Drrrrt..drrrrt..drrrrrtt...
No
Number’s Calling
Siapa yang menelpon malam-malam gini? Apakah
Dandy? Sejak pertengkaran di telepon tadi siang, ia benar-benar tak berusaha
menghubungiku. Padahal hp sudah kunyalakan setelah mahasiswa gila itu keluar
dari tokoku. Tapi rasanya Dandy tidak pernah meneleponku dengan private number. Jadi penasaran.
“Halo?” ucapku pelan begitu menekan tombol answer.
“Halo, Rissa Ayutri. Bagaimana keadaan hatimu
sekarang? Do you feel better?” Suara
cowok. Kayaknya aku pernah dengar suaranya ini. Tapi dimana ya?
“Sorry. Siapa ini?” Tanyaku hati-hati.
“Perkenalkan, namaku Ardana. Remember me?”
Tuh kan. Dia si ..
“Ah, dasar mahasiswa gila!” Seruku sambil menahan
tawa. Nada bicaranya itu benar-benar dibuat-buat. Memangnya dia pikir dia
pejabat yang harus menggunakan nada seperti itu saat memperkenalkan diri.
“Hahahahahahaha..” Tawanya benar-benar terdengar
renyah.
“Hahaha” Aku ikut tertawa.
“Nah, gitu dong. Kan cantik kalau ketawa.” Godanya
setelah berhenti tertawa.
“Gombal! Huu.”
“Loh, siapa yang gombal? Aku kan hanya ingin
berkata jujur sama kamu.”
“Lebih gombal lagi tuh. Hahaha” Dasar. Kenapa aku
jadi berbunga-bunga gini baru digombalin gitu aja?
“Yee, yaudah kalau nggak percaya. Kamu yang rugi.”
Ancamnya pelan.
“Hahaha terserah ah.”
“Eh, bales dong chat aku kemarin. Sombong nih
kamu.” Loh? Jadi yang kemarin itu dia? Coba tes dulu.
“Ayo jawab. Kamu pakai foto profil apa?”
“Chika!” Jawabnya antusias.
“Salah! Orang yang chat aku kemarin itu, foto
profilnya anak anjing tahu!”
“Lha itu namanya Chika. Dia anjing kesayanganku
tahu!”
“Yang bener?”
“Sini deh mampir ke rumahku kalau mau kenalan sama
Chika. Hehe”
“Iya, iyaa deh percaya. Hehehe aku nggak nyangka
kamu suka binatang.”
“Aku juga nggak nyangka bisa suka sama kamu!”
Godanya.
Aku diam saja. Kulihat pantulan wajahku di cermin
meja rias di depanku. Merah padam. Tidak. Masa aku kalah hanya dengan kalimat
gombal dia sih.
“Hahaha. Ah sudah ya, aku ngantuk nih. Sudah malam
tahu!”
“Oke deh. Selamat tidur ya bidadari manis.”
Apa? Bidadari?
“Sweet dream.”
“Night.” Aku menutup telepon. Kudekap erat
handphoneku. Hati meledak.
Aku tertidur lelap. Dan bermimpi semanis permen.
***
10
Missed Call
Haha dasar mahasiswa gila. Baru bangun tidur gini,
udah bisa aja bikin orang ketawa yah. Kan semalam aku udah bilang mau tidur,
buat apa missed call segala. Sampai sepuluh kali pula. Kubuka notification. Aku
terpana. Terkejut. Tak percaya.
Begitu melihat nama kontak yang tertera di layar,
yang menghubungiku terus-menerus. Dandy? Aku sampai lupa masih ada masalah
dengan pacarku satu itu.
Maaf
semalam aku sudah tidur. Ada apa?
Kukirim pesan singkat padanya. Mencoba bersikap
wajar. Meski hati dongkol setengah mati mengingat kejadian tempo hari. Dandy,
sang pacar yang sangat dewasa dan selalu kubanggakan, selingkuh. Tragis.
Drrrrt...drrrt. 1 Message.
Bisa
buka pintu rumah kamu?
Eh? Aku berjalan keluar kamar, menuju foyer.
Kusibakkan gorden sedikit, mengintip apa benar dia ada di depan pintuku.
Ternyata ia sungguh-sungguh. Cowok super rapih yang berdiri di depan pintuku
adalah Dandy. Aku melirik jam dinding, pukul enam. Masih pagi sekali ini.
kuputar kunci lalu kubuka perlahan pintu. Wajahnya tepat dibalik pintu. Wajah
memelas. Entah karena merasa bersalah atau kelelahan?
“Sayang, tolong jelaskan apa yang terjadi
sebenarnya.” Ucapnya serius dengan kerut di dahi. Masih dengan wajah memelasnya.
“Masuk. Nggak enak sama tetangga.” Ia menurut.
Kututup pintu lalu berpaling duduk di sofa single empuk. Kulipat tangan di
dada. Menghela nafas.
“Aku ulang sekali lagi pertanyaanku di telepon
waktu itu. Siapa wanita itu?” tanyaku tajam. Lagi-lagi dandy pura-pura tak
mengerti. Kukibaskan tangan.
“Udah deh. Mau sampai kapan kamu bersandiwara
terus, Dan?”
“Oke. Aku akan jawab pertanyaan kamu itu, tapi
kamu harus jawab pertanyaanku dulu sebelumnya.” Jawabnya datar. Wajahnya
terlihat, mm menantang?
“Silahkan.” Aku tak takut. Toh dia yang salah.
“Memangnya kamu melihat dengan mata kepala kamu
sendiri kalau aku sedang bersama wanita lain?” tanyanya tegas.
“Aku memang tidak melihat. Tapi aku mendengar
dengan telingaku sendiri.”
“Mendengar dari gosip orang lain? Jadi kamu lebih
percaya dengan orang asing daripada pacarmu sendiri yang sudah lama sama kamu?”
Aku tertawa sinis.
“Bukan. Tapi dari handphonemu sendiri. Aku
menelepon dan yang menjawab adalah wanita. Mau berkilah lagi? Memangnya sejak
kapan kamu pakai suara pengubah menjadi seorang wanita di telepon kamu,
SAYANG?”
Dandy hendak berbicara lagi tapi kuhentikan dengan
satu lambaian tangan.
“STOP! Aku nggak mau dengar apapun lagi. BYE!”
kutinggalkan foyer. Melangkah cepat menuju kamarku. Dasar buaya dewasa!
Blam.
***
Pertengkaran tadi pagi benar-benar merusak hariku.
Mega merah mulai muncul, namun aku belum beranjak dari tempat tidur. Seharian
ini kerjaanku hanya tidur-tiduran, ngemil, nonton tv. Bahkan aku belum mandi.
Ke kamar mandi hanya numpang pipis. Di rumah ini aku hanya sendiri. Jadi nggak
ada yang bakal protes dengan kebiasaan burukku setiap bad mood menyerang.
Meski cuma malas-malasan saja, tapi rasanya capek
sekali. Tepatnya, pikiran dan hati yang capek. Siapa lagi? Kalau bukan karena
Dandy. Akar penyebab jeleknya moodku hari ini kan dia, si buaya dewasa.
Kalau diingat-ingat, aku jahat juga ya. Sama
sekali tidak memberikan kesempatan untuk menjelaskan. Tapi apa yang perlu
dijelaskan lagi kalau semua toh sudah jelas. Aku nggak jahat, yang jahat itu
dia. Mungkin ini jalan terbaik untuk kita berdua. Coba saja kita lihat, kalau
dia punya rasa bersalah, apa yang bakal dia lakuin selanjutnya. Kalau aku masih
berada di urutan kesekian prioritasnya, makin jelaslah sudah. Aku sudah tak mau
lagi berada dalam skala prioritasnya itu.
Ah, Dandy. Andai saja. Andai saja kamu selalu
punya waktu untukku. Andai saja kamu tidak bermain dibelakangku. Andai saja
kamu ..bisa selalu menghibur dan menyemangatiku.
Tiba-tiba saja muncul suara mahasiswa gila itu.
Tidak, dia tidak benar-benar muncul di hadapanku seperti kemarin-kemarin.
Melainkan di pikiranku, atau mungkin, di hatiku. Ada apa ini sebenarnya? What’s
wrong with you? Bukan saatnya memikirkan cowok lain sekarang ini. Ah,
sepertinya aku butuh guyuran air dingin di kepalaku. Tidak mandi seharian
membuat otakku error sedemikian rupa.
***
1 New Message
Hai Rissa, kamu baik-baik aja?
Tokomu tutup hari ini?
Aku
lemparkan handphoneku kembali ke atas kasur. Mahasiswa gila ini lagi. Kenapa
dia kepo banget sih? Mau aku tutup seharian atau sebulan sekalian kan, bukan
urusannya. Pasti ini anak lagi taruhan sama teman-temannya buat dapetin aku.
Astagfirullah.
Kenapa aku jadi berpikiran buruk gini sama orang? Anak itu kan sedari awal
nggak pernah terlihat jahat sama aku. Dandy benar-benar bikin hatiku jadi kacau
sampai orang lain kena imbasnya.
Drrrttt.....drrrrttt....
Ardana’s Calling
Answer.
“Ya?”
“Hai,
Rissa! Kok tokomu tutup? Kenapa pesanku ngga dibalas?”
“Ardana
...”
“Kenapa
sayang?”
“Ardana
...”
“Kamu
baik-baik aja? Aku ke tempat kamu, kasih tahu alamat kamu sekarang!”
Tidak
sampai satu jam, Ardana kini sudah berada di sisiku. Setia mendengarkanku.
Segala rasa yang kupendam selama ini terhadap Dandy. Rasa kesal, marah, cemburu
dan haus akan perhatian juga ingin diprioritaskan olehnya.
Lega.
Bebas. Heran.
Rasanya
lega sekali bisa mengeluarkan segala gelisah yang ada dalam pikiran dan hatiku.
Yang selama ini hanya aku memendamnya sendiri, tak sekalipun aku curhat pada
teman manapun sampai tadi, sebelum sosok lelaki ini tiba dihadapanku.
Pikiranku
bebas. Tak hanya memikirkan Dandy lagi setelah menumpahkan semuanya pada
Ardana. Logikaku mulai berjalan kembali setelah sebelumnya diambil alih
seluruhnya oleh yang namanya hati. Cukup perasaan saja yang sakit, jangan
sampai otak kita. Memangnya mau jadi orang nggak waras usia dini?
Sangat
heran. Beneran deh. Kenapa juga aku bisa percaya langsung oleh yang namanya
Ardana ini? kenal baru juga beberapa hari. Tapi Ardana adalah tipe cowok yang
sangat bisa mengerti aku. Dia selalu beri apa yang aku ingin, tanpa perlu aku
diktekan padanya. Dia selalu ada tanpa diminta, disaat aku benar-benar malas
menghubungi siapapun padahal sebenarnya aku sangat kesepian dan memang butuh teman
bicara.
Ardana.
Mahasiswa di depanku ini benar-benar seorang gentleman. Mengelus halus
rambutku, mengusap kepalaku dan membawanya bersender dipundaknya. Jemarinya
menelusuri pipiku, mengusap tangisku namun seakan berkata,”menangislah.”
***
“Terima kasih banyak, Ardana.” ucapku pelan ketika
ia membuka pintu rumahku keluar. Ia menoleh
lalu tersenyum.
“Senyum dong, mau pulang nih. Masa dicemberutin?”
“Hehehe..” Aku menunduk malu. Benar juga, kan
hatiku sudah merasa lebih baik.
“Nah, gitu. Kan jadi ngga perlu jauh-jauh ke Kota
Bunga, ada di depanku bunga-bunganya. Jauh lebih cantik.” Godanya lalu
mengedipkan sebelah mata.
“Hati-hati ya. Jangan ngebut.”
“Kamu yang hati-hati. Besok aku tunggu kamu di
kampus.”
Ia mengacak-acak rambutku sebelum benar-benar
pergi dengan sepeda motornya. Aku menutup pintu, bersender padanya. Hari ini
benar-benar hari yang sangat aneh. Dalam satu hari, situasi hatiku bisa jungkir
balik seperti ini.
Ah iya, Dandy. Urusannya dengannya belum selesai.
Dan takkan selesai kalau aku pasang aksi diam seperti ini. Dandy bukan tipe
cowok yang lelaki, yang punya inisiatif untuk berusaha menenangkan pasangannya
yang sedang marah besar. Lagi-lagi aku harus mengalah kepada makhluk yang penuh
dengan keegoisan itu.
Aku
mau kita break. Entah berapa lama, kita selesaikan masalah masing-masing.
Intropeksi diri sendiri sampai benar-benar sadar. Barulah kita memutuskan
kelanjutan dari hubungan ini. Aku atau kamu yang merasa sudah selesai
berinteraksi dengan cermin dan menyadari segalanya, datanglah. Kita selesaikan.
1
message sent to Dandy.
Kumatikan handphone. Sengaja supaya dia mengerti
apa yang kumaksud dengan, intropeksi diri masing-masinng. Aku dan dia,
sama-sama butuh waktu untuk diri sendiri.
***
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar