Perkenalkan, namaku Rissa. Aku adalah wanita
biasa, seorang penulis lepas yang bekerja sesuai mood. Umurku akan memasuki 20
tahun, angka setengah matang. Belum dewasa, tak bisa juga disebut masih remaja.
Tapi tak mengapa, umur bukan persoalan penting bagiku. Hanyalah sebuah angka.
Toh punya pacar yang jauh lebih dewasa telah memaksaku mempunyai pola pikir seperti wanita dewasa. Ia telah
mengajariku segala hal tentang kehidupan. Logika dan perasaan. Kadang aku sudah
tak bisa membedakan lagi keduanya. Samar-samar.
Cinta kini sudah menjadi hal yang tak terlalu
penting. Realita mengalahkan segalanya. Dunia dewasa yang mengajarkan. Kita tak
bisa hidup hanya berdasarkan pilihan hati, namun harus pakai logika. Mana
realita, dan mana khayalan.
Namun pandanganku tentang hidup berubah kembali. Dimana
kukalahkan akal sehat dengan perasaan. Tak perdulikan lagi dengan realita.
Hanya satu faktor yang dapat menjungkir-balikkan seluruh pondasi kehidupanku
dengan cepat. Siapa lagi? Kalau bukan cinta. Bukan. Aku bukannya makin jatuh
cinta pada kekasihku ini. Tapi ini cinta yang lain. Cinta kedua. Cinta yang
paling menggiurkan.
Memilih. Antara realita dan cinta. Awalnya saja
aku bingung. Tapi bacalah dahulu kisahku, semoga dapat menemukan jawaban. Apa
sebenarnya yang kupilih dan pada akhirnya kujalani? Selamat membaca.
***
“Halo sayang, sudah makan siang?” tanyaku riang
begitu mendengar suara dari seberang.
“Ya, sudah kok. Duh maaf sayang, aku harus siapin
materi untuk meeting jam dua nanti. Klien minta dadakan nih.” Suaranya terburu-buru
dilatar belakangi suara klak-klik-kluk mouse komputer.
“It’s ok sayang. Klien darimana say?”
“Nanti ya. ok, bye-bye. Love you.” Tanpa
menungguku membalas ucapannya, aku sudah mendengar nada telpon terputus. Huft.
Menyebalkan.
Entah sudah berapa kali dalam minggu ini telponku
selalu berakhir tragis seperti barusan. Memang tidak bisa menyalahkan pacarku
yang super sibuk. Jabatannya sebagai manager mengharuskannya untuk selalu patuh
pada pekerjaan. Mungkin baginya, pekerjaan adalah nomer satu. Baru setelah itu
ada diriku diurutan nomer dua. Tapi tak apalah. Aku kan sudah berjanji padanya
untuk bersikap dewasa dan realistis. Meski umur kami terpaut jarak 10 tahun,
aku maupun dia selalu bisa mengimbanginya. Dengan cara yang realistis tentunya.
Hubungan kami sudah berjalan sekitar setahunan.
Awalnya aku juga ngga yakin. Sering aku bertanya pada diri sendiri, “Yakin nih
pacaran sama om-om?”. Tapi sampai pada akhirnya waktu yang membunuh pertanyaan
membimbangkan itu. Aku sangat nyaman jika berada didekatnya. Begitupun ia.
Setidaknya itu yang aku rasakan. Jarang ada pria yang mampu membuatku
sedemikian nyamannya.
Tapi kalau kejadian seperti tadi sih, memang
sedikit mengusikku. Kadang aku ingin sekali menjadi prioritas utamanya. Hanya
saja, mari kita tengok realitanya. Justru ia bekerja untuk masa depan kita.
Bekerja keras untuk tahap kehidupan selanjutnya di masa depan. Nah, sulit kan?
Perasaan dan realita sulit dibedakan.
Profesiku sebagai penulis lepas pastilah
penyebabnya. Banyak waktu luang yang menuntut hatiku butuh perhatian extra. Jam
kerja semauku, tak terikat oleh waktu atau aturan apapun. Kalau sedang mood dan
dapat inspirasi menulis, ya kutuang semua dalam tulisan layar komputer. Kalau
tidak, ya sepanjang hari aku pasti bermalas-malasan. Bukannya tidak butuh uang,
habis mau bagaimana lagi? Percuma kan kalo memaksakan menulis tapi hasilnya
amburadul.
Aku harus cari kesibukan lain. Supaya bisa
mengalihkan pikiran jelekku kepada hal lain. Minimal bisa menguras seluruh
waktu yang kugunakan hnaya untuk memikirkannya. Tapi apa? Aku berpikir keras.
Saking kerasnya aku sampai tertidur. Terbuai lagi oleh mimpi tentangnya.
***
Ternyata upayaku tak percuma. Aku mencoba
peruntungan di dunia bisnis. Dagang. Aku baru ingat kalau aku punya teman yang
mempunyai usaha kerajinan dan ia sudah punya beberapa store di Ibukota. Namanya
Dian. Tanpa perlu perundingan alot, kami sepakat bekerja sama. Aku akan membuka
satu store di Bogor dan keuntungan segala macam sudah dibuatkan perjanjian
hitam di atas putih. Dengan bantuan kekasihku, jadilah toko milikku hanya dalam
waktu satu minggu.
Letak tokoku cukup strategis. Di pinggir jalan, lokasinya
cukup dekat dengan Universitas ternama di Bogor. Dan di sekitar tokoku banyak
sekali cafe dan distro. Belum ada toko kerajinan tangan. Hanya ada milikku
seorang disitu. Senyumku mengembang begitu menikmati pemandangan luar dari
balik kaca jendela tokoku.
Tapi rupanya, eksterior dan interior toko yang
menarik tidak menjamin bisa menarik pelanggan. Semenjak buka perdana jam 10
pagi tadi, belum ada satu orang pun yang berkunjung. Kuperhatikan dari dalam,
orang-orang hanya seperti berjalan numpang lewat di depan toko. Satu dua orang
melirik. Tapi tak satupun berani melangkah masuk. Aku rasa, aku butuh bantuan.
Tuuut..tuut..tut..tut..
Direject pada nada sambung pertama. Ah, Dandy kan
sudah bilang kalau siang ini ia ada meeting penting di Hotel Indonesia. Huft.
Aku harus minta saran sama siapa nih. Sudah pukul satu siang. Kurasakan perutku
mendengkur pelan. aku sampai lupa jam makan siang. Kulihat ada sebuah warung
tenda di seberang yang ramai sekali.
Pasti makanannya enak.
“Bu, nasi bebek satu porsi ya dibungkus!” ucapku
hampir berbarengan dengan salah satu lelaki di sebelahku. Aku meliriknya, ia
menangkap lirikanku.
“Aduh maaf nak, bebeknya tinggal satu porsi.
Gimana?” kata ibu penjual.
“Yaudah bu, saya pecel ayam saja.” Ralatku cepat.
“Eh kalo mba mau nasi bebek, ngga apa-apa. Biar
saya pakai ayam saja.” Sanggahnya. Ibu tukang jualan terlihat bingung. aku
hendak protes. Namun ia tersenyum manis sekali pada Ibu itu sehingga langsung
dituruti keinginannya.
“Terima kasih, ya.” ucapku tulus begitu menerima
bungkusan nasi bebek.
Ia mengangguk. “Anak fakultas mana?” tanyanya
berbasa-basi.
Aku menggeleng. “Saya bukan mahasiswi. Saya SPG
yang jaga toko baru di seberang sana.” Jawabku sambil menunjuk tokoku.
Ia ber-oh lalu berlalu pergi. Aku mengangkat bahu
dan segera pergi dari situ. Berada di tengah-tengah mahasiswa-mahasiswi cukup
membuatku tampak seperti alien. Paranoid!
***
Pertemuan pertama barang-kali memang tak semuanya bisa
menimbulkan kesan mendalam dalam hati. Justru seharusnya kita berhati-hati di
pertemuan yang kedua dan selanjutnya. Karena kita tak pernah tahu, kita tak
pernah bisa menebak apa yang akan terjadi. Begitupun dengan cinta.
Aku bertemu dengannya lagi keesokkan harinya.
Tepatnya ia yang menemuiku. Awalnya kupikir ada calon pelanggan yang tertarik
dengan tokoku. Begitu pintu kaca buram membuka, aku langsung ingat wajah itu.
Mahasiswa kemarin yang memberikan
nasi bebek.
“Hai! Masih ingat sama aku?” tanyanya ringan
sambil berjalan ke arahku yang sedang duduk di belakang meja kasir.
Aku tersenyum mengangguk. “Silahkan
melihat-lihat.”
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling toko.
Tersenyum lalu kepalanya mengangguk-angguk pelan. Aku masih tak bisa menebak
untuk apa kedatangannya. Apakah memang tertarik dengan tokoku, atau ?
Aku memperhatikan gerak-geriknya. Jangan-jangan ia
punya hobi mengutil barang. Aku harus waspada dan terus memperhatikannya. Tapi
tidak terlihat seperti orang yang suka menguntil. Penampilannya sangat anak
muda. Casual. Mungkin itu yang cocok untuk menggambarkan bagaimana cara
berpakaiannya. Umurnya sepertinya di bawahku. Wajahnya baby face. Sulit menebak
pasti umurnya.
Ia berhenti berputar-putar di tokoku. Membawa
sebuah frame cantik berhiaskan kerang laut warna biru ke meja kasir. Aku
meraihnya, melihat tag harga, memasukkan frame ke dusnya lalu kumasukkan ke
dalam paper bag.
“Lima puluh ribu rupiah.” Ucapku pelan.
Ia mengulurkan selembar uang seratus ribu.
Kuberikan kembalian lima puluh ribu. “Ini kembaliannya, terima kasih.” Aneh.
Pelanggan pertama tapi aku tidak senang. Aku malah merasa terganggu olehnya.
Bukannya cepat-cepat pergi, ia malah asik berkutik
dengan uang kembalian yang kuberikan. Aku diamkan saja.
“Ambil aja kembaliannya buat kamu. Gantinya..” Ia
tersenyum manis sekali lalu mengangkat tanganya ke udara, membentuk isyarat
“Call me”. Alisku terangkat. Dia mahasiswa atau apa sih? Aku sama sekali tak
mengerti apa maksudnya.
Kuraih uang lima puluh ribu yang ia letakkan di
atas mejaku. Ah! Rupanya ini maksud dia. Kupandangi 12 digit angka yang
tertulis dengan pensil berjejer rapih disamping wajah pahlawan. Di bawahnya
angka-angka, tertulis dengan huruf cetak ARDANA.
Jadi, ini maksud sebenarnya ia datang ke tokoku?
Jadi, inikah cara yang dilakukan mahasiswa zaman
sekarang untuk pedekate? NORAK
***
Kluk.kluk. ada chat masuk ke handphoneku.
Hai
Rissa Ayutri!
Siapa nih? Nomer tak dikenal. Kulihat foto profil
chatnya. Anak anjing? Kayaknya aku ngga punya teman yang pelihara anak anjing
kayak gini deh.
Maaf
siapa?
Beberapa menit kemudian, chattingku tak berbalas.
Mungkin hanya orang iseng. Atau? Ah, mana mungkin si Ardana-Ardana itu tahu
nomer teleponku. Eh? Tapi kan, aku mencantumkan kontak di struk belanjaan
tokoku. Mungkin saja ia memeriksa struk frame yang ia beli tadi. Tapi, Anjing?
Kalau dilihat dari orangnya sih, tidak mungkin ia seorang penyayang binatang.
Sudahlah, jangan dipikirkan.
Berguling-guling di tempat tidur saja benar-benar
membuatku bosan. Aku juga sedang tidak mood. Ah percuma saja aku punya kegiatan
tapi di malam hari aku tetap nganggur sementara Dandy masih sibuk dengan
pekerjaannya itu. Lagi-lagi lembur. Sudah seminggu ini aku tidak pernah
mendapatkan telepon selamat tidur darinya. Apa aku saja yang telepon ya?
Memangnya Dandy tidak kesepian malam-malam seperti ini masih di kantornya. Ide
bagus!
Tidak diangkat. Kucoba sekali lagi. Horeee!
Diangkat di nada sambung ketiga!
“Halo?” kok suara cewek?
“Halo? Halo?” aku tak bisa menjawab. pelan-pelan
kutekan tombol end call.
Astaga. Dandy benar-benar harus memberikan
penjelasan kepadaku. Tadi sore dia bilang harus lembur malam ini karena ada
laporan yang harus ia selesaikan. Bodohnya aku percaya begitu saja. Ternyata ia
asik bersama dengan seorang wanita! Teganya Dandy. Sudah berapa kali ia
membohongiku? Inikah arti kedewasaan yang selama ini ia ajarkan?
Kunyalakan radio dengan kasarnya. Rasanya aku
butuh musik untuk menghiburku. Penyiar radio baru saja mengakhiri cuap-cuapnya.
Terdengar alunan musik. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan kejadian tadi.
Aku harus fokus mendengarkan musik. Ah, lagu Ten 2 Five. Aku sangat suka
akustikan mereka. Tapi inikan lagu?
Who’s
that girl. Radio seakan bisa membaca hatiku. Benar. Hanya satu pertanyaan
yang perlu Dandy jawab: Siapa perempuan itu?
***
“Berani-beraninya kamu bohong, Dandy!!” teriakku
sambil berusaha keras tak melempar handphoneku, saluranku berbicara dengannya.
Tadi pagi aku mengajaknya makan siang bersama. Tapi apa katanya? Ada meeting
dengan klien siang ini sekalian makan siang. Alasan klasik. Aku yakin, ia pasti
sudah sangat lihai berbohong. Menjadikan pekerjaan sebagai kambing hitam
perselingkuhannya.
Dandy pura-pura tak mengerti. Dasar buaya!
“DASAR PEMBOHONG!” aku langsung memutus telepon.
Kumatikan handphone lalu kulempar jauh-jauh.
Ups. Handphoneku ditangkap seseorang.
“Kenapa handphonenya dilempar-dilempar?” Cowok
itu. Sejak kapan dia ada disitu? Jangan-jangan dia mendengar semuanya?
“Kamu. Sejak kapan ada disitu? Kamu dengar
semuanya?”
Ia mengangguk pelan. memasang muka merasa
bersalah. Menaruh hp-ku yang sedari tadi ia genggam.
“kamu tidak lihat papan di pintu kalau toko ini
masih Closed?” tanyaku tak sabar.
“Maaf. Aku kira, kamu lupa membalikkan papan tanda
itu. karena aku melihat kamu ada di belakang meja kasir. Aku mau memberitahu
kamu kalau kamu lupa membalikkan papan tanda itu.” Jelasnya pelan. Ekspresinya
sama sekali beda dari kemarin. Tak ada tanda-tanda ia akan jahil lagi
Aku hanya bisa menunduk. “Maaf.” Ucapku akhirnya.
Ia mendekatiku, melipat tangan di atas mejaku lalu
menaruh dagunya di atas tangan itu.
“Ada masalah?” tanyanya perhatian. Sama
sekali tidak menyiratkan kalau ia ingin ikut campur, tapi ia hanya peduli
padaku. Wajahnya menggambarkan itu. Aku hanya menggeleng pelan. Aku bukan tipe
orang yang sedikit-sedikit curhat. Apalagi dengan orang yang baru kukenal
beberapa hari ini.
Ia tersenyum lalu dengan misterius mengeluarkan
sesuatu. Selembar kertas. Selanjutnya ia mengambil pulpen yang sedaritadi
kumainkan. Pulpenku sekarang diajaknya menari-nari. Pasti dia nulis nomer
teleponnya lagi.
Disodorkan kertas itu. Setelah meletakkan pulpenku
di atas meja, ia tersenyum lagi lalu meloyor pergi. Aku masih memegang kertas
itu. Tulisannya sangat bagus.
Kalau
kamu murung, bunga-bunga yang biasanya mekar disekelilingmu langsung layu loh.
Ayo senyum, kayak cewek cantik dibalik sini :)
Gombal! Kubalikkan kertas itu. eh? Itukan aku. aku
sedang tersenyum sambil mengelap kaca toko. Kapan dia mengambil fotoku? Cowok
itu benar-benar konyol. Hihi tapi dia pintar juga mengambil fotoku diam-diam.
Aku terlihat sangat bahagia di dalam sana. Ia benar, seperti ada bunga
bermekaran di sekelilingku.
Hatiku rasanya sudah berbalik lagi. Dari kesal
menjadi senang. Karena cowok gila itu. Ah, ternyata dia sangat perhatian
sekali. Beda dengan Dandy yang mungkin sudah tak peduli lagi bagaimana
perasaanku saat ini. Buktinya, ia tak mencoba menghubungiku. Oh oke, hp memang
sudah kumatikan. Tapi tidak bisakah ia langsung datang menemuiku untuk
menjelaskan semuanya? Tentu saja jawabannya tidak bisa. Lihat prioritas dalan
hidupnya. Aku pasti berada dalam urutan kesekian.
Dandy, haruskah aku melepasmu?
***
to be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar