang bertepuk tangan menyaksikan drama antara anak dan ayah ini meski
sebenarnya mereka tidka mengerti apa artinya. Memangnya aku peduli? aku hanya
peduli dengan kebahagiaan orang sekitarku. Percayalah, keajaiban itu pasti
terjadi suatu hari nanti jika kamu meyakininya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar