Senin, 15 Juni 2015

It's Not Only About Love - Part 1

Perkenalkan, namaku Rissa. Aku adalah wanita biasa, seorang penulis lepas yang bekerja sesuai mood. Umurku akan memasuki 20 tahun, angka setengah matang. Belum dewasa, tak bisa juga disebut masih remaja. Tapi tak mengapa, umur bukan persoalan penting bagiku. Hanyalah sebuah angka. Toh punya pacar yang jauh lebih dewasa telah memaksaku mempunyai pola pikir seperti wanita dewasa. Ia telah mengajariku segala hal tentang kehidupan. Logika dan perasaan. Kadang aku sudah tak bisa membedakan lagi keduanya. Samar-samar.

Cinta kini sudah menjadi hal yang tak terlalu penting. Realita mengalahkan segalanya. Dunia dewasa yang mengajarkan. Kita tak bisa hidup hanya berdasarkan pilihan hati, namun harus pakai logika. Mana realita, dan mana khayalan.

Namun pandanganku tentang hidup berubah kembali. Dimana kukalahkan akal sehat dengan perasaan. Tak perdulikan lagi dengan realita. Hanya satu faktor yang dapat menjungkir-balikkan seluruh pondasi kehidupanku dengan cepat. Siapa lagi? Kalau bukan cinta. Bukan. Aku bukannya makin jatuh cinta pada kekasihku ini. Tapi ini cinta yang lain. Cinta kedua. Cinta yang paling menggiurkan.

Memilih. Antara realita dan cinta. Awalnya saja aku bingung. Tapi bacalah dahulu kisahku, semoga dapat menemukan jawaban. Apa sebenarnya yang kupilih dan pada akhirnya kujalani? Selamat membaca.

***

“Halo sayang, sudah makan siang?” tanyaku riang begitu mendengar suara dari seberang.

“Ya, sudah kok. Duh maaf sayang, aku harus siapin materi untuk meeting jam dua nanti. Klien minta dadakan nih.” Suaranya terburu-buru dilatar belakangi suara klak-klik-kluk mouse komputer.

“It’s ok sayang. Klien darimana say?”

“Nanti ya. ok, bye-bye. Love you.” Tanpa menungguku membalas ucapannya, aku sudah mendengar nada telpon terputus. Huft. Menyebalkan.

Entah sudah berapa kali dalam minggu ini telponku selalu berakhir tragis seperti barusan. Memang tidak bisa menyalahkan pacarku yang super sibuk. Jabatannya sebagai manager mengharuskannya untuk selalu patuh pada pekerjaan. Mungkin baginya, pekerjaan adalah nomer satu. Baru setelah itu ada diriku diurutan nomer dua. Tapi tak apalah. Aku kan sudah berjanji padanya untuk bersikap dewasa dan realistis. Meski umur kami terpaut jarak 10 tahun, aku maupun dia selalu bisa mengimbanginya. Dengan cara yang realistis tentunya.

Hubungan kami sudah berjalan sekitar setahunan. Awalnya aku juga ngga yakin. Sering aku bertanya pada diri sendiri, “Yakin nih pacaran sama om-om?”. Tapi sampai pada akhirnya waktu yang membunuh pertanyaan membimbangkan itu. Aku sangat nyaman jika berada didekatnya. Begitupun ia. Setidaknya itu yang aku rasakan. Jarang ada pria yang mampu membuatku sedemikian nyamannya.

Tapi kalau kejadian seperti tadi sih, memang sedikit mengusikku. Kadang aku ingin sekali menjadi prioritas utamanya. Hanya saja, mari kita tengok realitanya. Justru ia bekerja untuk masa depan kita. Bekerja keras untuk tahap kehidupan selanjutnya di masa depan. Nah, sulit kan? Perasaan dan realita sulit dibedakan.

Profesiku sebagai penulis lepas pastilah penyebabnya. Banyak waktu luang yang menuntut hatiku butuh perhatian extra. Jam kerja semauku, tak terikat oleh waktu atau aturan apapun. Kalau sedang mood dan dapat inspirasi menulis, ya kutuang semua dalam tulisan layar komputer. Kalau tidak, ya sepanjang hari aku pasti bermalas-malasan. Bukannya tidak butuh uang, habis mau bagaimana lagi? Percuma kan kalo memaksakan menulis tapi hasilnya amburadul.

Aku harus cari kesibukan lain. Supaya bisa mengalihkan pikiran jelekku kepada hal lain. Minimal bisa menguras seluruh waktu yang kugunakan hnaya untuk memikirkannya. Tapi apa? Aku berpikir keras. Saking kerasnya aku sampai tertidur. Terbuai lagi oleh mimpi tentangnya.

***

Ternyata upayaku tak percuma. Aku mencoba peruntungan di dunia bisnis. Dagang. Aku baru ingat kalau aku punya teman yang mempunyai usaha kerajinan dan ia sudah punya beberapa store di Ibukota. Namanya Dian. Tanpa perlu perundingan alot, kami sepakat bekerja sama. Aku akan membuka satu store di Bogor dan keuntungan segala macam sudah dibuatkan perjanjian hitam di atas putih. Dengan bantuan kekasihku, jadilah toko milikku hanya dalam waktu satu minggu.

Letak tokoku cukup strategis. Di pinggir jalan, lokasinya cukup dekat dengan Universitas ternama di Bogor. Dan di sekitar tokoku banyak sekali cafe dan distro. Belum ada toko kerajinan tangan. Hanya ada milikku seorang disitu. Senyumku mengembang begitu menikmati pemandangan luar dari balik kaca jendela tokoku.

Tapi rupanya, eksterior dan interior toko yang menarik tidak menjamin bisa menarik pelanggan. Semenjak buka perdana jam 10 pagi tadi, belum ada satu orang pun yang berkunjung. Kuperhatikan dari dalam, orang-orang hanya seperti berjalan numpang lewat di depan toko. Satu dua orang melirik. Tapi tak satupun berani melangkah masuk. Aku rasa, aku butuh bantuan.

Tuuut..tuut..tut..tut..

Direject pada nada sambung pertama. Ah, Dandy kan sudah bilang kalau siang ini ia ada meeting penting di Hotel Indonesia. Huft. Aku harus minta saran sama siapa nih. Sudah pukul satu siang. Kurasakan perutku mendengkur pelan. aku sampai lupa jam makan siang. Kulihat ada sebuah warung tenda di seberang yang  ramai sekali. Pasti makanannya enak.

“Bu, nasi bebek satu porsi ya dibungkus!” ucapku hampir berbarengan dengan salah satu lelaki di sebelahku. Aku meliriknya, ia menangkap lirikanku.

“Aduh maaf nak, bebeknya tinggal satu porsi. Gimana?” kata ibu penjual.
“Yaudah bu, saya pecel ayam saja.” Ralatku cepat.

“Eh kalo mba mau nasi bebek, ngga apa-apa. Biar saya pakai ayam saja.” Sanggahnya. Ibu tukang jualan terlihat bingung. aku hendak protes. Namun ia tersenyum manis sekali pada Ibu itu sehingga langsung dituruti keinginannya.

“Terima kasih, ya.” ucapku tulus begitu menerima bungkusan nasi bebek.

Ia mengangguk. “Anak fakultas mana?” tanyanya berbasa-basi.

Aku menggeleng. “Saya bukan mahasiswi. Saya SPG yang jaga toko baru di seberang sana.” Jawabku sambil menunjuk tokoku.

Ia ber-oh lalu berlalu pergi. Aku mengangkat bahu dan segera pergi dari situ. Berada di tengah-tengah mahasiswa-mahasiswi cukup membuatku tampak seperti alien. Paranoid!

***

Pertemuan pertama barang-kali memang tak semuanya bisa menimbulkan kesan mendalam dalam hati. Justru seharusnya kita berhati-hati di pertemuan yang kedua dan selanjutnya. Karena kita tak pernah tahu, kita tak pernah bisa menebak apa yang akan terjadi. Begitupun dengan cinta.

Aku bertemu dengannya lagi keesokkan harinya. Tepatnya ia yang menemuiku. Awalnya kupikir ada calon pelanggan yang tertarik dengan tokoku. Begitu pintu kaca buram membuka, aku langsung ingat wajah itu. Mahasiswa kemarin yang memberikan nasi bebek.

“Hai! Masih ingat sama aku?” tanyanya ringan sambil berjalan ke arahku yang sedang duduk di belakang meja kasir.

Aku tersenyum mengangguk. “Silahkan melihat-lihat.”

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling toko. Tersenyum lalu kepalanya mengangguk-angguk pelan. Aku masih tak bisa menebak untuk apa kedatangannya. Apakah memang tertarik dengan tokoku, atau ?

Aku memperhatikan gerak-geriknya. Jangan-jangan ia punya hobi mengutil barang. Aku harus waspada dan terus memperhatikannya. Tapi tidak terlihat seperti orang yang suka menguntil. Penampilannya sangat anak muda. Casual. Mungkin itu yang cocok untuk menggambarkan bagaimana cara berpakaiannya. Umurnya sepertinya di bawahku. Wajahnya baby face. Sulit menebak pasti umurnya.

Ia berhenti berputar-putar di tokoku. Membawa sebuah frame cantik berhiaskan kerang laut warna biru ke meja kasir. Aku meraihnya, melihat tag harga, memasukkan frame ke dusnya lalu kumasukkan ke dalam paper bag.

“Lima puluh ribu rupiah.” Ucapku pelan.

Ia mengulurkan selembar uang seratus ribu. Kuberikan kembalian lima puluh ribu. “Ini kembaliannya, terima kasih.” Aneh. Pelanggan pertama tapi aku tidak senang. Aku malah merasa terganggu olehnya.

Bukannya cepat-cepat pergi, ia malah asik berkutik dengan uang kembalian yang kuberikan. Aku diamkan saja.

“Ambil aja kembaliannya buat kamu. Gantinya..” Ia tersenyum manis sekali lalu mengangkat tanganya ke udara, membentuk isyarat “Call me”. Alisku terangkat. Dia mahasiswa atau apa sih? Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya.

Kuraih uang lima puluh ribu yang ia letakkan di atas mejaku. Ah! Rupanya ini maksud dia. Kupandangi 12 digit angka yang tertulis dengan pensil berjejer rapih disamping wajah pahlawan. Di bawahnya angka-angka, tertulis dengan huruf cetak ARDANA.

Jadi, ini maksud sebenarnya ia datang ke tokoku?
Jadi, inikah cara yang dilakukan mahasiswa zaman sekarang untuk pedekate? NORAK

***

Kluk.kluk. ada chat masuk ke handphoneku.

Hai Rissa Ayutri!

Siapa nih? Nomer tak dikenal. Kulihat foto profil chatnya. Anak anjing? Kayaknya aku ngga punya teman yang pelihara anak anjing kayak gini deh.

Maaf siapa?

Beberapa menit kemudian, chattingku tak berbalas. Mungkin hanya orang iseng. Atau? Ah, mana mungkin si Ardana-Ardana itu tahu nomer teleponku. Eh? Tapi kan, aku mencantumkan kontak di struk belanjaan tokoku. Mungkin saja ia memeriksa struk frame yang ia beli tadi. Tapi, Anjing? Kalau dilihat dari orangnya sih, tidak mungkin ia seorang penyayang binatang. Sudahlah, jangan dipikirkan.

Berguling-guling di tempat tidur saja benar-benar membuatku bosan. Aku juga sedang tidak mood. Ah percuma saja aku punya kegiatan tapi di malam hari aku tetap nganggur sementara Dandy masih sibuk dengan pekerjaannya itu. Lagi-lagi lembur. Sudah seminggu ini aku tidak pernah mendapatkan telepon selamat tidur darinya. Apa aku saja yang telepon ya? Memangnya Dandy tidak kesepian malam-malam seperti ini masih di kantornya. Ide bagus!

Tidak diangkat. Kucoba sekali lagi. Horeee! Diangkat di nada sambung ketiga!

“Halo?” kok suara cewek?

“Halo? Halo?” aku tak bisa menjawab. pelan-pelan kutekan tombol end call.
Astaga. Dandy benar-benar harus memberikan penjelasan kepadaku. Tadi sore dia bilang harus lembur malam ini karena ada laporan yang harus ia selesaikan. Bodohnya aku percaya begitu saja. Ternyata ia asik bersama dengan seorang wanita! Teganya Dandy. Sudah berapa kali ia membohongiku? Inikah arti kedewasaan yang selama ini ia ajarkan?

Kunyalakan radio dengan kasarnya. Rasanya aku butuh musik untuk menghiburku. Penyiar radio baru saja mengakhiri cuap-cuapnya. Terdengar alunan musik. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan kejadian tadi. Aku harus fokus mendengarkan musik. Ah, lagu Ten 2 Five. Aku sangat suka akustikan mereka. Tapi inikan lagu? 
Who’s that girl. Radio seakan bisa membaca hatiku. Benar. Hanya satu pertanyaan yang perlu Dandy jawab: Siapa perempuan itu?

***

“Berani-beraninya kamu bohong, Dandy!!” teriakku sambil berusaha keras tak melempar handphoneku, saluranku berbicara dengannya. Tadi pagi aku mengajaknya makan siang bersama. Tapi apa katanya? Ada meeting dengan klien siang ini sekalian makan siang. Alasan klasik. Aku yakin, ia pasti sudah sangat lihai berbohong. Menjadikan pekerjaan sebagai kambing hitam perselingkuhannya.

Dandy pura-pura tak mengerti. Dasar buaya!

“DASAR PEMBOHONG!” aku langsung memutus telepon. Kumatikan handphone lalu kulempar jauh-jauh.

Ups. Handphoneku ditangkap seseorang.

“Kenapa handphonenya dilempar-dilempar?” Cowok itu. Sejak kapan dia ada disitu? Jangan-jangan dia mendengar semuanya?

“Kamu. Sejak kapan ada disitu? Kamu dengar semuanya?”

Ia mengangguk pelan. memasang muka merasa bersalah. Menaruh hp-ku yang sedari tadi ia genggam.

“kamu tidak lihat papan di pintu kalau toko ini masih Closed?” tanyaku tak sabar.

“Maaf. Aku kira, kamu lupa membalikkan papan tanda itu. karena aku melihat kamu ada di belakang meja kasir. Aku mau memberitahu kamu kalau kamu lupa membalikkan papan tanda itu.” Jelasnya pelan. Ekspresinya sama sekali beda dari kemarin. Tak ada tanda-tanda ia akan jahil lagi

Aku hanya bisa menunduk. “Maaf.” Ucapku akhirnya.

Ia mendekatiku, melipat tangan di atas mejaku lalu menaruh dagunya di atas tangan itu. 

“Ada masalah?” tanyanya perhatian. Sama sekali tidak menyiratkan kalau ia ingin ikut campur, tapi ia hanya peduli padaku. Wajahnya menggambarkan itu. Aku hanya menggeleng pelan. Aku bukan tipe orang yang sedikit-sedikit curhat. Apalagi dengan orang yang baru kukenal beberapa hari ini.

Ia tersenyum lalu dengan misterius mengeluarkan sesuatu. Selembar kertas. Selanjutnya ia mengambil pulpen yang sedaritadi kumainkan. Pulpenku sekarang diajaknya menari-nari. Pasti dia nulis nomer teleponnya lagi.

Disodorkan kertas itu. Setelah meletakkan pulpenku di atas meja, ia tersenyum lagi lalu meloyor pergi. Aku masih memegang kertas itu. Tulisannya sangat bagus.

Kalau kamu murung, bunga-bunga yang biasanya mekar disekelilingmu langsung layu loh. Ayo senyum, kayak cewek cantik dibalik sini :)

Gombal! Kubalikkan kertas itu. eh? Itukan aku. aku sedang tersenyum sambil mengelap kaca toko. Kapan dia mengambil fotoku? Cowok itu benar-benar konyol. Hihi tapi dia pintar juga mengambil fotoku diam-diam. Aku terlihat sangat bahagia di dalam sana. Ia benar, seperti ada bunga bermekaran di sekelilingku.

Hatiku rasanya sudah berbalik lagi. Dari kesal menjadi senang. Karena cowok gila itu. Ah, ternyata dia sangat perhatian sekali. Beda dengan Dandy yang mungkin sudah tak peduli lagi bagaimana perasaanku saat ini. Buktinya, ia tak mencoba menghubungiku. Oh oke, hp memang sudah kumatikan. Tapi tidak bisakah ia langsung datang menemuiku untuk menjelaskan semuanya? Tentu saja jawabannya tidak bisa. Lihat prioritas dalan hidupnya. Aku pasti berada dalam urutan kesekian.

Dandy, haruskah aku melepasmu?


***
to be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar