Hampir setiap minggu
aku menemuinya. Wanita yang selalu kusayang dan kubanggakan. Hanya satu atau
dua jam aku bisa mengunjunginya, bercengkrama dengannya. Selama satu atau dua
jam itu kami hanya menghabiskan waktu berdua di tempat yang sama. Seperti tahu
rutinitas kedatanganku, dia akan menunggu. Padahal aku tidak pernah memberitahu
padanya bahwa aku akan datang. Tapi ia selalu memakai rasa. Perasaan yang ia
gunakan untuk mengendus kedatanganku. Dan dengan santainya ia duduk di bangku
taman, atau duduk di lantai lorong bangunan rumahnya kini. Seperti sore ini
yang cerah di taman yang sama.
“Sarah!” aku berseru
pelan.
Wanita yang kupanggil
sarah hanya menoleh, tersenyum singkat. Aku berjalan mendekatinya yang tinggal
beberapa meter jaraknya denganku. Sarah mengenakan baju terusan selutut
berkerah sailor yang imut berwarna biru muda. Tampak manis meski dandanannya
polos tanpa riasan apapun. Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya.
“Apa kabar Sarah?
Kamu cantik hari ini” ucapku sambil menggenggam jemari tangannya.
Sarah hanya tersenyum
singkat. Matanya menatap lurus ke depan. Jemarinya masih dalam genggamanku.
Kuusap perlahan agar ia merasa nyaman didekatku. aku tak pernah kehilangan
sabar untuk bisa mendapatkan senyumannya.
Waktunya mengeluarkan
senjata rahasia. Roti tawar tanpa kulit dan saus selai favoritnya. Kali ini
kubawakan saus cokelat. Kubuka jemarinya dan kuletakkan selembar roti di
atasnya. Ia bereaksi. Sarah menatap roti itu kemudian menatap mataku. Seperti
meminta sesuatu. Aku tahu dan selalu tahu tatapan matanya itu. saus cokelat.
Kutuang pelan saus cokelat ke atas serat-serat roti. Membentuk dua mata, satu
hidung panjang dan akhirnya, satu senyuman lebar. Sarah akhirnya tersenyum
lebar. Manis sekali.
Kami berdua
bersama-sama melukis di atas lembaran roti. Membentuk ekspresi tertawa, sedih,
menjulurkan lidah, lalu.. sarah membentuk rumah. Dengan satu pintu, satu
jendela, dan satu atap segitiga. Aku tahu ia pasti sangat merindukan rumah,
tapi kondisinya sekarang tidak memungkinkan ia untuk berada di rumah sendirian.
Terlalu beresiko. Aku tidak mau terjadi apa-apa pada Sarah. Bisa saja
memperkerjakan suster untuknya, tapi kalau lengah. Aku tak bisa membiarkan
terjadi yang tidak-tidak. Sarah aman di sini.
“kamu kangen rumah?”
aku pelan-pelan bertanya. Berhati-hati.
Sarah diam saja.
Pandangan matanya menatap kosong ke lukisan rumah roti tadi. Ia tak perlu
menjawab. Aku bodoh mengajukan pertanyaan yang padahal sudah tahu jawabannya.
Justru pertanyaanku ini hanya akan mengundang emosinya saja. Aku melirik suster
yang kebetulan lewat. Memberinya tanda untuk mendekat. Untuk berjaga-jaga saja
kalau Sarah meledak-ledak.
“manis.”
“apa Sarah?” aku
terkejut Sarah berbicara. Dengan cepat kuberikan tanda menjauh untuk suster
yang sedang berjalan mendekat. Suster hanya akan mengganggunya.
“manis.”ulangnya.
Sarah mencolek saus cokelat dan dijilatnya.
“ya, semanis kamu
Sarah.” Aku tersenyum.
Sarah memandang
mataku. Lama sekali. Aku hanya bisa diam. Tidak kuasa menatap matanya. Mata
sarah yang bulat dan jernih hanya menatapku lurus dan kosong. Tapi kekosongan
itu seolah menceritakan segala hal yang dirasakan Sarah. Dan aku tahu apa saja
yang dirasakannya. Makanya aku tak sanggup menatap matanya itu. aku mengalihkan
pandanganku ke lukisan rumah roti Sarah.
Ada yang mengangkat
daguku. Mau tak mau, pandangan kami bertemu. Jemari Sarah menelurusuri daguku
sampai ke rambut di sekitar telinga lau ubun-ubun. Ia mengusapnya perlahan.
Penuh kasih sayang. Aku terpana. Sarah berubah kembali menjadi sosok yang
mempunyai sebuah rasa. Bibirnya membuka, seperti ingin mengatakan sesuatu.
Namun kemudian mengatup kembali. Ada yang menahannya. Jemarinya ia tarik cepat
dari rambutku dengan gerakan kilat. Kini ia meraih botol saus cokelat.
“kamu mau melukis
lagi?” tanyaku hati-hati.
Seperti biasa
kembali, Sarah tidak menjawab. Ia memandangku cepat, lalu beralih ke roti dan
saus cokelat lagi. Aku harus mengerti apa yang ia inginkan. Mmmh, nafasku jadi
agak berat sekarang. Kadang aku tidak bisa mengerti dirinya, kadang aku bisa
menjadi sangat mengerti dirinya. Sarah yang sekarang sulit kupahami. Tak bisa
ditebak sama sekali.
Saus cokelat
menari-nari tertuang di atas roti. Aku menerka-nerka gambar apa yang akan
dibuatnya. Kuperhatikan terus gerakan Sarah. Ah, itu kan? Seperti setengah
hati. Ia sempat berhenti, jemarinya menjadi kaku. Mungkin sarah ingin
melanjutkan setengah hatinya menjadi satu hati utuh. Ketika hati baru terbentuk
tiga perempatnya, Sarah berhenti. Tidak kaku lagi namun ia hanya memencet botol
tanpa menggerakkannya seperti tadi. Saus cokelat tertuang berlebihan, merusak
bentuk hati yang belum jadi. Sebelum beleber ke luar area roti, aku merebut
botol saus dari Sarah. Kaget, roti tadi ia lemparkan ke kemejaku. Ah..
berantakan.
Kebetulan ada suster
lewat langsung menghampiri kami. suster membantuku membersihkan saus cokelat
dari kemejaku dengan sapu tangan yang dibawanya. Aku mengambil sapu tangan dari
tangan suster dan mengatakan tak perlu repot-repot. Suster cantik itu hanya
tersenyum. lalu berpindah membersihkan jemari Sarah yang belepotan saus
cokelat. Namun sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi.
Sarah mengamuk begitu
suster memegang jemarinya. Ia menyerang suster dengan melemparkan roti-roti ke
arah suster. Aku berusaha memegangi tangan Sarah sebelum ia melakukan hal yang
lebih buruk lagi pada suster.
“Jangan Sarah!
Jangan!” teriakku pelan agar Sarah tak menganggap aku memarahinya.
Bukannya menurut,
Sarah malah makin di luar kendali. Tangannya aman dalam ikatan tanganku, tapi
anggota badannya yang lain tak mau diam. Kakinya menendang-nendang ke segala
arah. Badannya meronta-ronta. Tenaganya semakin lama semakin kuat. Aku sampai
kewalahan dibuatnya. Suster langsung berlari memanggil suster lainnya meminta
bantuan. Orang-orang yang berada di taman mulai mendekati kekacauan kami.
bukanya membantu, malah menonton dan sibuk dengan diri masing-masing.
Akhirnya aku tak
mampu lagi meredakan Sarah. Kami berdua jatuh terduduk ke rerumputan. aku mendekapnya.
Mengelus-ngelus rambutnya. Membisikkan namanya perlahan. Air mataku sudah
menetes. Aku tak peduli. Laki-laki tidak berarti cengeng jika meneteskan air
mata. Ini benar-benar air mata kesedihan. Sarah yang kukenal dulu bukan seperti
ini.
Suster-suster
berlarian ke arah kami. tapi sadar Sarah sudah mereda dan agak tenang, mereka
berjalan pelan-pelan supaya tidak mengagetkannya. Aku sendiri kagum dengan
suster-suster yang sangat tanggap sekali dan paham akan situasi seperti ini.
mereka sangat mengerti pasien-pasiennya. Salah satu suster sudah berada di
dekat kami. yang lainnya mengusir para penonton pelan-pelan bahkan ada yang
sampai harus dituntun untuk “bermain” kembali. Sarah disuntikkan obat penenang
oleh suster sampai akhirnya tertidur.
Aku membopong Sarah
menuju ke kamarnya. Merebahkannya, lalu mengecup keningnya lembut. “mimpi indah
ya, cantik.” Bisikku di telinganya. Kemudian aku pamit kepada suster tadi.
Berbasa-basi mengucap terima kasih. Bergegas keluar dari kamar Sarah, pulang. Tak
ada lagi yang menahanku di sini.
***
Tiga bulan silam.
Hari yang sangat
ditunggu-tunggu. Sangat mendebarkan jantung ini dan membuat otot sekitar bibir
otomatis tertarik tersenyum. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu
datangnya hari ini. hari pernikahanku.
Keluargaku sibuk
merias diri, mempersiapkan segala sesuatunya. Pagi ini pernikahan akan
diberkati di gereja dekat rumahku sementara malamnya digelar resepsi di sebuah
hotel berbintang. Rasanya tak sabar menuntaskan hari ini untuk kemudian bisa
berlibur bulan madu ke paris bersama perempuanku.
Ia mengenakan gaun
simple berwarna biru muda, warna kesukaannya. Dengan hiasan bunga di rambutnya,
bagiku sudah sangat cantik dan sempurna. “Sarah!” ia menatapku lewat pantulan
cermin didepannya lalu tersenyum. aku hanya diam di pintu kamarnya, tidak mau
mengganggunya. Cermin besar di depannya tak bosan menampilkan wajah ceria
Sarah. Aku bertanya dengan isyarat. Bagaimana dengan penampilanku? Seperi
mengerti isyaratku, sarah memberi kode dengan acungan dua jempol. Bibirnya
bergerak tak bersuara, “ Perfect!”
“ Saudara Agra,
apakah anda bersedia menjadi suami dari Agnastia, mencintainya sampai maut
memisahkan ?”
“Ya, saya bersedia.”
“ Saudari Agnastia,
apakah anda bersedia menjadi istri dari Agra, mencintainya sampai maut
memisahkan?”
“Ya, saya bersedia.”
Aku menengok ke arah
Sarah. Ia mengacungkan satu jempol. Kalau satu tangannya tidak memegang seikat
bunga, pasti ia mengacungkan dua jempol. Aku terkekeh pelan supaya tidak
menganggu pendeta. Akhirnya aku dan kekasihku resmi menjadi pasangan pengantin.
Tidak, memang bukan Sarah. Ia adalah saudara tiriku yang paling cantik dan baik
hati meskipun sebenarnya aku mencintainya. Tapi satu darah tetaplah sedarah.
Tidak ada yang perlu tahu perasaan ini.
Tiba saatnya
pelemparan bunga. Semua para wanita yang belum menikah mengikuti prosesi ini.
Termasuk Sarah. Ia kelihatan ceria meskipun kebagian di deretan paling
belakang. Tubuh mungilnya tergeser banyak wanita yang saling berdesakan. Aku
berdiri tepat disamping istriku, Tia yang tersenyum lebar melihat antusias
teman-temannya menunggu bunga yang penuh arti itu. aku mengangguk untuk Tia.
Akupun tak sabar menyaksikan para wanita berebutan bunga. Semmoga Sarah yang
mendapatkannya.
Tia melakukan
ancang-ancang melempar bunga. Aku memberi kode untuk dilempar jauh. Tia mengangguk
lalu dilemparnya seikat bunga mawar putih itu jauh. Jantungku jadi ikut
berdegup kencang. Dalam slow motion, para wanita seperti berloncatan mencoba
meraihn bunga yang sedang terbang bebas. Kulihat Sarah tersenyum lebar.
Tanganya terangkat untuk menangkapnya. Lewat. Bunga masih terbang bebas.
“It’s
mine..mine..mine !!” teriak Sarah sambil melangkah mundur menggapai bunga itu.
semua wanita berteriak histeris tak sabar. Akupun tak sabar.
Dan waktupun tak
sabar. Seperti cheetah yang berlari dengan kecepatan tinggi. Seperti kincir
angin yang berputar cepat. Terjadi begitu saja. Teriakan histeris gembira
wanita-wanita berubah menjadi teriakan histeris ketakutan. Aku membeku. Tia
menggenggap tanganku erat. Ketika Sarah mendapatkan bunga mawar itu. entah
sepersekian detik setelahnya. Sebuah mobil yang dikemudikan seorang vallet
parking menabrak Sarah. Jantungku seperti berhenti.
Semua orang
berlarian. Termasuk aku. Berusaha secepat mungkin berada disamping Sarah. Ia
membutuhkanku. Namun terlambat. Ketika kuangkat kepalanya dan kutaruh
dipangkuan, celana panjangku menjadi berlumuran darah. Aku baru menyadari kalau
kepala Sarah saat terpental mengenai sebuah batu besar. Tanpa kuminta Tia
menelepon ambulance. Semoga tidak benar-benar terlambat.
Aku menatap wajah
Sarah. Tapi tunggu , ia membuka bibirnya. Sepertinya ia belum pingsan.
Kudekatkan telingaku ke bibirnya. Kamu mau bilang apa Sarah?
“Terima kasih Agra..
aku.. Sarah mencintaimu..”
Kemudian Sarah
pingsan. aku hampir pingsan mendengar kalimat Sarah. Benarkah hal itu? Ya ampun
Sarah, kenapa kau baru bilang. Kenapa kau baru bilang di hari pernikahanku?
Kenapa Sarah? Aku hanya terdiam . tak mampu berbuat apa-apa. Entah karena
melihat kondisi Sarah atau karena perkataan Sarah barusan. Tak lama kemudian
ambulance datang membawa Sarah ke rumah sakit. Aku juga ikut menemani. Tia dan
keluargaku kupesan agar tetap melanjutkan hari ini untuk menghormati tamu.
Hari ini benar-benar
kacau. Pernikahan yang tak seperti di cerita dongeng. Sekarang resepsi sedang
digelar tanpa pengantin. Tia menyusulku ke rumah sakit. Ia mengerti benar
bagaimana perasaanku. Sarah tak punya keluarga lagi selain aku dan ibuku.
Ayahnya meninggal setahun setelah menikah dengan ibuku. Dan pada saat itu aku
masih dalam kandungan ibu. Sarah seperti kakak sekaligus adik untukku. Ia
dewasa, selalu bisa mendewasakanku dan ia juga manja seperti adik kecil manis
yang cengeng butuh perhatian. Aku menyayanginya dan memendam perasaan itu.
tanpa kutahu perasaannya sampai hari ini.
Dokter mengabarkan
kalau benturan di kepala Sarah bisa fatal akibatnya karena mengenai beberapa
saraf penting di otaknya. Kemungkinan besar Sarah bisa hilang ingatan atau
lumpuh. Aku tak kuasa mendengarnya. Tia memelukku erat.
Setelah beberapa hari
koma, Sarah akhirnya tersadar. Ia tersenyum kepadaku. Tapi begitu Tia
menyapanya, Sarah mengerenyitkan dahi.
“Siapa kamu?”
“Aku Tia, sahabat
kamu dan juga istri Agra. Ingat kan Sarah?” Tia berusaha tersenyum.
Sarah diam saja
menatapku seperti minta penjelasan. Aku tak mengerti, bagian apa yang harus
kujelaskan. Lalu ia menatap mata Tia dalam-dalam. Aku berharap Sarah bisa
mengingatnya. Dalam hitungan detik, mata Sarah berubah. Ia tidak seperti Sarah
yang kukenal. Matanya menjadi kosong. Tangannya memegang kepalanya mengerang
kesakitan. Aku memanggil suster dan dokter. Tia memeluk Sarah mencoba
menenangkan. Bukannya tenang, Sarah menjadi kasar terhadap Tia. Ia melepaskan
pelukan Tia. Meronta dan meneriaki Tia sejadinya. Apa yang ia teriakan tidak
pantas kuumbar. Cukup pahami apa arti teriakannya. Hanya satu. Ia mencintaiku.
Dan untungnya istriku mengerti, bagaimanapun ia juga wanita.
***
Minggu ini aku datang
lagi. Seperti minggu-minggu sebelumnya,aku bawakan roti dan kali ini saus
stroberri. Aku masih ingat, Sarah suka sekali saus stroberi bikinan mama.
Semenjak Sarah masuk rumah sakit, mama tidak mau lagi membuatnya. Setelah
kubujuk, akhirnya mama yang mau membuatkan selai stroberi untuk Sarah. Dulu ia
pernah sampai menyembunyikan saus stroberinya di kamar untuk dinikmati sendiri
dengan berlembar-lembar roti. Dulu kami sering cekikikan berdua menggambari
roti-roti itu lalu dimakan bersama. Tapi sekarang tak ada cekikikan lagi. Sarah
yang sekarang pelit berekspresi.
Suster berjaga dari
kejauhan mengawasi kami. Takutnya Sarah mengamuk seperti minggu lalu. Aku
sendiri tak takut kalau Sarah mengamuk, hanya saja selalu timbul suatu rasa
yang mungkin dinamakan bersalah. Selama beberapa minggu pernikahanku, selalu
muncul kata “seandainya”. Ya, seandainya saja aku cukup gentle untuk
mengungkapkan perasaanku pada Sarah sebelum melamar Tia. Seandainya saja lima
tahun silam aku tidak menjadikan Tia sebagai pelarianku. Mungkin keadaan Sarah
akan jauh lebih baik dari ini. Sesal memang tiada arti. Namun apa lagi yang
dapat kulakukan selain menyesalinya?
Roti-roti sudah
berhiaskan berbagai gambar Sarah. Aku tidak terlalu mencampuri saus stoberi
Sarah. Aku lebih menikmati gerakan jemarinya menggambar. Sarah yang berbeda,
namun masih Sarah yang kucintai. Tak peduli seberapa banyak ia berubah.
Perubahan itu takkan mampu merubah perasaanku. Aku melihat ke sekitar. Ada
ibu-ibu menggendong boneka sambil bernyanyi nina bobo, mungkin ia kehilangan
bayinya sehingga jadi gila seperti itu. ada juga seorang pemuda yang
menubruk-nubrukan badannya ke tembok, mungkin ia kira ia adalah seorang titisan
harry potter yang dapat menembus tembok. Ah banyak sekali orang yang tak dapat
kumengerti di sini. mungkin aku harus ikut tak waras agar dianggap ‘waras’ oleh
penghuni rumah sakit ini.
Sarah menarik-narik
kerah kemejaku. Sepertinya ia sadar aku sedang memerhatikan orang lain. Aku tak
ingin membuatnya kecewa karena merasa tak diperhatikan. Kualihkan mataku pada
tumpukan roti-roti berselimut saus stroberi. Namun ada satu yang menarik
perhatianku. Selembar roti dengan topping saus berbentuk hati yang besar.
Menyadari tatapan mataku, Sarah mengambil roti tersebut. Lalu disodorkannya
untukku. Bukannya meraih pemberiannya, aku malah langsung menatap matanya. Matanya
terlihat jauh lebih menarik ketimbang roti itu. seperti berbicara. Dan aku mencoba
mendengar matanya berbicara.
Hati ini untuk kamu.
Aku mengerenyitkan
dahi. Apakah aku sudah gila mendengar matanya berbicara?
Ya, ini hati aku.
Gila, ini benar-benar
gila. Aku yakin aku bisa mendengar suara Sarah dengan jelas meski tak
sedikitpun bibirnya bergerak. Apakah aku ..
Kamu engga gila
Agra..
Kuberanikan diri
menatap mata Sarah. Apakah ini yang dinamakan ikatan batin? Atau apakah aku
sudah benar-benar gila? Sarah tersenyum kepadaku. Aku jadi makin tak mengerti.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Aku ingin pulang,
Agra. Aku rindu menbuat selai stroberi bersama ibu.
Sarah. Kuperhatikan
dalam-dalam matanya. Sorot matanya. Tegas dan jujur. Sarah yang kukenal dulu
telah kembali. Tapi kenapa hanya aku yang bisa mendengar suara hatinya? Apa
yang harus aku lakukan?
Bawa aku pulang
bersama kamu. Aku mohon.
Air mata Sarah
menetes. Suster yang sedang memperhatikan kami langsung mendekati. Ia
memberikan isyarat untukku pergi. Aku kembali menatap mata Sarah. Matanya
memohon kepadaku. Sangat.
Stroberi. Aku ingin
membuatnya lagi bersamamu.
Kepalaku berputar
cepat, mengambil keputusan tak terduga namun sekaligus buat hatiku bahagia.
“Suster, saya ingin
membawa Sarah pulang hari ini juga.” Ujarku.
Suster didepanku
tampak terkejut. Ia tahu, aku tidak main-main karena aku sedari tadi
menggenggam tangan Sarah. aku mengangguk yakin lalu tersenyum pada Sarah. aku
ingin suster tahu bahwa Sarah sudah tak membutuhkan tempat ini. senyum Sarah
mengembang. Sarah telah kembali.
***
Satu tahun kemudian.
“Ibu..ibu.. lihat
stroberi yang kupetik, banyak bukan?” teriak Sarah dari kebun sambil
mengangkat-angkat ember berisi penuh buah stroberi.
Ibuku sedang merajut
di gazebo kebun stroberi. Ia melirik sekilas lalu mengacungkan jempol pada
Sarah. Aku juga ikut mengacungkan jempol. Sarah tertawa gembira. Ia
berlari-lari menghampiri kami.
“Nah.. Sarah mau
buatkan kamu saus stroberi yaa adik manis..” ucapnya sambil menaruh ember penuh
stroberi lalu ingin bergantian denganku menggendong Sissy, buah pernikahanku
dengan Tia.
Sarah menggendongnya,
memeluknya, menciuminya. Aku bahagia melihatnya begitu ceria. Senyum dan tawa
Sarah seolah menghilangkan peristiwa kematian Tia ketika melahirkan Sissy. Saat
itu, aku menemani persalinannya. Menyaksikan Tia yang berusaha begitu keras
melahirkan bayiku, menatap kaget darah yang mengalir deras. Ya, Tia meninggal
sesaat setelah bayi kami menangis sejadinya begitu melihat dunia luar. Aku
sempat melihat Tia yang terkulai lemas itu tersenyum. lalu Tia pingsan dan ia
tak terselamatkan lagi.
“ma..ma..ma..” aku
kaget. Sarah pun tak kalah kaget. Ibu menghentikan rajutannya. Mendekati sissy.
“mamamamamamama”
Sissy kembali bertingkah lalu tertawa menggemaskan. Sarah menatap padaku.
“boleh nih, aku
dipanggil mama sama Sissymu?”
Aku langsung
gelagapan. Ibu hanya mencibir lalu tertawa. Akhirnya kami semua tertawa. Tapi
Sissy benar, ia butuh seseorang yang bisa dipanggilnya mama. Apakah ini waktu
yang tepat?
“Mam.. Agra ingin
menyampaikan sesuatu..” Ibu menatapku, terlihat penasaran dengan kata-kataku
selanjutnya.
Aku berdeham. Sarah
ikut menatapku. Sissy hanya menatap Sarah.
“Aku rasa, Sissy
memang membutuhkan kasih sayang seorang Ibu. Dan aku rasa.. wanita yang tepat
adalah.. Sarah.” ibu terlihat tak kaget malah tersenyum. sosok yang ada
didepanku ini mengangguk, mendukung seraya berkata, katakan sekarang atau tidak
sama sekali.
“Sarah.. apa kamu mau
menjadi ibu dari Sissy? Menjadi suami dari ayahnya Sissy?” aku menatap pada
Sarah. meskipun tanpa persiapan apapun dan tanpa cincin sekalipun, aku sangat
mantap dengan kalimatku barusan.
Air matanya menetes.
Lalu senyumnya mengembang. Sarah melirik pada ibu, dan hanya anggukan kepala
yang terlihat. Sarah tersenyum lebar.
“Tentu saja mau!!”
jawabnya ceria, khasnya Sarah.
“mamamamamamama”
Sissy tampak ikut bahagia mempunyai Ibu baru.
Kami semua memeluk
Sissy yang membuatnya jadi tak mau diam. Tangan dan kakinya bergerak-gerak
sembarangan.
Praaanggggg.
Ember yang terbuat
dari seng itupun terjatuh, terkena tendangan kaki Sissy yang tak mau diam.
Stroberi berjatuhan berceceran. Merah dimana-mana.
“eehh.. Sissy mau
buat saus stroberi yah?” canda Sarah.
Kami semua tertawa
lagi. Entah Sissy atau Sarah yang memang konyol, dua-duanya cocok sepertinya.
Dan sepertinya Sissy menyukai stroberi juga. Ia ingin turun dari gendongan
Sarah, merasakan inderanya meraba stroberi berceceran dimana-mana.
Saus stroberi. Segala
sesuatu yang dibuat dengan cinta, yang dibuat dari hati yang tulus pasti
tersembunyi rahasia didalamnya. Rahasia yang tanpa perlu kuketahui awalnya,
namun sudah kuketahui akhirnya secara fakta.
Stroberi. Tanpa
kusadar, buah ini yang menjadi faktor medium bagi aku dan Sarah. Cinta yang
rasanya sulit ditebak. Cinta yang harus dipupuk terus seperti tanaman stroberi
supaya berbuah manis. Dan menghasilkan saus yang manis rasanya. Saus Stroberi.
***