Kamis, 28 Mei 2015

Saus Stroberi

Hampir setiap minggu aku menemuinya. Wanita yang selalu kusayang dan kubanggakan. Hanya satu atau dua jam aku bisa mengunjunginya, bercengkrama dengannya. Selama satu atau dua jam itu kami hanya menghabiskan waktu berdua di tempat yang sama. Seperti tahu rutinitas kedatanganku, dia akan menunggu. Padahal aku tidak pernah memberitahu padanya bahwa aku akan datang. Tapi ia selalu memakai rasa. Perasaan yang ia gunakan untuk mengendus kedatanganku. Dan dengan santainya ia duduk di bangku taman, atau duduk di lantai lorong bangunan rumahnya kini. Seperti sore ini yang cerah di taman yang sama.
“Sarah!” aku berseru pelan.
Wanita yang kupanggil sarah hanya menoleh, tersenyum singkat. Aku berjalan mendekatinya yang tinggal beberapa meter jaraknya denganku. Sarah mengenakan baju terusan selutut berkerah sailor yang imut berwarna biru muda. Tampak manis meski dandanannya polos tanpa riasan apapun. Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya.
“Apa kabar Sarah? Kamu cantik hari ini” ucapku sambil menggenggam jemari tangannya.
Sarah hanya tersenyum singkat. Matanya menatap lurus ke depan. Jemarinya masih dalam genggamanku. Kuusap perlahan agar ia merasa nyaman didekatku. aku tak pernah kehilangan sabar untuk bisa mendapatkan senyumannya.
Waktunya mengeluarkan senjata rahasia. Roti tawar tanpa kulit dan saus selai favoritnya. Kali ini kubawakan saus cokelat. Kubuka jemarinya dan kuletakkan selembar roti di atasnya. Ia bereaksi. Sarah menatap roti itu kemudian menatap mataku. Seperti meminta sesuatu. Aku tahu dan selalu tahu tatapan matanya itu. saus cokelat. Kutuang pelan saus cokelat ke atas serat-serat roti. Membentuk dua mata, satu hidung panjang dan akhirnya, satu senyuman lebar. Sarah akhirnya tersenyum lebar. Manis sekali.
Kami berdua bersama-sama melukis di atas lembaran roti. Membentuk ekspresi tertawa, sedih, menjulurkan lidah, lalu.. sarah membentuk rumah. Dengan satu pintu, satu jendela, dan satu atap segitiga. Aku tahu ia pasti sangat merindukan rumah, tapi kondisinya sekarang tidak memungkinkan ia untuk berada di rumah sendirian. Terlalu beresiko. Aku tidak mau terjadi apa-apa pada Sarah. Bisa saja memperkerjakan suster untuknya, tapi kalau lengah. Aku tak bisa membiarkan terjadi yang tidak-tidak. Sarah aman di sini.
“kamu kangen rumah?” aku pelan-pelan bertanya. Berhati-hati.
Sarah diam saja. Pandangan matanya menatap kosong ke lukisan rumah roti tadi. Ia tak perlu menjawab. Aku bodoh mengajukan pertanyaan yang padahal sudah tahu jawabannya. Justru pertanyaanku ini hanya akan mengundang emosinya saja. Aku melirik suster yang kebetulan lewat. Memberinya tanda untuk mendekat. Untuk berjaga-jaga saja kalau Sarah meledak-ledak.
“manis.”
“apa Sarah?” aku terkejut Sarah berbicara. Dengan cepat kuberikan tanda menjauh untuk suster yang sedang berjalan mendekat. Suster hanya akan mengganggunya.
“manis.”ulangnya. Sarah mencolek saus cokelat dan dijilatnya.
“ya, semanis kamu Sarah.” Aku tersenyum.
Sarah memandang mataku. Lama sekali. Aku hanya bisa diam. Tidak kuasa menatap matanya. Mata sarah yang bulat dan jernih hanya menatapku lurus dan kosong. Tapi kekosongan itu seolah menceritakan segala hal yang dirasakan Sarah. Dan aku tahu apa saja yang dirasakannya. Makanya aku tak sanggup menatap matanya itu. aku mengalihkan pandanganku ke lukisan rumah roti Sarah.
Ada yang mengangkat daguku. Mau tak mau, pandangan kami bertemu. Jemari Sarah menelurusuri daguku sampai ke rambut di sekitar telinga lau ubun-ubun. Ia mengusapnya perlahan. Penuh kasih sayang. Aku terpana. Sarah berubah kembali menjadi sosok yang mempunyai sebuah rasa. Bibirnya membuka, seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun kemudian mengatup kembali. Ada yang menahannya. Jemarinya ia tarik cepat dari rambutku dengan gerakan kilat. Kini ia meraih botol saus cokelat.
“kamu mau melukis lagi?” tanyaku hati-hati.
Seperti biasa kembali, Sarah tidak menjawab. Ia memandangku cepat, lalu beralih ke roti dan saus cokelat lagi. Aku harus mengerti apa yang ia inginkan. Mmmh, nafasku jadi agak berat sekarang. Kadang aku tidak bisa mengerti dirinya, kadang aku bisa menjadi sangat mengerti dirinya. Sarah yang sekarang sulit kupahami. Tak bisa ditebak sama sekali.
Saus cokelat menari-nari tertuang di atas roti. Aku menerka-nerka gambar apa yang akan dibuatnya. Kuperhatikan terus gerakan Sarah. Ah, itu kan? Seperti setengah hati. Ia sempat berhenti, jemarinya menjadi kaku. Mungkin sarah ingin melanjutkan setengah hatinya menjadi satu hati utuh. Ketika hati baru terbentuk tiga perempatnya, Sarah berhenti. Tidak kaku lagi namun ia hanya memencet botol tanpa menggerakkannya seperti tadi. Saus cokelat tertuang berlebihan, merusak bentuk hati yang belum jadi. Sebelum beleber ke luar area roti, aku merebut botol saus dari Sarah. Kaget, roti tadi ia lemparkan ke kemejaku. Ah.. berantakan.
Kebetulan ada suster lewat langsung menghampiri kami. suster membantuku membersihkan saus cokelat dari kemejaku dengan sapu tangan yang dibawanya. Aku mengambil sapu tangan dari tangan suster dan mengatakan tak perlu repot-repot. Suster cantik itu hanya tersenyum. lalu berpindah membersihkan jemari Sarah yang belepotan saus cokelat. Namun sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi.
Sarah mengamuk begitu suster memegang jemarinya. Ia menyerang suster dengan melemparkan roti-roti ke arah suster. Aku berusaha memegangi tangan Sarah sebelum ia melakukan hal yang lebih buruk lagi pada suster.
“Jangan Sarah! Jangan!” teriakku pelan agar Sarah tak menganggap aku memarahinya.
Bukannya menurut, Sarah malah makin di luar kendali. Tangannya aman dalam ikatan tanganku, tapi anggota badannya yang lain tak mau diam. Kakinya menendang-nendang ke segala arah. Badannya meronta-ronta. Tenaganya semakin lama semakin kuat. Aku sampai kewalahan dibuatnya. Suster langsung berlari memanggil suster lainnya meminta bantuan. Orang-orang yang berada di taman mulai mendekati kekacauan kami. bukanya membantu, malah menonton dan sibuk dengan diri masing-masing.
Akhirnya aku tak mampu lagi meredakan Sarah. Kami berdua jatuh terduduk  ke rerumputan. aku mendekapnya. Mengelus-ngelus rambutnya. Membisikkan namanya perlahan. Air mataku sudah menetes. Aku tak peduli. Laki-laki tidak berarti cengeng jika meneteskan air mata. Ini benar-benar air mata kesedihan. Sarah yang kukenal dulu bukan seperti ini.
Suster-suster berlarian ke arah kami. tapi sadar Sarah sudah mereda dan agak tenang, mereka berjalan pelan-pelan supaya tidak mengagetkannya. Aku sendiri kagum dengan suster-suster yang sangat tanggap sekali dan paham akan situasi seperti ini. mereka sangat mengerti pasien-pasiennya. Salah satu suster sudah berada di dekat kami. yang lainnya mengusir para penonton pelan-pelan bahkan ada yang sampai harus dituntun untuk “bermain” kembali. Sarah disuntikkan obat penenang oleh suster sampai akhirnya tertidur.
Aku membopong Sarah menuju ke kamarnya. Merebahkannya, lalu mengecup keningnya lembut. “mimpi indah ya, cantik.” Bisikku di telinganya. Kemudian aku pamit kepada suster tadi. Berbasa-basi mengucap terima kasih. Bergegas keluar dari kamar Sarah, pulang. Tak ada lagi yang menahanku di sini.

***

Tiga bulan silam.

Hari yang sangat ditunggu-tunggu. Sangat mendebarkan jantung ini dan membuat otot sekitar bibir otomatis tertarik tersenyum. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu datangnya hari ini. hari pernikahanku.
Keluargaku sibuk merias diri, mempersiapkan segala sesuatunya. Pagi ini pernikahan akan diberkati di gereja dekat rumahku sementara malamnya digelar resepsi di sebuah hotel berbintang. Rasanya tak sabar menuntaskan hari ini untuk kemudian bisa berlibur bulan madu ke paris bersama perempuanku.
Ia mengenakan gaun simple berwarna biru muda, warna kesukaannya. Dengan hiasan bunga di rambutnya, bagiku sudah sangat cantik dan sempurna. “Sarah!” ia menatapku lewat pantulan cermin didepannya lalu tersenyum. aku hanya diam di pintu kamarnya, tidak mau mengganggunya. Cermin besar di depannya tak bosan menampilkan wajah ceria Sarah. Aku bertanya dengan isyarat. Bagaimana dengan penampilanku? Seperi mengerti isyaratku, sarah memberi kode dengan acungan dua jempol. Bibirnya bergerak tak bersuara, “ Perfect!”
“ Saudara Agra, apakah anda bersedia menjadi suami dari Agnastia, mencintainya sampai maut memisahkan ?”
“Ya, saya bersedia.”
“ Saudari Agnastia, apakah anda bersedia menjadi istri dari Agra, mencintainya sampai maut memisahkan?”
“Ya, saya bersedia.”
Aku menengok ke arah Sarah. Ia mengacungkan satu jempol. Kalau satu tangannya tidak memegang seikat bunga, pasti ia mengacungkan dua jempol. Aku terkekeh pelan supaya tidak menganggu pendeta. Akhirnya aku dan kekasihku resmi menjadi pasangan pengantin. Tidak, memang bukan Sarah. Ia adalah saudara tiriku yang paling cantik dan baik hati meskipun sebenarnya aku mencintainya. Tapi satu darah tetaplah sedarah. Tidak ada yang perlu tahu perasaan ini.
Tiba saatnya pelemparan bunga. Semua para wanita yang belum menikah mengikuti prosesi ini. Termasuk Sarah. Ia kelihatan ceria meskipun kebagian di deretan paling belakang. Tubuh mungilnya tergeser banyak wanita yang saling berdesakan. Aku berdiri tepat disamping istriku, Tia yang tersenyum lebar melihat antusias teman-temannya menunggu bunga yang penuh arti itu. aku mengangguk untuk Tia. Akupun tak sabar menyaksikan para wanita berebutan bunga. Semmoga Sarah yang mendapatkannya.
Tia melakukan ancang-ancang melempar bunga. Aku memberi kode untuk dilempar jauh. Tia mengangguk lalu dilemparnya seikat bunga mawar putih itu jauh. Jantungku jadi ikut berdegup kencang. Dalam slow motion, para wanita seperti berloncatan mencoba meraihn bunga yang sedang terbang bebas. Kulihat Sarah tersenyum lebar. Tanganya terangkat untuk menangkapnya. Lewat. Bunga masih terbang bebas.
“It’s mine..mine..mine !!” teriak Sarah sambil melangkah mundur menggapai bunga itu. semua wanita berteriak histeris tak sabar. Akupun tak sabar.
Dan waktupun tak sabar. Seperti cheetah yang berlari dengan kecepatan tinggi. Seperti kincir angin yang berputar cepat. Terjadi begitu saja. Teriakan histeris gembira wanita-wanita berubah menjadi teriakan histeris ketakutan. Aku membeku. Tia menggenggap tanganku erat. Ketika Sarah mendapatkan bunga mawar itu. entah sepersekian detik setelahnya. Sebuah mobil yang dikemudikan seorang vallet parking menabrak Sarah. Jantungku seperti berhenti.
Semua orang berlarian. Termasuk aku. Berusaha secepat mungkin berada disamping Sarah. Ia membutuhkanku. Namun terlambat. Ketika kuangkat kepalanya dan kutaruh dipangkuan, celana panjangku menjadi berlumuran darah. Aku baru menyadari kalau kepala Sarah saat terpental mengenai sebuah batu besar. Tanpa kuminta Tia menelepon ambulance. Semoga tidak benar-benar terlambat.
Aku menatap wajah Sarah. Tapi tunggu , ia membuka bibirnya. Sepertinya ia belum pingsan. Kudekatkan telingaku ke bibirnya. Kamu mau bilang apa Sarah?
“Terima kasih Agra.. aku.. Sarah mencintaimu..”
Kemudian Sarah pingsan. aku hampir pingsan mendengar kalimat Sarah. Benarkah hal itu? Ya ampun Sarah, kenapa kau baru bilang. Kenapa kau baru bilang di hari pernikahanku? Kenapa Sarah? Aku hanya terdiam . tak mampu berbuat apa-apa. Entah karena melihat kondisi Sarah atau karena perkataan Sarah barusan. Tak lama kemudian ambulance datang membawa Sarah ke rumah sakit. Aku juga ikut menemani. Tia dan keluargaku kupesan agar tetap melanjutkan hari ini untuk menghormati tamu.
Hari ini benar-benar kacau. Pernikahan yang tak seperti di cerita dongeng. Sekarang resepsi sedang digelar tanpa pengantin. Tia menyusulku ke rumah sakit. Ia mengerti benar bagaimana perasaanku. Sarah tak punya keluarga lagi selain aku dan ibuku. Ayahnya meninggal setahun setelah menikah dengan ibuku. Dan pada saat itu aku masih dalam kandungan ibu. Sarah seperti kakak sekaligus adik untukku. Ia dewasa, selalu bisa mendewasakanku dan ia juga manja seperti adik kecil manis yang cengeng butuh perhatian. Aku menyayanginya dan memendam perasaan itu. tanpa kutahu perasaannya sampai hari ini.
Dokter mengabarkan kalau benturan di kepala Sarah bisa fatal akibatnya karena mengenai beberapa saraf penting di otaknya. Kemungkinan besar Sarah bisa hilang ingatan atau lumpuh. Aku tak kuasa mendengarnya. Tia memelukku erat.
Setelah beberapa hari koma, Sarah akhirnya tersadar. Ia tersenyum kepadaku. Tapi begitu Tia menyapanya, Sarah mengerenyitkan dahi.
“Siapa kamu?”
“Aku Tia, sahabat kamu dan juga istri Agra. Ingat kan Sarah?” Tia berusaha tersenyum.
Sarah diam saja menatapku seperti minta penjelasan. Aku tak mengerti, bagian apa yang harus kujelaskan. Lalu ia menatap mata Tia dalam-dalam. Aku berharap Sarah bisa mengingatnya. Dalam hitungan detik, mata Sarah berubah. Ia tidak seperti Sarah yang kukenal. Matanya menjadi kosong. Tangannya memegang kepalanya mengerang kesakitan. Aku memanggil suster dan dokter. Tia memeluk Sarah mencoba menenangkan. Bukannya tenang, Sarah menjadi kasar terhadap Tia. Ia melepaskan pelukan Tia. Meronta dan meneriaki Tia sejadinya. Apa yang ia teriakan tidak pantas kuumbar. Cukup pahami apa arti teriakannya. Hanya satu. Ia mencintaiku. Dan untungnya istriku mengerti, bagaimanapun ia juga wanita.

***

Minggu ini aku datang lagi. Seperti minggu-minggu sebelumnya,aku bawakan roti dan kali ini saus stroberri. Aku masih ingat, Sarah suka sekali saus stroberi bikinan mama. Semenjak Sarah masuk rumah sakit, mama tidak mau lagi membuatnya. Setelah kubujuk, akhirnya mama yang mau membuatkan selai stroberi untuk Sarah. Dulu ia pernah sampai menyembunyikan saus stroberinya di kamar untuk dinikmati sendiri dengan berlembar-lembar roti. Dulu kami sering cekikikan berdua menggambari roti-roti itu lalu dimakan bersama. Tapi sekarang tak ada cekikikan lagi. Sarah yang sekarang pelit berekspresi.
Suster berjaga dari kejauhan mengawasi kami. Takutnya Sarah mengamuk seperti minggu lalu. Aku sendiri tak takut kalau Sarah mengamuk, hanya saja selalu timbul suatu rasa yang mungkin dinamakan bersalah. Selama beberapa minggu pernikahanku, selalu muncul kata “seandainya”. Ya, seandainya saja aku cukup gentle untuk mengungkapkan perasaanku pada Sarah sebelum melamar Tia. Seandainya saja lima tahun silam aku tidak menjadikan Tia sebagai pelarianku. Mungkin keadaan Sarah akan jauh lebih baik dari ini. Sesal memang tiada arti. Namun apa lagi yang dapat kulakukan selain menyesalinya?
Roti-roti sudah berhiaskan berbagai gambar Sarah. Aku tidak terlalu mencampuri saus stoberi Sarah. Aku lebih menikmati gerakan jemarinya menggambar. Sarah yang berbeda, namun masih Sarah yang kucintai. Tak peduli seberapa banyak ia berubah. Perubahan itu takkan mampu merubah perasaanku. Aku melihat ke sekitar. Ada ibu-ibu menggendong boneka sambil bernyanyi nina bobo, mungkin ia kehilangan bayinya sehingga jadi gila seperti itu. ada juga seorang pemuda yang menubruk-nubrukan badannya ke tembok, mungkin ia kira ia adalah seorang titisan harry potter yang dapat menembus tembok. Ah banyak sekali orang yang tak dapat kumengerti di sini. mungkin aku harus ikut tak waras agar dianggap ‘waras’ oleh penghuni rumah sakit ini.
Sarah menarik-narik kerah kemejaku. Sepertinya ia sadar aku sedang memerhatikan orang lain. Aku tak ingin membuatnya kecewa karena merasa tak diperhatikan. Kualihkan mataku pada tumpukan roti-roti berselimut saus stroberi. Namun ada satu yang menarik perhatianku. Selembar roti dengan topping saus berbentuk hati yang besar. Menyadari tatapan mataku, Sarah mengambil roti tersebut. Lalu disodorkannya untukku. Bukannya meraih pemberiannya, aku malah langsung menatap matanya. Matanya terlihat jauh lebih menarik ketimbang roti itu. seperti berbicara. Dan aku mencoba mendengar matanya berbicara.
Hati ini untuk kamu.
Aku mengerenyitkan dahi. Apakah aku sudah gila mendengar matanya berbicara?
Ya, ini hati aku.
Gila, ini benar-benar gila. Aku yakin aku bisa mendengar suara Sarah dengan jelas meski tak sedikitpun bibirnya bergerak. Apakah aku ..
Kamu engga gila Agra..
Kuberanikan diri menatap mata Sarah. Apakah ini yang dinamakan ikatan batin? Atau apakah aku sudah benar-benar gila? Sarah tersenyum kepadaku. Aku jadi makin tak mengerti. Apa yang terjadi sebenarnya?
Aku ingin pulang, Agra. Aku rindu menbuat selai stroberi bersama ibu.
Sarah. Kuperhatikan dalam-dalam matanya. Sorot matanya. Tegas dan jujur. Sarah yang kukenal dulu telah kembali. Tapi kenapa hanya aku yang bisa mendengar suara hatinya? Apa yang harus aku lakukan?
Bawa aku pulang bersama kamu. Aku mohon.
Air mata Sarah menetes. Suster yang sedang memperhatikan kami langsung mendekati. Ia memberikan isyarat untukku pergi. Aku kembali menatap mata Sarah. Matanya memohon kepadaku. Sangat.
Stroberi. Aku ingin membuatnya lagi bersamamu.
Kepalaku berputar cepat, mengambil keputusan tak terduga namun sekaligus buat hatiku bahagia.
“Suster, saya ingin membawa Sarah pulang hari ini juga.” Ujarku.
Suster didepanku tampak terkejut. Ia tahu, aku tidak main-main karena aku sedari tadi menggenggam tangan Sarah. aku mengangguk yakin lalu tersenyum pada Sarah. aku ingin suster tahu bahwa Sarah sudah tak membutuhkan tempat ini. senyum Sarah mengembang. Sarah telah kembali.

***

Satu tahun kemudian.

“Ibu..ibu.. lihat stroberi yang kupetik, banyak bukan?” teriak Sarah dari kebun sambil mengangkat-angkat ember berisi penuh buah stroberi.
Ibuku sedang merajut di gazebo kebun stroberi. Ia melirik sekilas lalu mengacungkan jempol pada Sarah. Aku juga ikut mengacungkan jempol. Sarah tertawa gembira. Ia berlari-lari menghampiri kami.
“Nah.. Sarah mau buatkan kamu saus stroberi yaa adik manis..” ucapnya sambil menaruh ember penuh stroberi lalu ingin bergantian denganku menggendong Sissy, buah pernikahanku dengan Tia.
Sarah menggendongnya, memeluknya, menciuminya. Aku bahagia melihatnya begitu ceria. Senyum dan tawa Sarah seolah menghilangkan peristiwa kematian Tia ketika melahirkan Sissy. Saat itu, aku menemani persalinannya. Menyaksikan Tia yang berusaha begitu keras melahirkan bayiku, menatap kaget darah yang mengalir deras. Ya, Tia meninggal sesaat setelah bayi kami menangis sejadinya begitu melihat dunia luar. Aku sempat melihat Tia yang terkulai lemas itu tersenyum. lalu Tia pingsan dan ia tak terselamatkan lagi.
“ma..ma..ma..” aku kaget. Sarah pun tak kalah kaget. Ibu menghentikan rajutannya. Mendekati sissy.
“mamamamamamama” Sissy kembali bertingkah lalu tertawa menggemaskan. Sarah menatap padaku.
“boleh nih, aku dipanggil mama sama Sissymu?”
Aku langsung gelagapan. Ibu hanya mencibir lalu tertawa. Akhirnya kami semua tertawa. Tapi Sissy benar, ia butuh seseorang yang bisa dipanggilnya mama. Apakah ini waktu yang tepat?
“Mam.. Agra ingin menyampaikan sesuatu..” Ibu menatapku, terlihat penasaran dengan kata-kataku selanjutnya.
Aku berdeham. Sarah ikut menatapku. Sissy hanya menatap Sarah.
“Aku rasa, Sissy memang membutuhkan kasih sayang seorang Ibu. Dan aku rasa.. wanita yang tepat adalah.. Sarah.” ibu terlihat tak kaget malah tersenyum. sosok yang ada didepanku ini mengangguk, mendukung seraya berkata, katakan sekarang atau tidak sama sekali.
“Sarah.. apa kamu mau menjadi ibu dari Sissy? Menjadi suami dari ayahnya Sissy?” aku menatap pada Sarah. meskipun tanpa persiapan apapun dan tanpa cincin sekalipun, aku sangat mantap dengan kalimatku barusan.
Air matanya menetes. Lalu senyumnya mengembang. Sarah melirik pada ibu, dan hanya anggukan kepala yang terlihat. Sarah tersenyum lebar.
“Tentu saja mau!!” jawabnya ceria, khasnya Sarah.
“mamamamamamama” Sissy tampak ikut bahagia mempunyai Ibu baru.
Kami semua memeluk Sissy yang membuatnya jadi tak mau diam. Tangan dan kakinya bergerak-gerak sembarangan.
Praaanggggg.
Ember yang terbuat dari seng itupun terjatuh, terkena tendangan kaki Sissy yang tak mau diam. Stroberi berjatuhan berceceran. Merah dimana-mana.
“eehh.. Sissy mau buat saus stroberi yah?” canda Sarah.
Kami semua tertawa lagi. Entah Sissy atau Sarah yang memang konyol, dua-duanya cocok sepertinya. Dan sepertinya Sissy menyukai stroberi juga. Ia ingin turun dari gendongan Sarah, merasakan inderanya meraba stroberi berceceran dimana-mana.
Saus stroberi. Segala sesuatu yang dibuat dengan cinta, yang dibuat dari hati yang tulus pasti tersembunyi rahasia didalamnya. Rahasia yang tanpa perlu kuketahui awalnya, namun sudah kuketahui akhirnya secara fakta.
Stroberi. Tanpa kusadar, buah ini yang menjadi faktor medium bagi aku dan Sarah. Cinta yang rasanya sulit ditebak. Cinta yang harus dipupuk terus seperti tanaman stroberi supaya berbuah manis. Dan menghasilkan saus yang manis rasanya. Saus Stroberi.


***

Rabu, 27 Mei 2015

Invisible Diary

Kehidupanku perlahan berubah sesudah menemukannya. Sebuah catatan rahasia entah milik siapa, yang secara misterius muncul tiba-tiba menggantikan diary milikku yang selalu kutaruh dalam loker di sekolah. Diary adalah tempat aku mencurahkan segala isi hati, berbagi kesedihan maupun kebahagiaan,satu-satunya teman yang ada. Dan perkenalkan, namaku Clara. Aku akan membagi kisahku untuk kamu, yang mungkin saja bernasib sama denganku. Begini awal ceritanya.
Umurku tepat 15 tahun ketika pindah sekolah ke kota ini. Pekerjaan ayahku yang selalu berpindah-pindah menjadi penyebabnya. Maklum, beliau adalah seorang seniman yang tak pernah betah tinggal lama-lama di satu kota. Ia selalu mengajakku pindah ketika ia sudah tak punya inspirasi melukis lagi. Ya, inspirasinya selalu mampir hanya sebentar. Dan hal tersebut berlangsung semenjak Ibu tiada. Menurut ayah, inspirasinya adalah Ibu. Ibu sudah pergi, maka mati pula inspirasinya.
“Nama saya Clara Diana.” Ucapku pelan di depan kelas, memperkenalkan diri sebagai anak baru sesuai perintah Ibu guru.
“Silahkan duduk, Clara. ” aku mengangguk tanpa tersenyum sama sekali,berjalan ke tempat duduk kosong yang berada di pojokan kelas.
Percakapan tadi adalah kali ketiga terjadi dalam tahun ini. Aku masih duduk di kelas satu SMA jurusan IPA. Kadang aku ingin home schooling saja, tapi Ayah tak mengizinkan. Ia bilang supaya aku bisa punya sahabat jika sekolah biasa. Tapi hasilnya nihil. Setiap aku baru memiliki sahabat, secara kebetulan ayah mengucapkan tiga kata mantra yang menyebalkan, “Ayo kita pindah.” Dan aku tak kuasa menolak ajakan seseorang yang sudah membesarkan dan merawat diriku.
Makanya kali ini aku tak berminat sama sekali untuk beradaptasi ataupun bersosialisasi. Yang kulakukan setiap hari di sekolah hanyalah belajar dan menulis diary. Diary itu kunamakan Hope. Berwarna hitam polos, besar seperti agenda. Selalu kusimpan dalam loker berkunci milikku di sekolah. Kalau taruh di rumah, Ayah pasti akan membacanya.
Istirahat siang adalah waktunya aku menulis diary. Kuambil di loker, lalu berjalan perlahan menuju perpustakaan. Tempat favoritku untuk menulis memang sebuah ruangan yang terletak di lantai tiga gedung sekolah ini. realtif sepi. Meski dalam satu angkatan terdapat 3 kelas, tapi tak menjamin banyaknya pengunjung di perpustakaan. Mereka terlalu sibuk bergosip, makan bersama, atau apapun itu yang berhubungan dengan bersosialisasi. Tak penting buatku. Pengunjung perpustakaan paling banyak hanya lima orang, itupun langka. Seperti sekarang, kulihat hanya ada satu siswi tengah menekuni Novel berjudul “The Look”.Aku mengambil posisi duduk di dekat jendela yang menyuguhkan pemandangan gunung Salak dari kejauhan. Indah, memang. Di sela-sela menulis, aku melabuhkan pandangan ke bawah, melihat sejenak orang-orang bermain basket dan di dekat mereka ada sekelompok wanita memakai kaos dan rok, bersorak-sorak.
Pemandu sorak. Sebenarnya aku suka sekali mereka. Cantik, selalu gembira, menawan dengan gerakan-gerakan lincahnya. Andai saja aku bisa berkesempatan menjadi anggota mereka. Tapi satu sisi diriku yang lain menolak, bukan Clara namanya. Untuk apa? Toh aku tidak akan lama di sini. Aku kembali menulis, mengenyahkan khayalan menjadi seorang dari mereka. Meski dalam hati mengucap mantra, “Semoga suatu hari nanti, aku bisa merasakan menjadi bagian dari mereka.”
Keajaiban itu ada, keajaiban itu nyata. Aku melihat tulisan itu sekilas, tertempel pada salah satu mading sekolah. Cukup membuatku memejamkan mata, merenungi maknanya meski kaki tetap melangkah menuju kelas. Bruuk. Ups. Aku menabrak seseorang. Buku-buku yang dibawanya berserakan di lantai. Aku membantu memungutinya, tanpa merasa perlu meminta maaf. Haikal. Kubaca tag namanya yang tertera pada bajunya di dada sebelah kanan. Dia adalah ketua di kelasku. Ia tersenyum seraya mengucapkan terima kasih, kuhiraukan saja sambil berlalu pergi ke dalam kelas. Aku tak sengaja menangkap sosoknya yang berdiam memerhatikan dari balik pintu kelas begitu aku duduk. Alisku terangkat. Orang aneh.
Ini adalah hari ke 20 aku bersekolah disini. Tak ada yang berubah banyak semenjak kedatanganku pada hari pertama sekolah. Semua tampak biasa saja. Nilai pelajaranku juga bagus. Dan aku bersyukur disini belum ada tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Karena aku yakin, tak ada yang mau sekelompok denganku. Siapa yang mau? Siswi tak menarik nan sombong. Miss invisible. Kiranya itu adalah julukan yang pas untuk seorang Clara. Pernah sih ada salah satu cewek yang mendekatiku, tapi kuladeni hanya dengan anggukan, gelengan dan tatapan mata tak mau diganggu. Akhirnya ya gagal.
Klik.kluk. kudengar suara kombinasi kunci loker diputar-putar oleh pemiliknya. Haikal, kulirik sekilas. Rupanya lokernya berada tepat disebelahku. Ia tersenyum begitu menyadari kehadiranku. Aku pura-pura tak melihat, berdalih membuka loker, mengambil diaryku. Haikal masih berdiri di tempat tadi setelah aku menutup pintu loker. Bukan mencari-cari barang di dalam loker, bukan. Lokernya sudah ia tutup sedari tadi. Tapi memandangiku. Aku balas menatapnya dengan tak suka, berbalik pergi menuju perpustakaan. Kenapa sih dia?
Oh, hope, mengapa cowok itu aneh sekali? Keluhku dalam hati. Kuletakkan diary di atas meja dan astaga! Apa yang terjadi dengan diaryku? Warnanya berubah menjadi biru. Sedangkan untuk ukuran dan bentuknya, masih sama seperti yang dulu. Penasaran, kubuka lembaran pertama. Tertulis disitu. This is Miracle. Lembaran kedua. Tertulis kata-kata yang diukir-ukir dengan tarian pulpen cair warna biru. You’re beautiful, You’re confidence. Ini bukan hope! Ini bukan tulisanku. Buru-buru aku kembali lagi menuju loker, memeriksa ke dalam loker, siapa tahu diaryku tertinggal di sana. Tapi kosong. Tak ada apa-apa lagi di dalam loker itu. aku berjalan perlahan menelusuri lorong loker yang sepi, kembali menuju perpustakaan. Lantas ini diary punya siapa? Kujelajahi halaman demi halaman diary misterius ini, tapi tak tertulis siapa pemiliknya. Aku seperti terhipnotis.Rasanya seperti ada sesuatu. Aku merasakan sebuah kekuatan yang aneh timbul dari dalam hati. Entah karena membaca setiap kalimat yang penuh motivasi, atau Diary ini memang ajaib? Kudekap erat diary ini. Mataku terpejam, menikmati kekuatan yang merasuki jiwa ini.
Pagi ini cerah seperti pagi-pagi sebelumnya. Tapi aku bersemangat pagi ini. Entah kenapa. Ayah sampai terheran-heran saat mendengarku mengucapkan selamat pagi dengan ceria. Aku berjalan menuju sekolahku dengan riang. Rasanya seperti habis menang undian. Begitu memasuki gerbang sekolah, kuucapkan mantra dalam hati. “Aku bisa!”. Ya, aku bisa dan aku memang bisa. Tersenyum kepada setiap orang yang kutemui. Bahkan menyapa alih-alih mengucapkan selamat pagi untuk teman sebangkuku. Siswi yang tempo hari mendekati, tapi hanya perlakuan tak berkawan yang ia dapat. Namanya Lisa. Hari ini aku harus memulai menebus dosa. Diary misterius itu, membukakan mata, juga hatiku.
Istirahat siang. Rutinitasku ke perpustakaan tampaknya memang tak bisa dirubah meski diriku sudah mulai berubah. Aku masih butuh kesendirian dan keheninganku. Hope masih belum kembali. Baiklah, yang aku butuhkan sekarang bukan tulisan-tulisan keluhanku. Yang aku butuhkan adalah kalimat pembakar semangat. Aku tak sabar membaca halaman-halaman berikutnya. Tulisannya sangat rapih, bagus dan halus sekali seperti diukir oleh bidadari. Atau memang mungkin bidadari yang menulisnya? Aku tersenyum geli. “Yes You can, yes you have to try!” Setiap tulisan pengalaman sang pemilik diary, ditutup dengan sebuah kutipan motivasi. Sihir. Kata-katanya menyihir diriku saat ini. kupejamkan mata. Kurasakan desir angin menggelitik hidungku. Jendela terbuka sedikit karena ulahnya pula. Begitu kubuka, kudengar sorak-sorai dari arah lapangan basket. Pemandu sorak. Apakah aku bisa memulai mencoba?
Masih ada 5 menit lagi sebelum bel berbunyi. Setelah menit-menit pemberontakkan dalam diriku, akhirnya aku berhasil memutuskan. Tak ada salahnya mencoba. Kucoba mendekati lapangan basket, anggota pemandu sorak sudah selesai latihan rupanya. Mereka sedang berleha-leha di lapangan sambil meneguk air dengan cepat tandas.
“Maaf..” ucapku pelan.
“Ya, ada apa?” sahut seorang cewek yang berpostur kecil-sama sepertiku sambil berdiri. Kecil, tapi ia terlihat begitu mengagumkan. Ia kaptennya. Aku sering memerhatikannya. Kalau tidak salah dengar, namanya Sasya.
“Apakah masih ada pendaftaran bagi calon anggota cheers?” Gugup. Sumpah. Jemariku bergerak tak karuan.
Ia tersenyum. lalu dengan riang menjawab, “Tentu aja! Kamu anak baru ya?” Aku mengangguk pelan. Gugupku bertambah. Getaran jemariku meningkat. Sungguh tak percaya dengan apa yang kudengar. Waw! Semudah inikah?
“Sasya, aku kaptennya.” Ia mengulurkan tangannya yang putih bersih.
“Clara.” Kujabat tangannya halus, balas memperkenalkan diri. Sasya tersenyum lalu membalikkan badan ke arah anggota lainnya yang masih duduk beristirahat, mengumumkan ada calon anggota baru. Mereka semua tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku. Bersahabat. Aku membalasnya dengan senyuman paling manis dariku.
Ini adalah hari ke 30 aku bersekolah disini. Banyak perubahan, dimana-mana. Termasuk di diriku. Aku tak menyangka, di kota ini sebuah takdir yang sama tak lagi menghantui. Aku punya banyak teman sekarang. Dan sahabat. Lisa adalah teman sebangku sekaligus sahabat yang baik untukku. Kesan pertamaku dulu tak begitu diambil pusing olehnya. Ia bilang, wajar kalau aku butuh adaptasi lebih lama di lingkungan baru. Namanya juga remaja. Ah, Lisa memang tidak tahu soal diary biruku. Ini rahasia. Dan Lisa memang belum pernah kuajak ke tempat favoritku. Biarlah menjadi rahasiaku lainnya. Setiap jam istirahat, aku akan berkata ingin ke kamar mandi. Jadi aku punya waktu 10 menit, sebelum janjian dengan Lisa di lapangan basket. Ia sahabat setia. Lisa akan duduk menunggu di pinggir lapangan sambil memperhatikanku latihan cheers. Kabar baik satu lagi, aku sudah resmi jadi anggota!
Dua bulan lagi akan diadakan perlombaan cheers. Aku sih tidak ikut lomba, karena masih freshgirl dan belum pengalaman. Tak kalah antusias, aku selalu menyemangati anggota lainnya termasuk Sasya, kapten cheers. Ini adalah pertandingan terakhir untuknya, karena sebentar lagi Sasya akan naik ke kelas tiga yang memang sudah peraturan di sekolah bahwa tidak boleh ada kegiatan ekskul untuk siswa-siswi kelas 3, tak terkecuali. Sasya terlihat sangat bersemagat, tak mengenal lelah latihan. Sampai kejadian itu datang. Semua anggota cheers panik. Panik lapor ke guru, panik menelepon ambulance. Sasya jatuh ketika berada di posisi top. Pingsan seketika. Ketika ambulance lalu membawa Sasya, barulah kepanikan terhenti. Berganti dengan kekhawatiran.
Aku dan Lisa menjenguk Sasya di rumah sakit, sepulang sekolah. Sasya sudah sadar namun masih lemah. Tulang tangan kirinya nya patah. Kakinya belum bisa digerakkan, ada urat yang putus katanya. Ketika anggota cheers sudah sampai, mereka menangis melihat kondisi Sasya. “Sudah, sudah. Aku ngga kenapa-kenapa kok girls.” Ucap Sasya menenangkan. Bukannya tenang, mereka makin menangis. Aku sendiri tak bisa menangis, hanya diam. “Terus gimana nasib tim kita, Sas?” tanya Linda, salah satu anggota cheers. Aku melihat wajah Sasya, merasa bersalah. Lalu tiba-tiba pandangan mata Sasya bertubrukan denganku. Kaget, aku memalingkan wajah ke arah Lisa.
“Clara, coba kamu berdiri?” pinta Sasya setelah terdiam sejenak. Anggota lainnya tidak menyadari Sasya telah bersuara.
Dengan kaku, aku berdiri menuruti permintaan Sasya. Lantas, ia tersenyum lalu menjentikkan jari lentiknya. “Pengumuman-pengumuman”, Sasya berteriak pelan tapi lantang. Membuat segerombol cengeng terdiam, memerhatikan. “Kalian harus mendidik Clara extra keras, untuk gantikan posisiku si top. Lihat, posturnya sama kan denganku?” Perintah Sasya. Terdengar seru-seruan kaget. Aku sendiri pun luar biasa keget. Kugenggam erat tangan Lisa. Aku menatap Sasya. Memangnya aku bisa? Seakan membaca pikiranku, Sasya mengangguk mantap lalu tersenyum padaku. Gugup yang kurasakan dulu, tiba lagi dan datang 10 kali lipat.
Setiap hari aku latihan. Pagi sebelum bel masuk sekolah, istirahat siang, dan sepulang sekolah. Rasanya letih sekali. Tapi kulakukan semua dengan senang hati. Meski berat, aku selalu ingat kata-kata penyemangat dari diary biruku. Semua orang juga menyemangatiku. Sasya yang sudah masuk sekolah meski menggunakan gips di lengan, teman-teman di cheers, Lisa sahabat baikku, dan bertambah satu orang lagi, Haikal. Semenjak tahu aku ditunjuk menjadi pengganti Sasya, ia intensif mendekatiku. Entah membawakanku bekal, atau sekedar minuman. Sepertinya, ia suka padaku. Kalau aku? Memikirkan perlombaan saja sudah cukup membuatku stres. Jadi persoalan Haikal belum kuambil pusing.
H-2 menjelang lomba. Aku rasa ini sudah saatnya aku butuh pembakar semangat. Meski halaman diary biru sudah habis kubaca, tapi dengan membacanya lagi pasti bisa memompa energiku menjadi penuh kembali. Cepat-cepat kuambil langkah, sembunyi dari anggota cheers yang kalau ketemu pasti langsung menarikku ke lapangan untuk latihan. Lima menit saja, kumohon dalam hati. Di loker sudah ada Haikal, berdiri di depan lokernya. Aku tersenyum menyapa dan tanpa perlu basa-basi lagi langsung kuambil diary dan berbalik menuju perpustakaan. Ah, akhirnya. Kunikmati desiran angin menggoda begitu duduk. Aku tersenyum lalu berpaling ke diary biru. Eh? Apa yang terjadi? ini bukan diary biru, ini hope! Kubuka halaman demi halaman dan hanya ada tulisanku. Kemana dia? Aku bangun, berbalik lari menuju loker. Dan bruuk! Aku menabrak seseorang. Dia mengambil diaryku, lalu diserahkannya padaku. Haikal. Sejak kapan ia berdiri di balik pintu perpustakaan? Aku tak mengindahkannya, buru-buru lari menuju loker. Hilang! Lokerku kosong.
“Clara? Cari apa sih?” tanya Haikal, cukup mengagetkanku. Rupanya ia mengikutiku.
“Kamu suka perhatikan aku kan? Kamu lihat diary biru yang selalu kuambil dari loker?” tanyaku langsung.
Haikal tampak kaget bercampur bingung. Dahinya berkerut. “sepertinya aku selalu melihat kamu membawa diary hitam yang kamu pegang sekarang. Memangnya kamu punya 2 diary?” aku menggeleng pelan.
Kudongakkan kepala, berniat menutup pintu loker. Alangkah terkejutnya aku, ada secarik kertas menempel di balik pintunya. “Congrats! I’m so proud of you, Clara.” Kertasnya berwarna biru. Pasti disobek dari diary biru! Haikal menyolek lenganku pelan. begitu aku akan mengambil sobekan kertas yang tertempel itu, lenyap. Tiba-tiba saja lenyap. Pantas saja. Ternyata memang hanya aku yang bisa melihatnya. Aku berbisik mengucapkan,”Terima kasih”. Dia pasti mendengarnya. Teman rahasiaku. Haikal kembali menyolek lenganku. Buru-buru kusimpan hope lalu kututup loker. Kujawil hidung Haikal. “Genit! Colek-colek.” Candaku. Wajahnya bersemu merah, malu. Bersamaan dengan teriakan dari Linda, yang ternyata mencariku untuk latihan.
Aku bisa! Dan ya, memang aku bisa! Kuucapkan mantra dalam hati sebelum tampil dihadapan para juri dan penonton. Keajaiban itu ada, keajaiban itu nyata. Aku membuktikkan sendiri. Clara yang awalnya tak percaya diri, tak bersahabat, dan tak merasa bahagia. Bisa berubah segila ini. Menjadi Clara yang percaya diri, bersahabat dan selalu merasa bahagia berkat hatiku kuat dan aku yakin aku mampu. Ini bukan kebetulan, perubahan selalu melalui proses lewat faktor medium entah apapun itu.

Kuangkat piala kejuaraan cheers tinggi-tinggi dihadapan semua orang. Aku tersenyum lebar. Semua menontonku. Termasuk Ayah. Aku berteriak padanya, “Ayah! Jangan pernah katakan tiga kata menyebalkan itu lagi!” Ayah tersenyum kikuk. Lalu mengacungkan jempol, berteriak menjawab,”Kamu adalah inspirasiku sekarang!”. Orang-orang bertepuk tangan menyaksikan drama antara anak dan ayah ini meski sebenarnya mereka tidka mengerti apa artinya. Memangnya aku peduli? aku hanya peduli dengan kebahagiaan orang sekitarku. Percayalah, keajaiban itu pasti terjadi suatu hari nanti jika kamu meyakininya.

Selasa, 26 Mei 2015

Secret Admirer


“Selamat pagi bidadariku, mana senyumnya cantik?”

Bidadari? Cantik? Siapa yang menulis ini?
Secarik kertas pink kutemukan terlipat dibawah kolong mejaku. Perasaanku biasa saja membacanya. Pasti orang ini salah taro.


Mungkin yang dimaksud bidadari dengan senyum cantik itu adalah Clarine. Sahabatku, sekaligus teman sebangku sejak kelas satu SMA.

“ Morniiiing my best friend ....” panjang umur. Bidadari langsung datang.

Kubalas sapaan paginya dengan cengiran lebar. Memamerkan gigiku yang tidak terlalu putih cenderung kuning. Clarine terlihat sangat cantik (memang bisanya sudah cantik sih) dengan sepatu kets warna abu-abu, bandana biru muda dengan tas ransel imut berwarna senada. Setiap harinya aku selalu takjub dengan penampilannya. Nggak pernah bosan memuji dia cantik selama hampir tiga tahun ini. aku adalah penggemar beratnya nomer satu.

“Cla, nih lo dapet penggemar rahasia baru looh” kuserahkan surat yang tadi nyasar ke kolong mejaku itu. Cla membacanya dalam hati lalu tersenyum manis. Surat itu benar, senyum Cla memang cantik seperti bidadari.

“lo udah baca belum?”

Aku mengangguk cepat.  Ia seperti tidak percaya, mengerenyitkan dahi.

“Iya maaf deh Cla, abis surat itu nyasar ke kolong meja gue. Yaudah gue baca deh..hehe”

“bukan masalah itu, Vla sayang. Tapi apa lo gak baca untuk siapa surat ini ditujukan? Ngga ada nama Clarine loh di sini.”

Eh? Berarti surat itu bukan untuk Cla juga, lalu siapa? Cla menunjukan bagian terpenting dari surat tersebut. Mataku terbelakak kaget. Aku tadi memang tidak memeriksa bagian paling bawah dari kertas itu yang tertulis dengan jelas.

TO : My Vlanila

Mau kutahan sampai bagaimanapun, senyum tersungging dari bibirku. Senyum malu dan tak percaya. Cla mengangguk. Meyakinkan padaku bahwa aku juga punya penggemar di sekolah ini. ya ampun, si miss anti-social punya secret admirer?? Aku menepuk jidat. Cla tertawa terbahak.

Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pagi tadi. Sepanjang pelajaran aku tidak bisa konsentrasi sementara Cla terus-menerus menggodaku atau sekedar menyikut lalu tersenyum meledek. Cla memang tidak pernah serius belajar, entah apa yang ia pikirkan tentang masa depannya. 

Setiap kali aku menanyakan hal itu, jawaban yang kuterima hanyalah cengiran lebar khas bidadari. Berbeda denganku yang sangat peduli pada pelajaran. Menurutku, masa depanku ditentukan dari nilai-nilaiku selama belajar. Tapi itulah kami, berbeda sekali, berbanding terbalik, tapi justru terikat seperti magnet.

***

  “Halo cantik, apa kabarmu pagi ini? semoga hari ini kamu banyak menghiasi wajahmu dengan senyum. Karena kau tahu? kamu sangat cantik ketika tersenyum.”

Surat kedua. Entah kenapa hatiku deg-degkan ketika membacanya. Ada perasaan menggelitik ketika kutemukan surat lagi di kolong mejaku. Dengan warna yang sama. Dengan tulisan yang sama. Dengan tinta yang sama, warna hitam. Dengan kata-kata yang sederhana. Dengan tujuan yang sama di pojok paling bawah kertas, diriku. Dan diriku sekarang, melambung terbang di awang-awang.

Berjam-jam pelajaran aku tidak bisa konsentrasi lagi. Hanya senyum-senyum sendiri. Bahkan saat pelajaran kesukaanku, fisika. Bukannya menghitung rumus-rumus fisika, aku malah coret-coret tak karuan. Cla menyikutku pelan. Tertawa geli, menertawakan sikapku. Norak memang. Tapi baru kali ini aku punya penggemar rahasia. Meski aku tidak tahu siapa, dan bagaimana orangnya, yang penting aku tahu kalau ada yang memperhatikanku. Bukannya iri, tapi selama ini bila jalan bersama Cla, semua perhatian laki-laki tertuju padanya. Untuk melirikku saja, sepertinya cowok-cowok merasa anti. Ngga heran sih, aku memang terkenal tak banyak bicara. Berbeda dengan Cla yang supel. Aku selalu berharap bisa menjadi seperti Cla, yang baik dan ramah. Tapi nyatanya sulit sekali membuka diri.

“ Vla, hari ini lo cantik banget. Selalu senyum. Ngga biasanya loh lo senyum sama semua orang yang papasan sama kita.” Cla membuka pembicaraan di wastafel toilet wanita sebari berkaca membetulkan ikatan rambutnya.

“Kata guru ngaji gue, senyum itu ibadah.” Ujarku sambil membuka keran wastafel, cuci tangan, mengambil airnya lalu membasuhnya ke wajah.

“ah bohong banget lo, bukannya kata penggemar lo tuh?” goda Cla.
Wajahku memerah.

“tuh kan, lo blushing. Ngaku aja deh..”

“hehe iya iyaa, entah kenapa ya gue jadi kepikiran. Ternyata senyum bisa bikin gue jadi cantikan dikit. Tapi kenapa dia bisa tahu itu ya? padahal gue ngga pernah senyum kan.”

“setiap lo dapet the best nilai ulangan or test semacam itu sekelas, lo senyum kok tanpa lo sadari. Dan si penggemar itu pasti sangat memperhatikan lo, Vla.”

“tapi Cla..” belum kulanjutkan protesku, Cla sudah menaruh telunjuknya di bibirku.

“ssstttttt. Vla sayang, lo itu cantik. Gue tau lo mau nyangkal apa. Tapi lo dengerin apa kata gue baik-baik. Vlanilla itu cantik yang males dandan nan sombong. kalo lo peduli sama diri sendiri dan orang lain di sekitar, gue jamin, seluruh cowok di sekolah ini pasti suka sama lo. Smart, cantik, ramah, so perfect!”

Aku terpana sekaligus tertampar oleh kata-kata Cla. Tidak tersinggung, malah membuatku intropeksi diri seketika. Cermin di hadapanku telah membenarkan kata-kata Cla barusan. Wajahku kusam, murung, jadi jelek sekali. Kubasuhkan air ke wajah sekali lagi. Mencoba tersenyum semanis mungkin. Cla ikut-ikutan tersenyum lalu bergaya di depan cermin. Memasang aneka ekspresi wajah. Lucu sekali sampai aku sakit perut kebanyakan tertawa. Kami berhenti konyol.

“terus, gimana caranya supaya gue ngga terlihat seperti di cermin ini lagi Cla?”

Cla tersenyum. dia mencubit kedua pipiku dengan gemas sambil mendekatkan bibirnya ke telingaku. Berbisik,”gue bakal kasih tahu resepnya”. Ia mengedipkan matanya lalu menggandengku keluar toilet berhubung bel sudah berbunyi tanda istirahat berakhir

***

Miracle. Bayangan di dalam sana tampak seperti bukan Vla. Benar-benar berbeda. Entah apa yang dilakukan Cla pada wajahku selama beberapa menit tadi. Aku hanya menutup mata, menikmati gerakan jemari Cla di wajahku dan ketika membuka mata, voilaaa upik abu berubah menjadi cinderella. Cla tersenyum puas melihat hasil kreasinya. Sedangkan aku masih terheran-heran, takjub, dan perasaan meledak-ledak lainnya. Apa benar yang ada dalam cermin adalah Vla?

“Cla?? ” aku melirik Cla yang sekarang sedang sibuk mengecat kukuku dengan kutek berwarna pink natural.

“Mm ?” Cla masih saja konsentrasi dengan kuku-kukuku.

“Apa gue ngga terlihat aneh?”

“Menurut lo?” Cla malah balik bertanya. Aku jadi bingung. Menurutku? Kutatap lagi bayangan di cermin. Wajah yang cerah tak lagi kusam, bibir yang emm terlihat seksi dengan lipstik pink ini, rambut panjang yang tertata rapih habis dicurly bergelombang. cantik. Ah tidak, sangat cantik. Aku tersenyum lebar. Aku sudah mendapatkan jawabannya sendiri.

Kami berdua jalan-jalan ke mall terdekat. Hanya untuk survey. Berapa persen cowok yang menatapku terpesona dari banyaknya pengunjung mall ini. Cla yang punya ide gila seperti itu. dan kalau ada cowok yang sampai berani meminta nomerku, Cla akan mentraktirku nonton film plus makan steak sekenyang-kenyangnya. Aku hanya mengiyakan saja tantangan Cla, tidak minat sama sekali.

Tiba di toko buku favorit, aku langsung pamit memisahkan diri dengan Cla yang sibuk melihat-lihat kamera dslr di etalase toko sebelah. Melesat ke bagian hukum, kuambil salah satu buku yang menarik perhatianku. Tanpa kusadari ada tangan lain yang berbarengan meraih buku itu dari rak. Aku terperanjat. Orang itu juga. Aku bersitatap dengannya. Kami bertukar pandangan. Loh? Itu kan Mike, si ketua osis sekolahku yang terkenal karena prince charmingnya itu. memang cukup charming siih.

“Ini bukunya, kamu duluan.” Sekarang si prince charming itu berbicara padaku. Bahkan ia tidak menyadari bahwa aku adalah Vla!

“Terima kasih, Mike.” Ucapku tulus.

“kamu kok tahu namaku?” ia menelitiku dari atas sampai bawah, seakan-akan aku adalah makhluk mars. Aku hanya tersenyum lalu berlalu meninggalkannya menuju kasir dan membayar buku itu. cepat keluar dari sana.

Aku menceritakan kejadian tadi pada Cla saat sedang menikmati es krim di cafe es krim favorit kami. Ekspresinya biasa saja. Sepertinya ia tidak puas.

“Oh my God. Vla! Cowok sekelas Mike, lo cuekin begitu aja?”

“apa sih lo.. gue Cuma aneh aja, masa dia ngga kenal gue? pake ngescanning gue lagi dari atas sampai bawah, dari bawah ke atas lagi.”

Cla tertawa geli. Ia mengacungkan dua jempolnya ke arahku sambil tersenyum dan berkata kecil,”good job, my dear. Tomorrow, is your next job babe.”

Apa? Besok aku harus berdandan seperti ini ke sekolah?

***
Mungkin hari ini adalah hari Jumat teraneh yang pernah kulewati. Aku berpenampilan seperti Cla. Masih dengan seragam yang sama, tapi dimatching dengan beberapa aksesoris seperti saran Cla dan tentu saja wajahku dengan dandanan yang diajarkan Cla. Aku orang yang cepat belajar, jadi sekali saja diajarkan sudah kuingat luar kepala bagaimana berdandan natural ala Clarine si bidadari cantik. 

Baru menginjakkan kaki di gerbang sekolah yang terbuka lebar, satpam penjaga sudah bersiul nakal melihatku. Begitu juga dengan beberapa murid yang kebetulan berbarengan jalannya dengannku memasuki gerbang. “hai, anak baru ya??” goda seorang murid yang ternyata kukenali yaitu Jim, kapten basket. Aku hanya bisa tersenyum, tak kuasa menjawabnya karena begitu geli dan aku merasa sangat aneh.

Godaan-godaan centil dan siulan masih terdengar sampai aku memasuki ruang kelas dan menduduki bangkuku. Aku speechless dan tak tahu harus berbuat apa untuk bisa menunjukan bahwa aku adalah Vla.

“anak baru, jangan duduk di situ! Nanti si miss ansosgly* ngamuk loh.” Ucap seorang anak yang tidak tahu siapa karena untuk menoleh ke asal suara saja aku sudah gugup duluan.

“siapa yang anak baru? Dia bukan anak baru, dia anak lama.” Ujar sumber suara yang sepertinya datang menyelamatkanku dari keanehan ini.

“kalian ngga kenal? Si cantik ini Vlanilla, temen kita.” Terdengar lagi Cla menambahkan.

Kudengar seru-seruan kaget tidak percaya. Dan dalam hitungan detik, teman-teman sekelas mengerubungiku. Memastikan bahwa aku benar adalah Vla. Aku tersenyum lalu berdiri. 

“perkenalkan teman-teman, nama saya Vlanilla Purisa. Dan saya anak lama kok” ucapku kikuk. Semuanya tertawa lalu menyalamiku satu-persatu. Yeah, this is a new Vla.

Pelajaran dimulai. Guru fisika favoritku juga mengira ada anak baru sampai Jim menjelaskan padanya. Aku tersenyum kikuk lagi. Namun ada satu hal aneh yang tak terjadi, yang baru aku sadari. Tidak ada surat dari secret admirerku! Kemana dia? Apakah dia juga tidak menyadari perubahanku? Aku tidak bisa konsentrasi lagi selama pelajaran meski surat itu tak datang mengganggu. Sementara Cla senang aku tidak minat belajar lalu bertulis surat denganku, menanyakan bagaimana perasaanku serta tetek bengek lainnya mengenai perubahanku. “good job again, my dear!” tulisnya mengakhiri chatting kami.

***

Dear Vlanilla, kau cantik hari ini!

Surat ketiga. Aku menemukannya setelah istirahat di kantin bersama Cla. My secret admirer, siapa kamu sebenarnya? Jujur aku tidak peduli dengan laki-laki lain yang sekarang banyak menggodaku dan memperhatikanku. Aku memang tersenyum pada mereka, tapi sebenarnya aku tersenyum sinis dalam hati. Dulu aku masih buruk rupa, melirikku saja pada jijik. Laki-laki menyebalkan. Hanya secret admirer ini yang tulus. Aku tersenyum malu sambil mendekap surat itu.

“gimana? Dia muncul lagi?” tanya Cla setelah kembali dari toilet. Memang tadi aku duluan menuju kelas. Aku mengangguk sebagai jawaban. lalu aku tersenyum lebar sebagai rasa bahagia yang ingin kutunjukkan pada Cla, sahabat terbaikku.

Sepulang sekolah, aku dan Cla mampir dulu ke toilet sekolah. Aku kebelet pipis. Ketika masih di dalam toilet, Cla mengetuk-ngetuk pintu lalu berkata mau kembali lagi ke kelas karena ada yang ketinggalan. Aku mengiyakan dari dalam. Akhir-akhir ini, Cla sering tertinggal sesuatu deh. Apa dia sudah pikun dini? Hihihi. Aku terkikik geli.

Aku berjalan keluar toilet sambil memperhatikan tangga menuju kelas kami. belum ada tanda-tanda kemunculan Cla. Lebih baik aku menyusulnya saja. Mungkin ia kesulitan mencari barangnya yang ketinggalan itu. setelah menaiki tangga, aku berjalan pelan menuju kelas dan pintu kelas agak tertutup. Aku mengintip apakah Cla masih ada di dalam. Cla terlihat memunggungiku. Ia sedang menunduk. Apa yang ia cari sih?aku diam saja memperhatikannya. Ia memasukkan  bolpoin ke dalam kotak pensilnya, lalu melipat kertas dan memasukkan kertas itu ke dalam amplop pink. Tunggu. Amplop pink? Jadi, secret admirer itu....

“Clarine!” teriakku pelan. Tapi cukup mengagetkannya.

“eh Vla? Kenapa menyusul?” tanyanya wajar tapi tetap saja terlihat tak wajar karena ada hal yang ia tutupi. Aku berjalan mendekatinya.

“apa yang lo lakuin?” aku merebut surat pink darinya dan dengan cepat kubuka. Lalu kubacakan isinya.

“Dear bidadari Vlanillaku, meski kamu berubah menjadi apapun, aku akan selalu tetap mengagumimu. Aku sayang kamu.” Pelan-pelan kubaca kata demi kata yang ditulis Cla, pengagum rahasiaku. 

Setiap kata yang kuucap bagai sebilah pedang yang ingin menusuk-nusuk pengagum rahasiaku itu. dia langsung pucat pasi lalu berusaha merebut surat itu dariku. Aku mengelak, lalu merobek-robek surat itu tepat di depan matanya yang tampak berkaca-kaca. Lalu aku hamburkan sobekan-sobekan kertas surat itu di hadapan nya. Aku tak peduli. Lalu aku pergi saat air matanya sudah mengalir deras. Itu yang namanya sahabat?

***

Cla tidak masuk sekolah. Guru-guru menanyakannya padaku namun aku jawab dengan jujur bahwa aku tidak tahu sama sekali mengapa Cla tidak masuk sekolah. Lagipula, seperti aku peduli saja. Tak ada kata maaf darinya. Tak ada basa-basi apapun yang mampir ke handphoneku atau ke rumahku atau surat di kolong mejaku lagi.

Kehidupanku di sekolah dan di luar sekolah sudah berubah. Aku bukanlah Vla yang dulu, aku adalah Vla yang baru. Dan aku bangga akan itu. aku seorang yang sempurna sekarang. Dan yang terpenting, aku tak butuh lagi seorang Cla. Si pengecut yang tiba-tiba menghilang sudah seminggu ini setelah kejadian itu. sekarang ia resmi menyandang sebagai mantan sahabat. Aku tak mau mengingatnya lagi. Teganya mengaku sahabat sejati tapi ia malah mempermainkan sahabatnya sendiri. Aku tak butuh  sahabat seperti itu.

Sudah berbulan-bulan berlalu. Banyak kegiatan sekolah yang menguras tenaga dan pikiranku bahkan sampai tak ada tempat lagi untuk seorang Cla. Hasil ujian sudah keluar dan tentunya aku berhasil menjadi yang terbaik seangkatanku dengan nilai sempurna. Semua teman-temanku mengagumiku, Vla yang sangat sempurna. Meski sampai saat ini aku belum punya pacar karena aku terlalu pemilih. Semua laki-laki yang menyatakan cintannya langsung kutolak mentah-mentah. Sempurna. Tapi entah kenapa seperti ada tempat dihatiku yang kosong. Entah apa.

Hari perpisahan sekolah. The graduate day bagi anak-anak SMA. Tidak terlalu berkesan karena acaranya sangat formal. Dihadiri orangtua murid juga. Aku tidak terlalu suka acaranya karena membosankan meski namaku disebut-disebut kepala sekolah sebagai murid terbaik dalam pidatonya. Sepanjang acara orang-orang tak bosan menyebut namaku. Dan tidak ada yang menyebut nama Clarine.

Prom night. Inilah acara yang paling kutunggu. Di acara ini aku berdandan habis-habisan. Hari sebelumnya, aku membeli gaun malam yang simple dan anggun berwarna peach. Pertama kali aku melihatnya, langsung jatuh hati dan setelah kucoba, kubayar di meja kasir dengan riang. Gaun ini seperti mengisi hatiku yang sedang kosong itu. tapi aku tak ingat mengapa?

Teman-teman wanita yang lain juga sama sepertiku, dandan habis-habisan untuk tampil cantik. Ada yang terlihat sangat menor sekali tapi tetap pede saja berhaha-hihi di antara laki-laki. Sedangkan yang lelaki tampil sangat keren dengan setelan jas dan sepatu pantofel. Ada yang memakai jas warna hitam, cokelat muda, abu-abu, biru, hijau, bahkan pink! Aku sih enggan mingle. Ternyata musik khas dj membuat kepalaku pusing, bukannya mau ikut bergoyang seperti yang lain. Sudah beberapa lelaki yang menghampiriku mengajak turun ke lantai dansa, namun kutolak dengan halus. Aku hanya ingin duduk di kursi yang empuk sambil menikmati soft drink. Tiba-tiba musik berhenti.

“baiklah. Ini adalah pengumuman yang paling ditunggu-tunggu!” sang MC mulai berkicau di atas panggung dj. Semua anak-anak tampak antusias. Sebelum pesta dimulai, aku juga sama antusiasnya dengan mereka. Bertanya hal yang sama seperti mereka yang wanita. Apakah aku adalah prom queen malam ini?

“Tapi sebelum saya buka amplop pemenangnya, ada hal penting yang harus saya sampaikan kepada kalian teman-teman.” Sepertinya ada yang serius nih. Nada bicara MC menjadi sedikit berubah. Aku masih di tempat dudukku, memasang telinga baik-baik.

“Clarine. Teman kita.” Aku langsung tersentak begitu mendengar namanya.

“Cla, begitu ia disapa. Ia menghilang sudah berbulan-bulan lamanya tanpa kita tahu jejaknya. Dan sekarang ia meninggalkan jejak.” Lanjut MC. Aku berdiri. Jejak apa yang ditinggalkan Cla? Terdengar MC menghela nafas. Aku menunggu.

“Cla. Teman kita ternyata sedang dalam perawatan di rumah sakit. Tanpa kita ketahui, selama ini Cla punya penyakit jantung. Jantungnya lemah. Dan di hari sebelum ia menghilang, ia ditemukan pingsan oleh pak Soleh, penjaga sekolah kita. Kita dibiarkan tidak tahu karena itu adalah permintaan Cla.” 

MC menitikkan air matanya. Mengambil nafas berat. Aku sudah sesegukan saat itu. aku tak percaya. Ternyata Cla menghilang karena aku? Sahabat macam apa aku ini?

“Dan Cla pun sempat menitipkan sesuatu ke kepala sekolah untuk sahabat nyaVla” Lanjut MC.

“Buat Vla bisa maju sebentar ?” tanya MC.

Dan akupun berdiri dan berjalan menuju ke arah panggung, dan ternyata yang di titipkan cla untuk aku adalah sepucuk surat, yang di balut dengan amplop pink, persis seperti surat yang dia buat ketika dia sering menaruh nya di kolong meja aku waktu itu.

Aku ambil surat itu dari MC, dan kembali ke tempat dimana aku duduk tadi. Hati ku rasa nya tidak karuan deg-deg an mau buka surat itu dan campu sedih di tambah rasa kaget aku yang belum hilang pas MC memberi tahu keadaan Cla, sahabat yang telah meng-make over aku hingga aku seperti sekarang ini.

Ku buka perlahan surat dari amplop pink itu

Dear Vlanila sayang .
Sebelum nya aku mau minta maaf atas kelakuan aku waktu itu, demi Tuhan aku gak ada maksud buat nyakitin kamu, aku udah mau ngejelasin semua nya waktu itu, tapi sayang kamu keburu pergi tanpa mau mendengarkan penjelasan aku. Mungkin hanya lewat surat ini aku bisa jelasin semua nya ke kamu.
Jujur aku ngelakuin itu karena aku mengagumi kamu, kamu itu pinter cantik tapi sayang kamu terlalu fokus sama pelajaran dan gak memperhatikan penampilan mu, dan kamu slalu ngerasa minder.
Aku ngelakuin itu supaya kamu sadar bahwa kamu itu memiliki inerbeuty, supaya kamu gak ngerasa minder lagi. Dan aku berhasil ngelakuin itu kamu sekarang cantik maksimal. .
Sekali lagi maafin aku ya, semoga kita bisa berteman kayak dulu lagi.
Love You”.
Tak terasa air mata aku pun jatuh saat membaca surat dari Cla itu, aku ingin sekali memeluknya erat saat ini.

***

MC terus melanjutkan kalimatnya. Namun aku tak sanggup lagi mendengar. Aku duduk kembali. Mengambil tissue dan mengusap air mataku. Tapi air mata ini turun kembali. Akulah yang jahat. Akulah sahabat yang buruk. Jauh lebih buruk dibanding penampilanku dulu sebelum berubah. Itulah yang harus kurubah. Aku egois. Tiba-tiba rekaman kejadian aku memergoki Cla terputar di otakku. Dan ketika aku merobek-robek surat itu di depan mata Cla, aku dengan teganya dan terlihat sangat jahat. Aku menghakimi Cla. Tanpa peduli dan tidak mau menanyakan apalagi mendengar alasan Cla berbuat itu. Cla.. maafin gue..

“Oke. Kita sudah berdoa bersama-sama untuk kesembuhan Cla. Sekarang udah nangis-nangisnya, udah sedih-sedihnya. Kita lanjut lagi acara ini.”

MC berhenti sejenak. Mengelap wajahnya dengan sapu tangan lalu tersenyum riang. Aku tetap tidak bisa tersenyum.

“baiklah. Prom queen malam ini adalah .....” MC menahan nafasnya.

“siap? ..... Vlanilla Purisa !! yeahhhh so miss perfect !!” girang MC.

Aku mendengar teman-teman bertepuk tangan riuh gembira. Untuk apa? Kemenangan itu justru menjadi kekalahan buatku. Aku terlalu sibuk menjadi miss perfect. Tanpa perduli dengan sahabatku yang sudah menghilang. Tanpa ada usaha mencarinya. Aku meneteskan kembali air mata.

“halo Vla.. apa ada disitu? Naik ke panggung yaa..”

Dengan berat hati aku naik ke panggung. Diiringi tatapan kagum semua teman-teman. MC mengenakan mahkota ke kepalaku dan kupaksakan untuk tersenyum.

“gue ngga pantas mendapatkan mahkota ini. andai Cla ada di sini, dialah wanita yang pantas mengenakannya.” Teman-teman termasuk MC kaget.

“dan gue bukanlah miss perfect. Gue hanyalah secuil manusia yang mengejar kesempurnaan. Padahal hanya Tuhan yang sempurna.”

“teman-teman, izinin gue buat persembahin satu lagu buat sabahat terbaik kita, Clarine.” Aku menatap MC dan ia mengangguk tersenyum.

Kumulai memainkan lagu back to december lewat gerakan jemariku di atas piano yang terletak di dekat dj. Piano memang disediakan untuk acara dansa setelah pengumuman prom queen. Lampu-lampu mulai meredup. Penata lampu rupanya menyesuaikan suasana dengan lagu yang kumainkan. Sekarang hanya aku yang tersorot sebuah lampu. Suasana menjadi sendu. Aku menitikkan air mata lagi. Aku ingin kembali lagi ke bulan desember. Memperbaiki semuanya dengan Cla.

Baru memasuki reff terakhir, lampu sorot berpindah. Aku tak lagi disorot. Melainkan seseorang yang duduk di kursi roda yang tiba-tiba muncul saat pintu aula membuka. Lampu putih itu mengikuti gerakan kursi roda yang maju kedepan. Pengendaranya tampak bersusah payah memutar roda. Aku masih memainkan piano. Memicingkan mata, siapa itu? jemariku tiba-tiba kaku tak bisa lagi menari. Lagu belum selesai. Kursi roda tepat berada di bawah panggung di depanku.

Clarine?
Aku membeku. Itu memang Cla yang berada di atas kursi roda itu. ia membuka subuah gulungan kertas.

SORRY MY VLA ..

Aku menitikkan air mataku sekali lagi. Aku mencair seketika melihatnya tersenyum hangat. Khas bidadari. Aku bangkit, turun dari panggung lalu berlari menghampirinya. Aku memeluknya erat.

“Maafin gue, Cla.. maafin gue..” isakku.

Cla mengelus punggungku lembut. Ia ikut menangis.

“maaf ya Vla sudah menyakiti hati lo.. tapi sejujurnya, gue sangat mengagumi lo Vla..”

Aku belum mau melepaskan pelukanku.

“gue yang minta maaf Cla.. harusnya gue denger dulu penjelasan lo .. padahal lo selalu ada disaat kapanpun gue butuh lo, tapi saat lo butuh gue, gue malah ngga peduli, gue ngga berusaha mencari lo. gue emang bukan sahabat yang baik.. gue sahabat ..” kalimatku terputus karena Cla melepaskan pelukannya lalu menaruh jari telunjuknya di bibirku.

“Vla adalah sahabat terbaik gue. gue selalu kagum sama Vla yang tegar, pinter, lo punya segalanya Vla. Lo bahkan bisa menjadi apa yang lo mau.. gue selalu iri pada lo.. janji ya, jangan pernah bilang kayak tadi lagi. Lo adalah sahabat sejati gue.” ucap Cla sambil menghapus air mataku.

Seperti teringat sesuatu, aku tersenyum. aku melepaskan mahkotaku, lalu kukenakan pada rambut Cla yang halus. Cla menatapku, bolehkah? Aku tersenyum mengangguk. Tentu saja! Seorang Clarine sangat berhak memakai mahkota ini karena ialah yang telah menjadikanku ratu.
Clarine adalah sahabat terbaikku. Dan aku pengagum rahasianya. Selalu.

***