Selasa, 23 Juni 2015

It's Not Only About Love - Part 2


Drrrrt..drrrrt..drrrrrtt...

No Number’s Calling

Siapa yang menelpon malam-malam gini? Apakah Dandy? Sejak pertengkaran di telepon tadi siang, ia benar-benar tak berusaha menghubungiku. Padahal hp sudah kunyalakan setelah mahasiswa gila itu keluar dari tokoku. Tapi rasanya Dandy tidak pernah meneleponku dengan private number. Jadi penasaran.

“Halo?” ucapku pelan begitu menekan tombol answer.

“Halo, Rissa Ayutri. Bagaimana keadaan hatimu sekarang? Do you feel better?” Suara cowok. Kayaknya aku pernah dengar suaranya ini. Tapi dimana ya?

“Sorry. Siapa ini?” Tanyaku hati-hati.

“Perkenalkan, namaku Ardana. Remember me?

Tuh kan. Dia si ..

“Ah, dasar mahasiswa gila!” Seruku sambil menahan tawa. Nada bicaranya itu benar-benar dibuat-buat. Memangnya dia pikir dia pejabat yang harus menggunakan nada seperti itu saat memperkenalkan diri.

“Hahahahahahaha..” Tawanya benar-benar terdengar renyah.

“Hahaha” Aku ikut tertawa.

“Nah, gitu dong. Kan cantik kalau ketawa.” Godanya setelah berhenti tertawa.

“Gombal! Huu.”
“Loh, siapa yang gombal? Aku kan hanya ingin berkata jujur sama kamu.”

“Lebih gombal lagi tuh. Hahaha” Dasar. Kenapa aku jadi berbunga-bunga gini baru digombalin gitu aja?

“Yee, yaudah kalau nggak percaya. Kamu yang rugi.” Ancamnya pelan.

“Hahaha terserah ah.”

“Eh, bales dong chat aku kemarin. Sombong nih kamu.” Loh? Jadi yang kemarin itu dia? Coba tes dulu.

“Ayo jawab. Kamu pakai foto profil apa?”

“Chika!” Jawabnya antusias.

“Salah! Orang yang chat aku kemarin itu, foto profilnya anak anjing tahu!”

“Lha itu namanya Chika. Dia anjing kesayanganku tahu!”

“Yang bener?”

“Sini deh mampir ke rumahku kalau mau kenalan sama Chika. Hehe”

“Iya, iyaa deh percaya. Hehehe aku nggak nyangka kamu suka binatang.”

“Aku juga nggak nyangka bisa suka sama kamu!” Godanya.

Aku diam saja. Kulihat pantulan wajahku di cermin meja rias di depanku. Merah padam. Tidak. Masa aku kalah hanya dengan kalimat gombal dia sih.

“Hahaha. Ah sudah ya, aku ngantuk nih. Sudah malam tahu!”

“Oke deh. Selamat tidur ya bidadari manis.”

Apa? Bidadari?

“Sweet dream.”

“Night.” Aku menutup telepon. Kudekap erat handphoneku. Hati meledak.
Aku tertidur lelap. Dan bermimpi semanis permen.

***

10 Missed Call

Haha dasar mahasiswa gila. Baru bangun tidur gini, udah bisa aja bikin orang ketawa yah. Kan semalam aku udah bilang mau tidur, buat apa missed call segala. Sampai sepuluh kali pula. Kubuka notification. Aku terpana. Terkejut. Tak percaya.
Begitu melihat nama kontak yang tertera di layar, yang menghubungiku terus-menerus. Dandy? Aku sampai lupa masih ada masalah dengan pacarku satu itu.

Maaf semalam aku sudah tidur. Ada apa?

Kukirim pesan singkat padanya. Mencoba bersikap wajar. Meski hati dongkol setengah mati mengingat kejadian tempo hari. Dandy, sang pacar yang sangat dewasa dan selalu kubanggakan, selingkuh. Tragis.

Drrrrt...drrrt. 1 Message.

Bisa buka pintu rumah kamu?

Eh? Aku berjalan keluar kamar, menuju foyer. Kusibakkan gorden sedikit, mengintip apa benar dia ada di depan pintuku. Ternyata ia sungguh-sungguh. Cowok super rapih yang berdiri di depan pintuku adalah Dandy. Aku melirik jam dinding, pukul enam. Masih pagi sekali ini. kuputar kunci lalu kubuka perlahan pintu. Wajahnya tepat dibalik pintu. Wajah memelas. Entah karena merasa bersalah atau kelelahan?

“Sayang, tolong jelaskan apa yang terjadi sebenarnya.” Ucapnya serius dengan kerut di dahi. Masih dengan wajah memelasnya.

“Masuk. Nggak enak sama tetangga.” Ia menurut. Kututup pintu lalu berpaling duduk di sofa single empuk. Kulipat tangan di dada. Menghela nafas.

“Aku ulang sekali lagi pertanyaanku di telepon waktu itu. Siapa wanita itu?” tanyaku tajam. Lagi-lagi dandy pura-pura tak mengerti. Kukibaskan tangan.

“Udah deh. Mau sampai kapan kamu bersandiwara terus, Dan?”

“Oke. Aku akan jawab pertanyaan kamu itu, tapi kamu harus jawab pertanyaanku dulu sebelumnya.” Jawabnya datar. Wajahnya terlihat, mm menantang?

“Silahkan.” Aku tak takut. Toh dia yang salah.

“Memangnya kamu melihat dengan mata kepala kamu sendiri kalau aku sedang bersama wanita lain?” tanyanya tegas.

“Aku memang tidak melihat. Tapi aku mendengar dengan telingaku sendiri.”

“Mendengar dari gosip orang lain? Jadi kamu lebih percaya dengan orang asing daripada pacarmu sendiri yang sudah lama sama kamu?”

Aku tertawa sinis.

“Bukan. Tapi dari handphonemu sendiri. Aku menelepon dan yang menjawab adalah wanita. Mau berkilah lagi? Memangnya sejak kapan kamu pakai suara pengubah menjadi seorang wanita di telepon kamu, SAYANG?”

Dandy hendak berbicara lagi tapi kuhentikan dengan satu lambaian tangan.

“STOP! Aku nggak mau dengar apapun lagi. BYE!” kutinggalkan foyer. Melangkah cepat menuju kamarku. Dasar buaya dewasa!

Blam.

***

Pertengkaran tadi pagi benar-benar merusak hariku. Mega merah mulai muncul, namun aku belum beranjak dari tempat tidur. Seharian ini kerjaanku hanya tidur-tiduran, ngemil, nonton tv. Bahkan aku belum mandi. Ke kamar mandi hanya numpang pipis. Di rumah ini aku hanya sendiri. Jadi nggak ada yang bakal protes dengan kebiasaan burukku setiap bad mood menyerang.

Meski cuma malas-malasan saja, tapi rasanya capek sekali. Tepatnya, pikiran dan hati yang capek. Siapa lagi? Kalau bukan karena Dandy. Akar penyebab jeleknya moodku hari ini kan dia, si buaya dewasa.

Kalau diingat-ingat, aku jahat juga ya. Sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk menjelaskan. Tapi apa yang perlu dijelaskan lagi kalau semua toh sudah jelas. Aku nggak jahat, yang jahat itu dia. Mungkin ini jalan terbaik untuk kita berdua. Coba saja kita lihat, kalau dia punya rasa bersalah, apa yang bakal dia lakuin selanjutnya. Kalau aku masih berada di urutan kesekian prioritasnya, makin jelaslah sudah. Aku sudah tak mau lagi berada dalam skala prioritasnya itu.

Ah, Dandy. Andai saja. Andai saja kamu selalu punya waktu untukku. Andai saja kamu tidak bermain dibelakangku. Andai saja kamu ..bisa selalu menghibur dan menyemangatiku.

Tiba-tiba saja muncul suara mahasiswa gila itu. Tidak, dia tidak benar-benar muncul di hadapanku seperti kemarin-kemarin. Melainkan di pikiranku, atau mungkin, di hatiku. Ada apa ini sebenarnya? What’s wrong with you? Bukan saatnya memikirkan cowok lain sekarang ini. Ah, sepertinya aku butuh guyuran air dingin di kepalaku. Tidak mandi seharian membuat otakku error sedemikian rupa.

***                    
                               
1 New Message

Hai Rissa, kamu baik-baik aja? Tokomu tutup hari ini?

Aku lemparkan handphoneku kembali ke atas kasur. Mahasiswa gila ini lagi. Kenapa dia kepo banget sih? Mau aku tutup seharian atau sebulan sekalian kan, bukan urusannya. Pasti ini anak lagi taruhan sama teman-temannya buat dapetin aku.
Astagfirullah. Kenapa aku jadi berpikiran buruk gini sama orang? Anak itu kan sedari awal nggak pernah terlihat jahat sama aku. Dandy benar-benar bikin hatiku jadi kacau sampai orang lain kena imbasnya.

Drrrttt.....drrrrttt....

Ardana’s Calling

Answer.

“Ya?”

“Hai, Rissa! Kok tokomu tutup? Kenapa pesanku ngga dibalas?”

“Ardana ...”

“Kenapa sayang?”

“Ardana ...”

“Kamu baik-baik aja? Aku ke tempat kamu, kasih tahu alamat kamu sekarang!”

Tidak sampai satu jam, Ardana kini sudah berada di sisiku. Setia mendengarkanku. Segala rasa yang kupendam selama ini terhadap Dandy. Rasa kesal, marah, cemburu dan haus akan perhatian juga ingin diprioritaskan olehnya. 

Lega. Bebas. Heran.

Rasanya lega sekali bisa mengeluarkan segala gelisah yang ada dalam pikiran dan hatiku. Yang selama ini hanya aku memendamnya sendiri, tak sekalipun aku curhat pada teman manapun sampai tadi, sebelum sosok lelaki ini tiba dihadapanku.

Pikiranku bebas. Tak hanya memikirkan Dandy lagi setelah menumpahkan semuanya pada Ardana. Logikaku mulai berjalan kembali setelah sebelumnya diambil alih seluruhnya oleh yang namanya hati. Cukup perasaan saja yang sakit, jangan sampai otak kita. Memangnya mau jadi orang nggak waras usia dini?

Sangat heran. Beneran deh. Kenapa juga aku bisa percaya langsung oleh yang namanya Ardana ini? kenal baru juga beberapa hari. Tapi Ardana adalah tipe cowok yang sangat bisa mengerti aku. Dia selalu beri apa yang aku ingin, tanpa perlu aku diktekan padanya. Dia selalu ada tanpa diminta, disaat aku benar-benar malas menghubungi siapapun padahal sebenarnya aku sangat kesepian dan memang butuh teman bicara.

Ardana. Mahasiswa di depanku ini benar-benar seorang gentleman. Mengelus halus rambutku, mengusap kepalaku dan membawanya bersender dipundaknya. Jemarinya menelusuri pipiku, mengusap tangisku namun seakan berkata,”menangislah.”

***

“Terima kasih banyak, Ardana.” ucapku pelan ketika ia membuka pintu rumahku keluar. Ia menoleh  lalu tersenyum.

“Senyum dong, mau pulang nih. Masa dicemberutin?”

“Hehehe..” Aku menunduk malu. Benar juga, kan hatiku sudah merasa lebih baik.

“Nah, gitu. Kan jadi ngga perlu jauh-jauh ke Kota Bunga, ada di depanku bunga-bunganya. Jauh lebih cantik.” Godanya lalu mengedipkan sebelah mata.

“Hati-hati ya. Jangan ngebut.”

“Kamu yang hati-hati. Besok aku tunggu kamu di kampus.”

Ia mengacak-acak rambutku sebelum benar-benar pergi dengan sepeda motornya. Aku menutup pintu, bersender padanya. Hari ini benar-benar hari yang sangat aneh. Dalam satu hari, situasi hatiku bisa jungkir balik seperti ini.

Ah iya, Dandy. Urusannya dengannya belum selesai. Dan takkan selesai kalau aku pasang aksi diam seperti ini. Dandy bukan tipe cowok yang lelaki, yang punya inisiatif untuk berusaha menenangkan pasangannya yang sedang marah besar. Lagi-lagi aku harus mengalah kepada makhluk yang penuh dengan keegoisan itu.

Aku mau kita break. Entah berapa lama, kita selesaikan masalah masing-masing. Intropeksi diri sendiri sampai benar-benar sadar. Barulah kita memutuskan kelanjutan dari hubungan ini. Aku atau kamu yang merasa sudah selesai berinteraksi dengan cermin dan menyadari segalanya, datanglah. Kita selesaikan.

1 message sent to Dandy.

Kumatikan handphone. Sengaja supaya dia mengerti apa yang kumaksud dengan, intropeksi diri masing-masinng. Aku dan dia, sama-sama butuh waktu untuk diri sendiri.


***

To Be Continued

Senin, 15 Juni 2015

It's Not Only About Love - Part 1

Perkenalkan, namaku Rissa. Aku adalah wanita biasa, seorang penulis lepas yang bekerja sesuai mood. Umurku akan memasuki 20 tahun, angka setengah matang. Belum dewasa, tak bisa juga disebut masih remaja. Tapi tak mengapa, umur bukan persoalan penting bagiku. Hanyalah sebuah angka. Toh punya pacar yang jauh lebih dewasa telah memaksaku mempunyai pola pikir seperti wanita dewasa. Ia telah mengajariku segala hal tentang kehidupan. Logika dan perasaan. Kadang aku sudah tak bisa membedakan lagi keduanya. Samar-samar.

Cinta kini sudah menjadi hal yang tak terlalu penting. Realita mengalahkan segalanya. Dunia dewasa yang mengajarkan. Kita tak bisa hidup hanya berdasarkan pilihan hati, namun harus pakai logika. Mana realita, dan mana khayalan.

Namun pandanganku tentang hidup berubah kembali. Dimana kukalahkan akal sehat dengan perasaan. Tak perdulikan lagi dengan realita. Hanya satu faktor yang dapat menjungkir-balikkan seluruh pondasi kehidupanku dengan cepat. Siapa lagi? Kalau bukan cinta. Bukan. Aku bukannya makin jatuh cinta pada kekasihku ini. Tapi ini cinta yang lain. Cinta kedua. Cinta yang paling menggiurkan.

Memilih. Antara realita dan cinta. Awalnya saja aku bingung. Tapi bacalah dahulu kisahku, semoga dapat menemukan jawaban. Apa sebenarnya yang kupilih dan pada akhirnya kujalani? Selamat membaca.

***

“Halo sayang, sudah makan siang?” tanyaku riang begitu mendengar suara dari seberang.

“Ya, sudah kok. Duh maaf sayang, aku harus siapin materi untuk meeting jam dua nanti. Klien minta dadakan nih.” Suaranya terburu-buru dilatar belakangi suara klak-klik-kluk mouse komputer.

“It’s ok sayang. Klien darimana say?”

“Nanti ya. ok, bye-bye. Love you.” Tanpa menungguku membalas ucapannya, aku sudah mendengar nada telpon terputus. Huft. Menyebalkan.

Entah sudah berapa kali dalam minggu ini telponku selalu berakhir tragis seperti barusan. Memang tidak bisa menyalahkan pacarku yang super sibuk. Jabatannya sebagai manager mengharuskannya untuk selalu patuh pada pekerjaan. Mungkin baginya, pekerjaan adalah nomer satu. Baru setelah itu ada diriku diurutan nomer dua. Tapi tak apalah. Aku kan sudah berjanji padanya untuk bersikap dewasa dan realistis. Meski umur kami terpaut jarak 10 tahun, aku maupun dia selalu bisa mengimbanginya. Dengan cara yang realistis tentunya.

Hubungan kami sudah berjalan sekitar setahunan. Awalnya aku juga ngga yakin. Sering aku bertanya pada diri sendiri, “Yakin nih pacaran sama om-om?”. Tapi sampai pada akhirnya waktu yang membunuh pertanyaan membimbangkan itu. Aku sangat nyaman jika berada didekatnya. Begitupun ia. Setidaknya itu yang aku rasakan. Jarang ada pria yang mampu membuatku sedemikian nyamannya.

Tapi kalau kejadian seperti tadi sih, memang sedikit mengusikku. Kadang aku ingin sekali menjadi prioritas utamanya. Hanya saja, mari kita tengok realitanya. Justru ia bekerja untuk masa depan kita. Bekerja keras untuk tahap kehidupan selanjutnya di masa depan. Nah, sulit kan? Perasaan dan realita sulit dibedakan.

Profesiku sebagai penulis lepas pastilah penyebabnya. Banyak waktu luang yang menuntut hatiku butuh perhatian extra. Jam kerja semauku, tak terikat oleh waktu atau aturan apapun. Kalau sedang mood dan dapat inspirasi menulis, ya kutuang semua dalam tulisan layar komputer. Kalau tidak, ya sepanjang hari aku pasti bermalas-malasan. Bukannya tidak butuh uang, habis mau bagaimana lagi? Percuma kan kalo memaksakan menulis tapi hasilnya amburadul.

Aku harus cari kesibukan lain. Supaya bisa mengalihkan pikiran jelekku kepada hal lain. Minimal bisa menguras seluruh waktu yang kugunakan hnaya untuk memikirkannya. Tapi apa? Aku berpikir keras. Saking kerasnya aku sampai tertidur. Terbuai lagi oleh mimpi tentangnya.

***

Ternyata upayaku tak percuma. Aku mencoba peruntungan di dunia bisnis. Dagang. Aku baru ingat kalau aku punya teman yang mempunyai usaha kerajinan dan ia sudah punya beberapa store di Ibukota. Namanya Dian. Tanpa perlu perundingan alot, kami sepakat bekerja sama. Aku akan membuka satu store di Bogor dan keuntungan segala macam sudah dibuatkan perjanjian hitam di atas putih. Dengan bantuan kekasihku, jadilah toko milikku hanya dalam waktu satu minggu.

Letak tokoku cukup strategis. Di pinggir jalan, lokasinya cukup dekat dengan Universitas ternama di Bogor. Dan di sekitar tokoku banyak sekali cafe dan distro. Belum ada toko kerajinan tangan. Hanya ada milikku seorang disitu. Senyumku mengembang begitu menikmati pemandangan luar dari balik kaca jendela tokoku.

Tapi rupanya, eksterior dan interior toko yang menarik tidak menjamin bisa menarik pelanggan. Semenjak buka perdana jam 10 pagi tadi, belum ada satu orang pun yang berkunjung. Kuperhatikan dari dalam, orang-orang hanya seperti berjalan numpang lewat di depan toko. Satu dua orang melirik. Tapi tak satupun berani melangkah masuk. Aku rasa, aku butuh bantuan.

Tuuut..tuut..tut..tut..

Direject pada nada sambung pertama. Ah, Dandy kan sudah bilang kalau siang ini ia ada meeting penting di Hotel Indonesia. Huft. Aku harus minta saran sama siapa nih. Sudah pukul satu siang. Kurasakan perutku mendengkur pelan. aku sampai lupa jam makan siang. Kulihat ada sebuah warung tenda di seberang yang  ramai sekali. Pasti makanannya enak.

“Bu, nasi bebek satu porsi ya dibungkus!” ucapku hampir berbarengan dengan salah satu lelaki di sebelahku. Aku meliriknya, ia menangkap lirikanku.

“Aduh maaf nak, bebeknya tinggal satu porsi. Gimana?” kata ibu penjual.
“Yaudah bu, saya pecel ayam saja.” Ralatku cepat.

“Eh kalo mba mau nasi bebek, ngga apa-apa. Biar saya pakai ayam saja.” Sanggahnya. Ibu tukang jualan terlihat bingung. aku hendak protes. Namun ia tersenyum manis sekali pada Ibu itu sehingga langsung dituruti keinginannya.

“Terima kasih, ya.” ucapku tulus begitu menerima bungkusan nasi bebek.

Ia mengangguk. “Anak fakultas mana?” tanyanya berbasa-basi.

Aku menggeleng. “Saya bukan mahasiswi. Saya SPG yang jaga toko baru di seberang sana.” Jawabku sambil menunjuk tokoku.

Ia ber-oh lalu berlalu pergi. Aku mengangkat bahu dan segera pergi dari situ. Berada di tengah-tengah mahasiswa-mahasiswi cukup membuatku tampak seperti alien. Paranoid!

***

Pertemuan pertama barang-kali memang tak semuanya bisa menimbulkan kesan mendalam dalam hati. Justru seharusnya kita berhati-hati di pertemuan yang kedua dan selanjutnya. Karena kita tak pernah tahu, kita tak pernah bisa menebak apa yang akan terjadi. Begitupun dengan cinta.

Aku bertemu dengannya lagi keesokkan harinya. Tepatnya ia yang menemuiku. Awalnya kupikir ada calon pelanggan yang tertarik dengan tokoku. Begitu pintu kaca buram membuka, aku langsung ingat wajah itu. Mahasiswa kemarin yang memberikan nasi bebek.

“Hai! Masih ingat sama aku?” tanyanya ringan sambil berjalan ke arahku yang sedang duduk di belakang meja kasir.

Aku tersenyum mengangguk. “Silahkan melihat-lihat.”

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling toko. Tersenyum lalu kepalanya mengangguk-angguk pelan. Aku masih tak bisa menebak untuk apa kedatangannya. Apakah memang tertarik dengan tokoku, atau ?

Aku memperhatikan gerak-geriknya. Jangan-jangan ia punya hobi mengutil barang. Aku harus waspada dan terus memperhatikannya. Tapi tidak terlihat seperti orang yang suka menguntil. Penampilannya sangat anak muda. Casual. Mungkin itu yang cocok untuk menggambarkan bagaimana cara berpakaiannya. Umurnya sepertinya di bawahku. Wajahnya baby face. Sulit menebak pasti umurnya.

Ia berhenti berputar-putar di tokoku. Membawa sebuah frame cantik berhiaskan kerang laut warna biru ke meja kasir. Aku meraihnya, melihat tag harga, memasukkan frame ke dusnya lalu kumasukkan ke dalam paper bag.

“Lima puluh ribu rupiah.” Ucapku pelan.

Ia mengulurkan selembar uang seratus ribu. Kuberikan kembalian lima puluh ribu. “Ini kembaliannya, terima kasih.” Aneh. Pelanggan pertama tapi aku tidak senang. Aku malah merasa terganggu olehnya.

Bukannya cepat-cepat pergi, ia malah asik berkutik dengan uang kembalian yang kuberikan. Aku diamkan saja.

“Ambil aja kembaliannya buat kamu. Gantinya..” Ia tersenyum manis sekali lalu mengangkat tanganya ke udara, membentuk isyarat “Call me”. Alisku terangkat. Dia mahasiswa atau apa sih? Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya.

Kuraih uang lima puluh ribu yang ia letakkan di atas mejaku. Ah! Rupanya ini maksud dia. Kupandangi 12 digit angka yang tertulis dengan pensil berjejer rapih disamping wajah pahlawan. Di bawahnya angka-angka, tertulis dengan huruf cetak ARDANA.

Jadi, ini maksud sebenarnya ia datang ke tokoku?
Jadi, inikah cara yang dilakukan mahasiswa zaman sekarang untuk pedekate? NORAK

***

Kluk.kluk. ada chat masuk ke handphoneku.

Hai Rissa Ayutri!

Siapa nih? Nomer tak dikenal. Kulihat foto profil chatnya. Anak anjing? Kayaknya aku ngga punya teman yang pelihara anak anjing kayak gini deh.

Maaf siapa?

Beberapa menit kemudian, chattingku tak berbalas. Mungkin hanya orang iseng. Atau? Ah, mana mungkin si Ardana-Ardana itu tahu nomer teleponku. Eh? Tapi kan, aku mencantumkan kontak di struk belanjaan tokoku. Mungkin saja ia memeriksa struk frame yang ia beli tadi. Tapi, Anjing? Kalau dilihat dari orangnya sih, tidak mungkin ia seorang penyayang binatang. Sudahlah, jangan dipikirkan.

Berguling-guling di tempat tidur saja benar-benar membuatku bosan. Aku juga sedang tidak mood. Ah percuma saja aku punya kegiatan tapi di malam hari aku tetap nganggur sementara Dandy masih sibuk dengan pekerjaannya itu. Lagi-lagi lembur. Sudah seminggu ini aku tidak pernah mendapatkan telepon selamat tidur darinya. Apa aku saja yang telepon ya? Memangnya Dandy tidak kesepian malam-malam seperti ini masih di kantornya. Ide bagus!

Tidak diangkat. Kucoba sekali lagi. Horeee! Diangkat di nada sambung ketiga!

“Halo?” kok suara cewek?

“Halo? Halo?” aku tak bisa menjawab. pelan-pelan kutekan tombol end call.
Astaga. Dandy benar-benar harus memberikan penjelasan kepadaku. Tadi sore dia bilang harus lembur malam ini karena ada laporan yang harus ia selesaikan. Bodohnya aku percaya begitu saja. Ternyata ia asik bersama dengan seorang wanita! Teganya Dandy. Sudah berapa kali ia membohongiku? Inikah arti kedewasaan yang selama ini ia ajarkan?

Kunyalakan radio dengan kasarnya. Rasanya aku butuh musik untuk menghiburku. Penyiar radio baru saja mengakhiri cuap-cuapnya. Terdengar alunan musik. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan kejadian tadi. Aku harus fokus mendengarkan musik. Ah, lagu Ten 2 Five. Aku sangat suka akustikan mereka. Tapi inikan lagu? 
Who’s that girl. Radio seakan bisa membaca hatiku. Benar. Hanya satu pertanyaan yang perlu Dandy jawab: Siapa perempuan itu?

***

“Berani-beraninya kamu bohong, Dandy!!” teriakku sambil berusaha keras tak melempar handphoneku, saluranku berbicara dengannya. Tadi pagi aku mengajaknya makan siang bersama. Tapi apa katanya? Ada meeting dengan klien siang ini sekalian makan siang. Alasan klasik. Aku yakin, ia pasti sudah sangat lihai berbohong. Menjadikan pekerjaan sebagai kambing hitam perselingkuhannya.

Dandy pura-pura tak mengerti. Dasar buaya!

“DASAR PEMBOHONG!” aku langsung memutus telepon. Kumatikan handphone lalu kulempar jauh-jauh.

Ups. Handphoneku ditangkap seseorang.

“Kenapa handphonenya dilempar-dilempar?” Cowok itu. Sejak kapan dia ada disitu? Jangan-jangan dia mendengar semuanya?

“Kamu. Sejak kapan ada disitu? Kamu dengar semuanya?”

Ia mengangguk pelan. memasang muka merasa bersalah. Menaruh hp-ku yang sedari tadi ia genggam.

“kamu tidak lihat papan di pintu kalau toko ini masih Closed?” tanyaku tak sabar.

“Maaf. Aku kira, kamu lupa membalikkan papan tanda itu. karena aku melihat kamu ada di belakang meja kasir. Aku mau memberitahu kamu kalau kamu lupa membalikkan papan tanda itu.” Jelasnya pelan. Ekspresinya sama sekali beda dari kemarin. Tak ada tanda-tanda ia akan jahil lagi

Aku hanya bisa menunduk. “Maaf.” Ucapku akhirnya.

Ia mendekatiku, melipat tangan di atas mejaku lalu menaruh dagunya di atas tangan itu. 

“Ada masalah?” tanyanya perhatian. Sama sekali tidak menyiratkan kalau ia ingin ikut campur, tapi ia hanya peduli padaku. Wajahnya menggambarkan itu. Aku hanya menggeleng pelan. Aku bukan tipe orang yang sedikit-sedikit curhat. Apalagi dengan orang yang baru kukenal beberapa hari ini.

Ia tersenyum lalu dengan misterius mengeluarkan sesuatu. Selembar kertas. Selanjutnya ia mengambil pulpen yang sedaritadi kumainkan. Pulpenku sekarang diajaknya menari-nari. Pasti dia nulis nomer teleponnya lagi.

Disodorkan kertas itu. Setelah meletakkan pulpenku di atas meja, ia tersenyum lagi lalu meloyor pergi. Aku masih memegang kertas itu. Tulisannya sangat bagus.

Kalau kamu murung, bunga-bunga yang biasanya mekar disekelilingmu langsung layu loh. Ayo senyum, kayak cewek cantik dibalik sini :)

Gombal! Kubalikkan kertas itu. eh? Itukan aku. aku sedang tersenyum sambil mengelap kaca toko. Kapan dia mengambil fotoku? Cowok itu benar-benar konyol. Hihi tapi dia pintar juga mengambil fotoku diam-diam. Aku terlihat sangat bahagia di dalam sana. Ia benar, seperti ada bunga bermekaran di sekelilingku.

Hatiku rasanya sudah berbalik lagi. Dari kesal menjadi senang. Karena cowok gila itu. Ah, ternyata dia sangat perhatian sekali. Beda dengan Dandy yang mungkin sudah tak peduli lagi bagaimana perasaanku saat ini. Buktinya, ia tak mencoba menghubungiku. Oh oke, hp memang sudah kumatikan. Tapi tidak bisakah ia langsung datang menemuiku untuk menjelaskan semuanya? Tentu saja jawabannya tidak bisa. Lihat prioritas dalan hidupnya. Aku pasti berada dalam urutan kesekian.

Dandy, haruskah aku melepasmu?


***
to be continued

Jumat, 05 Juni 2015

Taste Lemon

Hujan deras mengguyur taman sekolah. Jam menunjukkan pukul 16.00 tapi hari sudah seperti mau magrib. Gelap. Untungnya hujan kali ini tiada petir menyambar-nyambar. Dan buatku, ini hujan yang terindah. Hujan yang tak akan kulupakan seumur hidupku. Aku disini berdiri, basah kuyup di bawah pohon rindang demi mendengar cowok di depanku bicara. Demi mengabulkan permintaannya karena aku kalah taruhan bola semalam dengannya.

Lima menit aku menunggunya bicara, setelah ia menarikku paksa ke taman sekolah lalu tiba-tiba hujan mengguyur kami dengan derasnya. Lantas menjadikan kami sebuah tontonan teman-teman serta kakak-kakak kelas. Tentunya mereka yang menjadi penonton tidak mau ikut basah-basah, jadi berdiri berteduh di lorong menuju taman. Bersorak-sorak seperti menonton sebuah drama.

“Put..” aku menengadah. Wajahnya tampak gelisah, pucat. Entah karena kedinginan karena basahnya air hujan atau memang benar-benar gelisah.

“Gue.. mm gue itu.. anu put..” ia garuk-garuk kepala, lucu.

Terdengar lagi teriakan jahil dari lorong. Ada yang menyemangati, ada pula yang tak sabar, ada pula yang berteriak-teriak “I LOVE YOU PUTRI!”. Sibuk menggoda.

Dika, cowok didepanku ini terlihat makin gelisah. Bulir-bulir air hujan membasahi. Aku menatapnya, menunggunya, tak sabar. Kulipat tanganku didada. Sabar put.. ini cinta pertama lo, lo harus sabar. Aku menyemangati diri sendiri. Kulihat ia mengeluarkan handphone dari balik saku celannanya. Kenapa di saat penting kayak gini, dia malah mau pake hp? Aduh aku ngga ngerti jalan pikiran cowok deh!

Semenit lagi dika masih sibuk sama handphonenya, aku tinggalin aja dan say good bye pacar pertama! Buat nyatain aja susah amat sih?

Lewat. Dika kelewatan! Aku berbalik, siap-siap pergi menerobos hujan. Sebelum aku berlari, ada tangan yang menahanku. Tangannya menyelipkan sesuatu di genggamanku. Aku berbalik lagi. Menemukan handphone Dika digenggaman. Ia memberi kode supaya aku lihat handphonenya. Sudahlah, aku nurut saja. Aku sudah terlanjur kesal. Kuusap layar hp yang sempat terhalangi buliran air hujan. Aha, terbaca juga.

GUE SAYANG LO, PUT. LO MAU NGGA JADI PACAR PERTAMA GUE?

Puuufttttt. Udah capek-capek, nunggu, kebasahan kayak gini, dia masih pake handphone buat bilang? Aku tersenyum penuh arti.

“gue ngga bisa baca ketikan di hp lo ini, basah! Lo bacain gih!”

Dika menggaruk-garuk kepala lagi. Sampai terdengar celetukan dari lorong, rupanya penonton masih setia di sana. “WOY! LO ITU MIRIP MONYET YANG MAU BILANG CINTA, GARUK-GARUK MULU!HAHAHAHHA”tawa lainnya langsung menyusul, cekikikan geli bahkan ada yang terpingkal-pingkal.

Tak mau harga dirinya dijatuhkan lagi, Dika berteriak membalas, “EH! DIEM LO PADA SEMUANYA, DENGERIN NIH BAIK-BAIK!” tampaknya penonton pada nurut. mereka langsung diam. Tapi lebih seperti nantangin. Berani ngga si dika?
Aku juga menatapnya menantang. Baru aku mau buka mulut, ia mengangkat tangannya menyetopku.

“PUTRI SYABILLA, GUE SAYANG SAMA LO, LO MAU NGGA JADI PACAR PERTAMA GUE?”

Takjub. Aku mengerenyitkan dahi, berani banget dia? Suara-suara jahil kembali bermunculan, juga tepuk tangan, sorak sorai menjadi lebih meriah. Dika menghembuskan nafasnya. Mungkin ia sudah lega. Dan kini dia menatapku, sekarang giliranku. Kurasakan gelisahnya berpindah tempat. Aku tersenyum grogi.

“Put?” eh? Dia nunggu jawaban aku yah. Aku harus jawab kayak gimana? Aduuh kenapa aku ngga latihan dulu sihh. Berbagai jawaban muncul dikepalaku. Rasanya kata-kata itu berputar-putar di otakku. Menggodaku.

“iya dik.. gue, mm gue juga......” aduh, kenapa jadi gelap? Aku tidak bisa merasakan tanah yang kuinjak. Tak bisa merasakan desiran angin dan kurasa aku..

“PUT! PUTRI, LO KENAPA?” Dika refleks menangkapku.

Sayup-sayup kudengar suara dika dan teman-teman lain menyebut namaku. Tapi aku tak sanggup lagi membuka mata. aku hanya merasakan dingin di sekujur tubuh dan ngga bisa gerak sama sekali. Belum lagi kepalaku yang berputar-putar. Aku menyerah.

***

“Putri, bangun sudah pagi. Cepat sana mandi!”

Aku mencoba membuka mataku. Berat sekali. Kepalaku juga ikut-ikutan berat.

“PUTRI! Mau tidur terus sampai kapan? Ayo bangun!” kurasakan selimutku ditarik paksa. Dingiiiin.

“ahh iya mam.. aku bangun..lagian masih jam berapa sih.” gerutuku.

“lihat nih jam berapa!” Mama melemparkan weker ke arahku. Oh My God!

Aku buru-buru mandi, buru-buru sarapan, buru-buru semuanya dengan backsound omelan mama. “ lagian kamu itu pingsan atau apa? Kok ya temennya udah nungguin sampe malam banget, kamu ngga sadar-sadar juga. Untung mama paksa dia pulang. Kalo ngga, dia nginap di sini Cuma buat nungguin kebo kayak kamu bangun.”

Eh? Aku baru ingat, kemarin kan aku ada di taman sekolah bersama Dika dan terus.. terus.. aku belum sempat jawab pertanyaannya. Jadi? Yang orang dimaksud mama nungguin aku itu Dika?

“Anaknya ganteng, putih, tinggi, kayaknya mama bakal naksir kalo masih muda.hehe” aku mencibir. “mama usil ih!”

Selesai mengikat sepatu kets, aku mencium tangan mama lalu pamit berangkat sekolah. Ya ampun, di sekolah nanti pasti bakal heboh banget nih. Cewek-cewek sekelas, kakak-kakak kelas juga pasti iri. Putri, si anak bawang kelas satu bisa punya pacar bintang harapan sekolah!

***

Sudah sebulan aku pacaran dengan Dika, kakak kelasku sekaligus “artis” di sekolahku karena segudang prestasinya. Akupun terbawa jadi artis dadakan di sekolah. Kami adalah pasangan fenomenal. Bagaimana tidak? belum sehari setelah peristiwa Dika menembakku dan aku pingsan di taman, kabar itu menyebar dengan cepat. Lebih cepat dari kecepatan cahaya.  Ok, mungkin aku lebay. Tapi dengan adanya facebook dan twitter, itu sangat mungkin! Tapi yang pasti, aku bener-bener seneeeeng banget.

“Putri!” aku menoleh ke asal suara.

“Haloo sayang.. wah kamu udah pesenin aku makan siang? Asiiik.” Sahutku girang. “iya ayo kamu duduk dulu.”

Dika menarikkan bangku untukku. So sweet banget kan pacarku ini. kurasakan pandangan iri dari cewek-cewek di berbagai penjuru kantin. Kujulurkan lidah saja pada mereka. Supaya tambah iri. Haha

“habisin ya makannya kamu.” Ucapnya sambil mengacak-acak rambutku yang sudah berantakan ngga karuan.

Aku hanya mengangguk lalu konsentrasi makan. Tidak ada yang boleh mengganggu ritual makanku yang selalu nikmat  ini. ohya, kami berdua udah ngga pake “lo-gue” tapi “aku-kamu”. Itusih protes dari aku karena aku ngga mau disamakann dengan cewek lainnya. Dika nurut saja, dia emang selalu nurutin apa yang aku minta. Tipe cowok idaman. Aku beruntung punya Dika.

Setiap jam istirahat di sekolah, Dika selalu memesankan makanan untukku. Tidak pernah absen nemenin aku makan siang. Alhasil uang jajanku utuh seutuhnya. Dan dia sangat sangat perhatian. Sekarang Dika yang antar-jemputku sekolah, Dika yang bantuin aku ngerjain pe-er, Dika yang buatin soal-soal referensi kalo aku mau ulangan harian, test kecil atau apapun itu. pokoknya semuanya serba Dika. Oh, Dika.. my everything.

Hari-hariku terisi penuh oleh Dika. Semua yang ada dibenakku hanyalah Dika. Bahkan alasanku sekolah karena Dika. I love him anymore. Dika, Dika, dan Dika. Semangat baruku.
Aku belum pernah sih ke rumah Dika. Belum tahu banyak tentang Dika. Karena aku yang selalu banyak bicara. Dika adalah pribadi yang tak terlalu terbuka. Tapi ah biar saja. Kalau sudah waktunya juga dia pasti cerita. Yang terpenting mama tahu Dika. Mama juga suka Dika. Menurut mama, Dika adalah cowok yang bisa dipercaya. Well, mama adalah mama yang paling asik yang ada di dunia karena beliau ngga pernah melarang-larang ini-itu selama yang aku lakukan masih dalam batas wajar.

***

Sudah tiga bulan aku resmi menjadi pacar Dika. Sekarang anak-anak di sekolah tidak seheboh ketika kami baru jadian. Mereka sudah terbiasa dengan pemandangan Putri dan Dika bergandengan tangan di lorong sekolah, bersebelahan makan di kantin, dan cewek-cewek sekelasku sudah tak heboh lagi kalau Dika datang ke kelasku. Akupun terbiasa. Terbiasa dengan rutinitasku dengan Dika setiap harinya. Tapi, lama-lama kenapa aku jadi merasa terbebani?

“AUW !” aku kaget tiba-tiba ada kapur nyasar ke jidatku yang mungil ini.
“kamu! Jangan bengong lagi! Perhatikan saya!” hardik Pak Guru.

Pak Beno namanya. Guru matematika paling killer di sekolah. Untung saja sekarang nilai-nilai testku tak seburuk dulu. Ah, karena Dika. Hihihi. Tuh kan, Dika tidak membuatku beban. Malah terbantu. Kurasakan sikutan di lenganku. Teman sebangkuku, Mia yang sekarang matanya melotot lalu berbisik pelan.

“lo kenapa sih? Udah dimarahin malah cekikikan.”

“Suka-suka dong.” Jawabku dengan berbisik juga.

“lo sekarang berubah, put.” Raut wajah Mia menjadi serius menatapku.

“berubah apaan sih? Jadi sailormoon?” bisikku menahan geli tawa.

Mia memutar bola matanya. Ilfeel mungkin dengan sikapku. Kusikut lengannya pelan, menuntut jawaban. yang disikut malah diam saja. Mengambil pensil mekanik lalu menulis. Ah, ya sudahlah.

Pelajaran matematika selesai juga. Saatnya istirahat. Yippie. Aku mau langsung melesat ke kantin. Pasti sudah ada Dika menunggu. Dia kan kelasnya dekat banget dengan kantin. Beda dengan kelasku yang berada di lantai tiga. Jauh dari kantin yang ada di lantai dasar. Baru saja berdiri, Mia sudah menahanku. Mia mengisyaratkanku untuk duduk kembali. Aku menurut saja.

“Puut. Lo sadar ngga sih kalau lo sekarang berubah banget?” Mia membuka pembicaraan dengan kalimat yang, ehm, menyindir.

“Maksud lo?” aku belum tahu pasti maksud dari Mia, pura-pura saja dulu.

“Putri yang sekarang menjadi ngga peduli dengan sekitar, terlebih dengan teman-temannya. Seolah di dunia lo Cuma ada Dika, Dika, dan Dika.”

“tapi Dika ngga memberi pengaruh buruk sama gue, Mia.” Belaku.

“ya gue tahu put, Cherys juga tahu lo sekarang udah ngga pernah ikut perbaikan ulangan lagi. Tapi put, bukan berarti lo harus peduli sama Dika seorang.”

“gue ngga ngerti ya. jadi sahabat-sahabat gue sendiri IRI? CEMBURU gitu gue bisa dapetin Dika?” hardikku. Mia berdecak tak percaya.

“Cherys kehilangan lo, Put. Bukannya seperti yang lo tuduhkan!” Mia menaikkan nada bicaranya satu oktaf.

“tapi semua yang lo bicarain, JELAS menggambarkan itu. sahabat macam apa kalian!” aku menjadi emosi dan entah sudah setinggi tingkat apa aku bicara. Mia bersiap membalas ucapanku. Aku beranjak dari tempat duduk, bergegas pergi.

“Cherys masih nunggu putri yang dulu! Terserah lo put mau anggap kami apa. Seharusnya lo menghargai persahabatan kita!” aku tak berhenti berjalan, malah semakin mempercepat langkahku keluar kelas. Dika sudah menunggu terlalu lama.

Sesampai di kantin, aku langsung makan dengan lahapnya. Bahkan Dika sampai heran kenapa aku jadi seperti itu. dia sempat menanyakan ada apa denganku sebenarnya, tapi aku rasa bukanlah hal penting yang harus Dika tahu. kami pun membicarakan pertandingan persahabatan futsal yang kan diadakan minggu ini. Dika sangat antusias, aku ikut-ikutan menyemangati meski sebenarnya aku tidak suka sepak bola. Yang penting Dika nyaman, aku rela berpura-pura.


***

“Sampai ketemu besok ya, putri sayang.” Pamit Dika.

“Hati-hati ya beb” Ucapku seraya tersenyum mengiringi Dika yang akan berbalik pulang dengan motor gedenya itu. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 5 sore. Telat satu jam dari jam wajar aku pulang. Mama pasti marah-marah lagi.

“Putri! Minggu ini kamu udah yang ketiga kalinya pulang telat. Ngga izin pula sama mama kamu kemana.” Tuh. Benar kan?

“Tadi Kak Dika ngajak aku makan es krim dulu di kedai dekat sekolah, ma.”

“Dika lagi. Dika lagi. Jangan sampai kamu lupa sama pelajaran sekolah gara-gara sibuk pacaran ya Putri!” omel mama lagi.

“justru semenjak aku pacaran sama dia, nilai matematikaku selalu oke kan ma.” Belaku. Mama sejenak terdiam, sedang berfikir mungkin.

“Iya juga sih. Tapi pokoknya kamu jangan sampai menomersatukan pacar di atas segala-galanya Putri. Ngga baik. Itu Cuma cinta monyet.” Suara mama melembut.

“cinta monyet? Emangnya monyet tahu yang namanya cinta?” sahutku jenaka.

“kamu nih kalau dikasih tahu. bisa aja jawabnya.” Mama pura-pura melotot.

Aku hanya cengengesan saja. Berniat meninggalkan ruang tamu dan ingin segera merebahkan tubuh ke kasurku yang empuk. Kakiku baru menaiki anak tangga pertama menuju kamarku di lantai dua, mama berbicara kembali.

“Put, mama perhatiin kok kamu tumben ngga pernah bawa temen-temen kamu yang rame banget itu. Mereka pada sibuk pacaran juga kayak kamu?”

Aku terdiam. Tidak berani menoleh, apalagi menjawab. Namun aku tertawa kecil sebagai jawaban. dan kaki ini ingin meneruskan langkahnya. Mama sepertinya hanya iseng bertanya atau hanya sekedar menggoda. Buktinya, begitu kuberanikan menoleh ke bawah, mama sudah menghilang dari posisi berdirinya tadi. Kembali ke dapur mungkin. Sekarang yang ada di hadapanku adalah kasur empuk yang sudah siap menjadi landasan mendaratku. Capeknya..

Lagi asik-asiknya menikmati santaiku di tempat tidur, tiba-tiba kalimat mama yang terakhir tadi terngiang-ngiang di kepala, mengaliri darah dan menusuk ulu hati. Anggota Cherys belum ada yang punya pacar selain aku. Ah, tentu saja mereka iri padaku kan? Mereka saja belum ada yang merasakan namanya pacaran.

Tapi, ingat mereka tiba-tiba membuatku merasa kesepian. Dika memang bisa mengobati kesepianku, tapi ia berbeda. Dika tidak serame dan seseru Cherys. Duh, kenapa aku jadi membandingkan mereka? Sudah jelas-jelas mereka berbeda. Dika adalah lelaki, cherys adalah kumpulan perempuan ceriwis. Dika adalah pacarku yang perfect, sedangkan cherys adalah sahabatku yang.. sudahlah. Kenyataannya sekarang Cherys tidak mengerti diriku, hanya Dika yang bisa. Hanya Dika seorang.

***

“PERTANDINGAN FUTSAL ANTARA SMA SEMESTA DAN SMA BIMASAKTI SEGERA DIMULAI!” Seru sang MC yang berasal dari sekolahku dengan semangat.
Yup. Hari ini adalah pertandingan futsal yang sering dibicarakan Dika beberapa terakhir padaku. Dika memang salah satu pemain unggulan sekolahku sebagai penyerang. Aku sebagai pacar yang baik sudah pasti selalu mendukungnya. Seperti sekarang. Aku datang, duduk di paling depan kursi penonton. Bersorak-sorak hanya meneriakkan satu nama. Dika.

Peluit panjang berbunyi menandakan dimulainya pertandingan. Bola bergulir di lapangan, sebentar kesini dan sebentar kesana. Tiba-tiba ada yang menghadang, bola berhasil direbut tim sekolahku, dan tendangan ke gawang.. bola berhasil ditangkap dengan mudah! Bola dilempar kembali. Penyerangan balik dari sekolah Semesta. Dengan cepatnya bola sudah mau membobol gawang, tapi berhasil ditangkap. Waah lumayan seru juga nih pertandingannya. Hehe

Sudah 10 menit pertandingan berjalan, tak ada tim yang berhasil masukkan bola barang satu gol pun. Ah, mereka jadi terlihat seperti orang bodoh. Tepatnya kumpulan anak kecil yang sedang memperebutkan satu bola. Ingin sekali rasanya aku membelikan mereka masing-masing satu bola. Bosan! Aku mau ke toilet dulu.

Begitu tiba kembali ke lapangan, anak-anak ramai sekali dan kulihat pertandingan dihentikan. Beberapa pemain terlihat mengerubungi seseorang yang tergeletak di tengah lapangan. Siapa yang pingsan? perlu memicingkan mata untuk mencari seseorang itu karena tertutup oleh anak-anak. Itu kan.. eh? Dika!!!

Aku berlari, menerobos kerumunan anak-anak. Secepat mungkin aku harus berada disamping Dika. aduuh Dika kenapa mainnya ngga hati-hati sih. Kusingkirkan orang-orang tak penting yang menghalangi, ah akhirnya! Loh? Tapi? Ternyata Dika ngga kenapa-kenapa. Ia sedang jongkok di sebelah seseorang. Lantas siapa yang pingsan?
Betapa kagetnya aku ketika berada dekat sekali dengan Dika yang membelakangiku. Kulihat ia tengah memangku kepala cewek lain! Apa yang terjadi sebenarnya?
“Dika?” panggilku pelan.

Dika tidak berkutik sedikitpun. Kupanggil sekali lagi pelan. Entah ia tidak mendengar, atau ia terlalu konsentrasi dengan seseorang dipangkuannya itu?

“Dika!” kali ini aku berteriak. Dan akhirnya Dika menengok. Tapi hanya sebentar. Sedetik kemudian ia mengacuhkanku. Keterlaluan! Aku merubah posisi berdiriku ke depan Dika.

“Kamu ngapain sih mangku-mangku ini cewek?” tanyaku dengan nada agak tinggi.

“Sisca pingsan. kena bola tendanganku. Kamu masa ngga lihat sih?” jawabnya setengah kesal. Kenapa jadi dia yang kesal? Harusnya kan aku yang kesal!

“Kamu jangan diam saja! Bantuin aku sadarin Sisca dong!”

Apa? Enak saja. Dika mengguncang-guncang kepala sisca sambil memanggil namanya. Keterlaluan! Kuhentakkan kaki lalu berlalu pergi. Dika benar-benar menyebalkan! Mataku tak sanggup lagi menahan air mata. Dika.. Kenapa kamu tega sekali?

***

Aku berlari menuju perpustakaan sekolah. Tempat favoritku yang sudah lama tak kukunjungi semenjak jadian dengan Dika. tidak peduli dengan tatapan beberapa siswa yang sedang nongkrong di lorong sekolah. Kuterus melaju kencang sampai akhirnya tinggal satu tangga lagi, aku bisa memasuki pintu perpustakaan.

Bruuuukkk..

“Putri? Kenapa nangis?” suara cewek. Sepertinya kukenal suara ini. suara yang amat sangat kurindukan. Aku berusaha bangkit berdiri, dan ternyata benar. Mia!

Tak menunggu lama lagi. Tak menunggu aba-aba darinya, aku langsung menghamburkan diri memeluk Mia. Mengucap kata maaf. Mengeluarkan semua yang ada terpendam dalam dada. Bahwa aku bosan, capek, selalu berpura-pura, selalu melakukan semua hanya demi Dika, dan aku bodoh tak mengakui kalau aku sangat merindukan Cherys. Mia tampaknya mengerti sekali, ia bahkan mengelus-elus pundakku pelan seraya menngucap sabar. Aku jadi makin tak enak hati padanya.

“mia.. gue bener-bener nyesel udah nuduh lo macem-macem. Gue ngga tau apakah gue pantas untuk dimaafkan dan terlebih gue masih bisa bersahabat sama Cherys..” ucapku lagi ketika melepskan pelukan Mia.

“Cherys kangen banget sama lo, put.” Dinda tiba-tiba menyeruak muncul dari balik pintu perpustakaan. Bersama yang lain. Citra dan Serly.

“kalian?” aku terkaget-kaget begitu melihat mereka satu-persatu menyeruak muncul. Tak ada satupu wajah dendam yang terlihat. Semuanya tersenyum.

Mia mengangguk-angguk. “kita kan sahabat sejati, put. teman selalu ada untuk mengingatkan. Teman selalu ada untuk berbagi segalanya. Apapun itu”

“tapi? Gue udah jahat banget waktu lo ngingetin gue, mia. Gue salah banget. Padahal lo cuman pengen gue bareng-bareng kalian lagi.” Mataku kembali berkaca-kaca.

“well, sebenarnya kita juga sempat kesal sama lo, Put. makanya kita berempat kumpul di sini untuk membicarakan lo. Eh, pucuk dicinta ulam pun tiba. Belum juga diapa-apain lo udah nyamperin duluan. Emang ya, kalau udah jodoh ngga akan kemana!” ucap Serly dengan santainya dan dia memang terkenal dengan kalimat yang selalu berterus-terang.
Dinda, Mia dan Citra hanya tertawa geli.

Aku ikut tertawa kecil. Belum plong, masih ada air mata menetes. Mia menghapus air mataku. “Cup cup putri cayang.. jangan nangis mulu ah! Gue kangen tahu sama ketawa kunti lo yang khas itu”

“Cempreng!” ucap mereka berbarengan.

Kali ini aku langsung tertawa lepas. Benar-benar lepas. Dan ya, kuakui, tertawaku memnag seperti ketawa kuntilanak. Hahaha

***

Nah, bagaimana dengan nasib kisahku bersama Dika?

Berakhir. 
Betul sekali. 
Momen nan romantis saat dia menembakku di  tengah hujan, menjadi basi buatku. Bahkan momen indah itu menjadi bahan lelucon untukku dan Cherys. Well, harus kuakui bahwa yang kulakukan selama ini Norak. Dan yang kulakukan kepada Dika sangat masuk di kategori keren. Begini ceritanya.

Setelah pertandingan selesai, kulihat papan skor menunjukkan kekalahan telak sekolah kami. aku berjalan di tepi lapangan bersama Cherys. Kami berjalan bersama menuju ruang UKS. Yang aku yakin pasti Dika berada disana bersama cewek itu.

Kulihat dari luar jendela UKS, benar saja ada Dika sedang duduk di samping cewek itu yang tengah tertidur pulas. Aku menarik nafas pendek. Cherys mengelus-elus punggungku alih-alih berkata sabar. Aku harus melakukan ini. Putri pasti bisa.

“Hai..” sapaku kikuk.

Dika menoleh dan terkagetlah ia melihatku berdiri dihadapannya. Tampaknya untuk membalas sapaanku saja ia tak bisa. Dia hanya diam menatapku, aku juga diam menatap cewek itu. cantik sih.

“maaf ya ganggu” ucapku kemudian memecahkan keheningan di antara kami berdua. Dika tampak semakin pucat. Aku jadi bingung mau mulai darimana.

“ehm..” ucap kami berdua berbarengan.

“kamu dulu..”

“ladies first.” Dika mempersilahkanku. Wajahnya memelas.

Aku berdeham, melancarkan tenggorokanku. Memang dari tadi banyak sekali kosakata yang muncul namun tercekat didalam.

“hanya satu pertanyaan kok Dika. kenapa?”

“kenapa?” dika mengulang pertanyaanku. Aku hanya mengangguk pelan. Tampak ia berfikir keras. Entah memikirkan alasan, entah merangkai cerita, entah apapun itu.

“aku merasa bertanggung jawab karena aku yang menyebabkan Sisca pingsan. kena bolaku. Makanya aku takut, aku khawatir dia kenapa-kenapa. Bukan berarti aku ada apa-apa sama Sisca.aku harap kamu bisa ngerti put.”

Lantas aku menggeleng.

“iya aku minta maaf karena aku tadi ngga mikirin perasaan kamu, put. makanya maafin aku. kamu mau kan maafin aku?”

Aku mengangguk kali ini sebagai jawaban. “udah?” tanyaku kemudian.

“aku rasa udah itu aja yang aku sampaikan sebagai jawaban dari pertanyaan kamu tadi.” Dika menunduk lesu.

“tapi yang aku maksud dari pertanyaan kenapa tadi, bukan itu Dika.”

Dika menengadah. Mengangkat alisnya. Mukanya sekarang penuh dengan satu tanya: kenapa?

“begini, maksudku itu, kenapa kamu ngga putusin hubungan kita dari kemarin-kemarin?” jelasku singkat yang ditutup dengan senyuman.

“eh?” mimik wajah Dika terlihat kaget.

“meski kamu ngga pernah menunjukkan kalau kamu itu bosan sama aku bahkan sampai detik terakhir tadi, tapi aku tahu kalau kamu bosan denganku. Kamu capek, kamu pengen bebas lagi ngga nemenin aku kemana-kemana.”

“aku bisa jelasin, Put.” suara Dika gemetar dan terbata-bata.

Aku menggeleng. “Ngga perlu. Karna aku juga merasakan hal yang sama, Dika” ucapku terus terang. Reaksi Dika tak terlalu kaget, ia menghela nafas lega.

“Maafin aku ya, Put. aku rasa kita memang belum waktunya pacaran.”

“Kamu benar Dika. tapi aku mau bilang terima kasih sama kamu, karna berkat kamu, nilai matematikaku membaik. Ngga tahu deh nanti gimana jadinya kalau ngga ada kamu lagi yang ajarin dan galakin aku buat belajar. hehe” aku nyengir.

Dika ikutan nyengir. “memangnya untuk ajain kamu, harus jadi pacar kamu dulu?” candanya. Ah benar juga kata dika. aku mengiyakan. Lalu tertawa.

Aku memandang Dika. bergerak ke arahnya, lalu memeluk pelan. Anggap saja ini perpisahan dariku dan pertanda kalau status pacaran dengan Dika sudah berakhir. Dika membalas pelukanku sama pelannya. Ia berbisik,”terima kasih”

“Hayooooo.. mesra banget siih ampe peluk-pelukan gituuu” tiba-tiba Dinda masuk ke dalam Ruang UKS. Bahkan aku sampai lupa kalau di luar masih ada Cherys. Aku jadi malu sendiri. Ketika yang lainnya menyusul Dinda, mereka menyalami aku dan Dika bergantian. Memangnya apaan?

Wajah dika merah padam. Malu sepertinya menghadapi sahabat-sahabatku ini. aku yang sahabat dekat mereka saja malu, apalagi Dika? hahaha menggelikan dan annoying banget moment hari ini.

Kulihat mata Sisca bergerak dan perlahan ia membuka matanya. Ia siuman. Entah karena keberisikan akibat ulah Cherys, atau memang sudah waktunya. Buru-buru kuambilkan minum lalu kuberikan pada Sisca. Ia meneguknya perlahan. Dika dan Cherys mendekat, duduk di samping tempat tidur. Sisca tampaknya bingung dengan keberadaan kami. ia memandangi wajahku, Dika dan lainnya bergantian.

“nah, karena Sisca sekarang udah sadar, kami cewek-cewek berisik mau permisi dulu ya. tadi kami kebetulan lewat dan khawatir sama kondisi kamu.” Ucapku kemudian, mencoba menjelaskan supaya Sisca tidak bingung. Yang lain mengiyakan saja ucapanku dengan anggukan.

Sisca tersenyum. “Terima kasih ya.. umm?”

“Putri. Ini Mia, Dinda, Serly dan Citra. Kalau yang paling ganteng diantara kita ini, pasti kamu tahu siapa. Hehe” Dika menyikutku pelan. aku hanya tertawa lebar.

“Oke deh Sisca, kami tinggal dulu ya. kalau kamu pingsan lagi gara-gara mendengar ketawa kunti si Putri kan bisa bahaya.” Ucapan Mia menghentikan tawaku. Melotot tajam ke arahnya. Mia pura-pura ngga melihat, lalu berdiri dan siap mengambil langkah seribu keluar UKS.

Berhubung Sisca ini siswi sekolah tetangga, aku tersenyum demi image-ku yang baik. Lalu pamit pada Sisca dan Dika, megikuti yang lain-kecuali Mia yang sudah kabur duluan, keluar UKS.

***

“awas aja si Mia. Nurunin harga diri gue di depan cewek itu.” gerutuku. Dinda, Serly dan Citra hanya tertawa saja.

Tiba-tiba Dinda memelukku.

“gue kangeeen banget sama lo Put.” ucap dinda mengawali.

“gue juga kengen banget sama lo..” jawabku sambil mengusap punggung Dinda.

“gue juga.” Citra mengikuti.

“gue apalagi.” Serly ikut-ikutan juga.

Aku berusaha memeluk mereka semua. Kalau kami pakai kostum warna-warni, pasti bakal dikira Teletubbies.

“gue yang paliiing kangen sama lo, Put.” tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang. Suara Mia.

“kalo sama lo, Tidak!” ucapku sambil mencubit lengannya yang melingkar di perutku. Mia membalas dengan menjitak kepalaku. Sial!

Layaknya teletubbies yang akan berpamitan pada penontonnya, kami berlarian ke taman, memilih posisi masing-masing. Kami tiduran di atas rerumputan, melingkar dengan kepala berdekatan. Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini. Belum ada yang bisa mengalahkan indahnya kebersamaan Cherys. Angin berhembus pelan menggelitik.

“Put. lo masih inget kan momen romantis lo di sini waktu sama Dika?” Citra mengawali pembicaraan dengan sebuah pertanyaan yang sebetulnya enggan kubahas. Aku diam saja, hanya menanggapi dengan cengiran.

“Ya masih ingatlah. Cinta pertama gitulohh.” Mia seenaknya saja menjawab sambil menjawil hidungku. Yang lain tertawa, aku ikut tertawa saja.

“tapi Put, sorry ya kalau gara-gara cerita kami tentang curhatan Dika ke sahabatnya si Bimo, jadi bikin hubungan kalian berakhir.” Ucap Dinda menyambung. Aku tertawa lagi.

“Justru gue mau berterima kasih sama kalian, girls.”

“Eh??” ucap keempatnya berbarengan.

“gue juga sebetulnya ngga suka-suka amat sama Dika. terlalu banyak perbedaan. Lagian, gara-gara Dika, persahabatan kita jadi renggang.” Jelasku.

“Serius Put?” tanya Serly.

“Uhm. Lagian hidup ngga akan berakhir kalau cuma kehilangan seorang cinta yang masih sementara, karena gue yakin, masih banyak cinta lain di luar sana menunggu. Tapi gue rasa, bukan sekarang.” Ungkapku pelan.

“ah, sok puitis lo Put.” canda Mia. Mereka cekikikan.

“eh Put, lo kan udah ngalamin jatuh cinta ya, gimana sih rasanya?” Dinda bangun, duduk lalu menanyakan hal tadi padaku.

Aku berfikir sejenak, lalu ikutan ambil posisi duduk. Menatap dedaunan yang jatuh tertiup angin, menutup mata,

“kalo ibarat buah, rasanya kayak lemon.” Kudengar lagi cekikikan geli.

“Lemon?” dinda menatapku, mengerenyitkan dahi. Penasaran.

“soalnya, begitu lo tahu isinya, kayaknya tuh menggiurkan, menyegarkan hati dan otak. Pas lo rasain awalnya, mengejutkan banget! Tapi lama-lama, asem banget! Gitu deh pendapat gue tentang cinta monyet ini.”

“berarti ngga semua cinta rasanya kayak lemon dong..” ucap Dinda.

“Nah gue tuh mengibaratkan lemon kan sebagai cinta monyet gue ini, kalau cinta yang bener-bener emang cinta, gue ngga tahu deh rasanya kayak gimana.” Aku menjawab, agak asal.

“Rasa mangga kali.” Mia menyambar.

“Jangan. Rasa kedondong.” Dinda tak mau kalah.

“gue mah pengen nyobain yang rasa jambu air.” Serly berkata sambil menutup matanya.

“ah lebih enak mentimun, Ser.” Citra menimpali.

Seperti tersadar oleh sesuatu, kami berlima tertawa terbahak-bahak.”RUJAK!” mereka memang gila. Ngga pernah bisa serius. Tapi aku suka sekali!

“ayo, siapa yang mau ikut ngerujak di rumah gue?” ajakku seraya berdiri.

Mereka serempak ikut berdiri. “Ayo!”

“Cinta tuh berarti kayak rujak ya..lengkap banget. Tapi diantara kita berlima, baru Putri yang nyumbang Lemonnya. Haha” Ujar Mia sambil berjalan.

Kami berlima tertawa lagi. Sepertinya tak pernah ada habisnya hari ini aku bersama Cherys tertawa. Aku menoleh ke belakang, menatap pohon rindang. Memori itu. sekarang akan kutinggalkan. Bye-bye Dika! Dan terima kasih kepada cinta yang sudah mengizinkanku untuk mencicipi salah satu rasamu.


***