Selasa, 23 Juni 2015

It's Not Only About Love - Part 2


Drrrrt..drrrrt..drrrrrtt...

No Number’s Calling

Siapa yang menelpon malam-malam gini? Apakah Dandy? Sejak pertengkaran di telepon tadi siang, ia benar-benar tak berusaha menghubungiku. Padahal hp sudah kunyalakan setelah mahasiswa gila itu keluar dari tokoku. Tapi rasanya Dandy tidak pernah meneleponku dengan private number. Jadi penasaran.

“Halo?” ucapku pelan begitu menekan tombol answer.

“Halo, Rissa Ayutri. Bagaimana keadaan hatimu sekarang? Do you feel better?” Suara cowok. Kayaknya aku pernah dengar suaranya ini. Tapi dimana ya?

“Sorry. Siapa ini?” Tanyaku hati-hati.

“Perkenalkan, namaku Ardana. Remember me?

Tuh kan. Dia si ..

“Ah, dasar mahasiswa gila!” Seruku sambil menahan tawa. Nada bicaranya itu benar-benar dibuat-buat. Memangnya dia pikir dia pejabat yang harus menggunakan nada seperti itu saat memperkenalkan diri.

“Hahahahahahaha..” Tawanya benar-benar terdengar renyah.

“Hahaha” Aku ikut tertawa.

“Nah, gitu dong. Kan cantik kalau ketawa.” Godanya setelah berhenti tertawa.

“Gombal! Huu.”
“Loh, siapa yang gombal? Aku kan hanya ingin berkata jujur sama kamu.”

“Lebih gombal lagi tuh. Hahaha” Dasar. Kenapa aku jadi berbunga-bunga gini baru digombalin gitu aja?

“Yee, yaudah kalau nggak percaya. Kamu yang rugi.” Ancamnya pelan.

“Hahaha terserah ah.”

“Eh, bales dong chat aku kemarin. Sombong nih kamu.” Loh? Jadi yang kemarin itu dia? Coba tes dulu.

“Ayo jawab. Kamu pakai foto profil apa?”

“Chika!” Jawabnya antusias.

“Salah! Orang yang chat aku kemarin itu, foto profilnya anak anjing tahu!”

“Lha itu namanya Chika. Dia anjing kesayanganku tahu!”

“Yang bener?”

“Sini deh mampir ke rumahku kalau mau kenalan sama Chika. Hehe”

“Iya, iyaa deh percaya. Hehehe aku nggak nyangka kamu suka binatang.”

“Aku juga nggak nyangka bisa suka sama kamu!” Godanya.

Aku diam saja. Kulihat pantulan wajahku di cermin meja rias di depanku. Merah padam. Tidak. Masa aku kalah hanya dengan kalimat gombal dia sih.

“Hahaha. Ah sudah ya, aku ngantuk nih. Sudah malam tahu!”

“Oke deh. Selamat tidur ya bidadari manis.”

Apa? Bidadari?

“Sweet dream.”

“Night.” Aku menutup telepon. Kudekap erat handphoneku. Hati meledak.
Aku tertidur lelap. Dan bermimpi semanis permen.

***

10 Missed Call

Haha dasar mahasiswa gila. Baru bangun tidur gini, udah bisa aja bikin orang ketawa yah. Kan semalam aku udah bilang mau tidur, buat apa missed call segala. Sampai sepuluh kali pula. Kubuka notification. Aku terpana. Terkejut. Tak percaya.
Begitu melihat nama kontak yang tertera di layar, yang menghubungiku terus-menerus. Dandy? Aku sampai lupa masih ada masalah dengan pacarku satu itu.

Maaf semalam aku sudah tidur. Ada apa?

Kukirim pesan singkat padanya. Mencoba bersikap wajar. Meski hati dongkol setengah mati mengingat kejadian tempo hari. Dandy, sang pacar yang sangat dewasa dan selalu kubanggakan, selingkuh. Tragis.

Drrrrt...drrrt. 1 Message.

Bisa buka pintu rumah kamu?

Eh? Aku berjalan keluar kamar, menuju foyer. Kusibakkan gorden sedikit, mengintip apa benar dia ada di depan pintuku. Ternyata ia sungguh-sungguh. Cowok super rapih yang berdiri di depan pintuku adalah Dandy. Aku melirik jam dinding, pukul enam. Masih pagi sekali ini. kuputar kunci lalu kubuka perlahan pintu. Wajahnya tepat dibalik pintu. Wajah memelas. Entah karena merasa bersalah atau kelelahan?

“Sayang, tolong jelaskan apa yang terjadi sebenarnya.” Ucapnya serius dengan kerut di dahi. Masih dengan wajah memelasnya.

“Masuk. Nggak enak sama tetangga.” Ia menurut. Kututup pintu lalu berpaling duduk di sofa single empuk. Kulipat tangan di dada. Menghela nafas.

“Aku ulang sekali lagi pertanyaanku di telepon waktu itu. Siapa wanita itu?” tanyaku tajam. Lagi-lagi dandy pura-pura tak mengerti. Kukibaskan tangan.

“Udah deh. Mau sampai kapan kamu bersandiwara terus, Dan?”

“Oke. Aku akan jawab pertanyaan kamu itu, tapi kamu harus jawab pertanyaanku dulu sebelumnya.” Jawabnya datar. Wajahnya terlihat, mm menantang?

“Silahkan.” Aku tak takut. Toh dia yang salah.

“Memangnya kamu melihat dengan mata kepala kamu sendiri kalau aku sedang bersama wanita lain?” tanyanya tegas.

“Aku memang tidak melihat. Tapi aku mendengar dengan telingaku sendiri.”

“Mendengar dari gosip orang lain? Jadi kamu lebih percaya dengan orang asing daripada pacarmu sendiri yang sudah lama sama kamu?”

Aku tertawa sinis.

“Bukan. Tapi dari handphonemu sendiri. Aku menelepon dan yang menjawab adalah wanita. Mau berkilah lagi? Memangnya sejak kapan kamu pakai suara pengubah menjadi seorang wanita di telepon kamu, SAYANG?”

Dandy hendak berbicara lagi tapi kuhentikan dengan satu lambaian tangan.

“STOP! Aku nggak mau dengar apapun lagi. BYE!” kutinggalkan foyer. Melangkah cepat menuju kamarku. Dasar buaya dewasa!

Blam.

***

Pertengkaran tadi pagi benar-benar merusak hariku. Mega merah mulai muncul, namun aku belum beranjak dari tempat tidur. Seharian ini kerjaanku hanya tidur-tiduran, ngemil, nonton tv. Bahkan aku belum mandi. Ke kamar mandi hanya numpang pipis. Di rumah ini aku hanya sendiri. Jadi nggak ada yang bakal protes dengan kebiasaan burukku setiap bad mood menyerang.

Meski cuma malas-malasan saja, tapi rasanya capek sekali. Tepatnya, pikiran dan hati yang capek. Siapa lagi? Kalau bukan karena Dandy. Akar penyebab jeleknya moodku hari ini kan dia, si buaya dewasa.

Kalau diingat-ingat, aku jahat juga ya. Sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk menjelaskan. Tapi apa yang perlu dijelaskan lagi kalau semua toh sudah jelas. Aku nggak jahat, yang jahat itu dia. Mungkin ini jalan terbaik untuk kita berdua. Coba saja kita lihat, kalau dia punya rasa bersalah, apa yang bakal dia lakuin selanjutnya. Kalau aku masih berada di urutan kesekian prioritasnya, makin jelaslah sudah. Aku sudah tak mau lagi berada dalam skala prioritasnya itu.

Ah, Dandy. Andai saja. Andai saja kamu selalu punya waktu untukku. Andai saja kamu tidak bermain dibelakangku. Andai saja kamu ..bisa selalu menghibur dan menyemangatiku.

Tiba-tiba saja muncul suara mahasiswa gila itu. Tidak, dia tidak benar-benar muncul di hadapanku seperti kemarin-kemarin. Melainkan di pikiranku, atau mungkin, di hatiku. Ada apa ini sebenarnya? What’s wrong with you? Bukan saatnya memikirkan cowok lain sekarang ini. Ah, sepertinya aku butuh guyuran air dingin di kepalaku. Tidak mandi seharian membuat otakku error sedemikian rupa.

***                    
                               
1 New Message

Hai Rissa, kamu baik-baik aja? Tokomu tutup hari ini?

Aku lemparkan handphoneku kembali ke atas kasur. Mahasiswa gila ini lagi. Kenapa dia kepo banget sih? Mau aku tutup seharian atau sebulan sekalian kan, bukan urusannya. Pasti ini anak lagi taruhan sama teman-temannya buat dapetin aku.
Astagfirullah. Kenapa aku jadi berpikiran buruk gini sama orang? Anak itu kan sedari awal nggak pernah terlihat jahat sama aku. Dandy benar-benar bikin hatiku jadi kacau sampai orang lain kena imbasnya.

Drrrttt.....drrrrttt....

Ardana’s Calling

Answer.

“Ya?”

“Hai, Rissa! Kok tokomu tutup? Kenapa pesanku ngga dibalas?”

“Ardana ...”

“Kenapa sayang?”

“Ardana ...”

“Kamu baik-baik aja? Aku ke tempat kamu, kasih tahu alamat kamu sekarang!”

Tidak sampai satu jam, Ardana kini sudah berada di sisiku. Setia mendengarkanku. Segala rasa yang kupendam selama ini terhadap Dandy. Rasa kesal, marah, cemburu dan haus akan perhatian juga ingin diprioritaskan olehnya. 

Lega. Bebas. Heran.

Rasanya lega sekali bisa mengeluarkan segala gelisah yang ada dalam pikiran dan hatiku. Yang selama ini hanya aku memendamnya sendiri, tak sekalipun aku curhat pada teman manapun sampai tadi, sebelum sosok lelaki ini tiba dihadapanku.

Pikiranku bebas. Tak hanya memikirkan Dandy lagi setelah menumpahkan semuanya pada Ardana. Logikaku mulai berjalan kembali setelah sebelumnya diambil alih seluruhnya oleh yang namanya hati. Cukup perasaan saja yang sakit, jangan sampai otak kita. Memangnya mau jadi orang nggak waras usia dini?

Sangat heran. Beneran deh. Kenapa juga aku bisa percaya langsung oleh yang namanya Ardana ini? kenal baru juga beberapa hari. Tapi Ardana adalah tipe cowok yang sangat bisa mengerti aku. Dia selalu beri apa yang aku ingin, tanpa perlu aku diktekan padanya. Dia selalu ada tanpa diminta, disaat aku benar-benar malas menghubungi siapapun padahal sebenarnya aku sangat kesepian dan memang butuh teman bicara.

Ardana. Mahasiswa di depanku ini benar-benar seorang gentleman. Mengelus halus rambutku, mengusap kepalaku dan membawanya bersender dipundaknya. Jemarinya menelusuri pipiku, mengusap tangisku namun seakan berkata,”menangislah.”

***

“Terima kasih banyak, Ardana.” ucapku pelan ketika ia membuka pintu rumahku keluar. Ia menoleh  lalu tersenyum.

“Senyum dong, mau pulang nih. Masa dicemberutin?”

“Hehehe..” Aku menunduk malu. Benar juga, kan hatiku sudah merasa lebih baik.

“Nah, gitu. Kan jadi ngga perlu jauh-jauh ke Kota Bunga, ada di depanku bunga-bunganya. Jauh lebih cantik.” Godanya lalu mengedipkan sebelah mata.

“Hati-hati ya. Jangan ngebut.”

“Kamu yang hati-hati. Besok aku tunggu kamu di kampus.”

Ia mengacak-acak rambutku sebelum benar-benar pergi dengan sepeda motornya. Aku menutup pintu, bersender padanya. Hari ini benar-benar hari yang sangat aneh. Dalam satu hari, situasi hatiku bisa jungkir balik seperti ini.

Ah iya, Dandy. Urusannya dengannya belum selesai. Dan takkan selesai kalau aku pasang aksi diam seperti ini. Dandy bukan tipe cowok yang lelaki, yang punya inisiatif untuk berusaha menenangkan pasangannya yang sedang marah besar. Lagi-lagi aku harus mengalah kepada makhluk yang penuh dengan keegoisan itu.

Aku mau kita break. Entah berapa lama, kita selesaikan masalah masing-masing. Intropeksi diri sendiri sampai benar-benar sadar. Barulah kita memutuskan kelanjutan dari hubungan ini. Aku atau kamu yang merasa sudah selesai berinteraksi dengan cermin dan menyadari segalanya, datanglah. Kita selesaikan.

1 message sent to Dandy.

Kumatikan handphone. Sengaja supaya dia mengerti apa yang kumaksud dengan, intropeksi diri masing-masinng. Aku dan dia, sama-sama butuh waktu untuk diri sendiri.


***

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar