Kamis, 09 Juli 2015

it's not only about love - part 3

Masa-masa break ini sangat kunikmati. Aku sama sekali tidak memikirkan Dandy saat menjalani hari-hariku. Justru cowok lain yang mengisi hari-hariku sekarang. Ya, dia adalah Ardana.

Ardana menyadarkanku akan banyak hal. Ardana selalu membuat senyumku mengembang meski sebelumnya dibuat jengkel oleh kelakuan jahilnya itu. Ardana membuatku belajar bahwa cinta itu harus bisa membuatmu selalu tersenyum dan tersipu meski sesekali boleh dibumbui oleh isak tangis. Karena katanya, cinta tanpa air mata itu bagaikan sayur tanpa garam. Kurang asin, kurang gurih, kurang nikmat.

Hati dan pikiranku sekarang dipenuhi oleh satu nama. Ardana. Sepertinya aku memang jatuh cinta pada mahasiswa konyol satu ini. Dan sepertinya juga, aku ingin menyudahi proses intropeksi diriku.

Dandy takkan pernah bisa tahu apa yang sebenarnya aku inginkan. Cinta yang sudah lama terjalin, perlahan pasti akan menghilang. Dengan adanya cinta yang baru ini, aku yakin hatiku akan lebih baik dan bahagia. Meski cinta ini baru tumbuh, entah kenapa aku yakin.
Malam ini aku akan mengatakan pada Ardana tentang keputusanku.

Aku sudah berdandan sempurna untuk malam ini. Sangat kebetulan sekali Ardana mengajakku makan malam. Apalagi ketika ia bilang bahwa ada sesuatu yang harus ia katakan.

Pukul 08.00 malam
Kami berdua sudah duduk manis di meja makan sebuah Cafe dengan pemandangan lampu-lampu kota yang gemerlapan. Sebuah lilin menghiasi meja kami, menambah romantis malam ini. Jantungku bahkan sudah deg-degkan tak karuan sedari ia menjemput di depan rumah.

Ia memuji penampilanku malam ini.

“So pretty, princess.” Matanya menatap dalam mataku. Membuatku tersipu akan ucapannya sekaligus kelabakan membalas tatapan matanya.
Sepanjang jalan aku tidak berani menatapnya meski kutahu sesekali ia curi-curi memandangku. Malam ini cerah. Dihiasi bintang-bintang dan satu bulan sabit. Sempurna bukan? Untuk sebuah pernyataan cinta.

“Jadi, Ardana. Apa yang sebenarnya mau kamu bicarakan malam ini?” tanyaku membuka pembicaraan setelah kami berdua sudah menyelesaikan makan, menaruh garpu dan sendok pada piring.

Ardana tersenyum.

“Tentang aku.” jawabnya tenang.

“Kamu?” ia mengangguk.

“Perlu kuakui, Rissa. Satu hal saja. Aku nggak suka bertele-tele, jadi aku langsung bicara pada pointnya saja. Oke?” Giliran aku yang mengangguk.

“Aku suka kamu. Aku sayang kamu. Aku mau kamu bahagia.” Ucapnya tegas tanpa gagap tanpa tersendat. Jantungku semakin tak karuan.

“Ke-na-pa?”jujur aku kaget sekali ia bisa menyatakan perasaannya selancar itu.

“Nggak ada alasan untuk bisa suka sama kamu. Dan aku yakin, setiap  cowok yang sudah dekat sama kamu, pasti bisa merasakan kenyamanan seperti ini.”

Aku menunduk. Sepertinya ini memang saat yang tepat untuk bahagia.

“Ardana, akupun ingin mengatakan sesutu denganmu.”

Ia hanya mengangkat alisnya dan memberi isyarat, “Silahkan.”

“Aku.. mm aku sudah memutuskan. Aku ingin benar-benar break dengan Dandy. Dia ngga akan bisa buat aku seperti aku kalau bersama kamu. Dan aku rasa, mengakhirinya lebih cepat akan lebih baik.”

Ardana tampak sangat kaget. Ia bengong. Sudah tanggung aku bicara.

“Aku, mm aku sayang sama kamu. Rasanya, aku pasti bisa bahagia kalau selalu bersama kamu.”

Ardana diam terpaku. Lalu tertawa.

Eh?

“Kamu kenapa malah ketawa sih?” Sumpah aku nggak ngerti apa yang ada di pikirannya. Mahasiswa ini memang gila, tapi masa otaknya sampai rusak gitu?

Bukannya menjawab. Ia malah menggemgam kedua tanganku, menyatukan keduanya. Tatapannya kembali serius.

“Dengar. Aku memang sayang sama kamu. tapi bukan berarti cinta membutakan aku. aku ngga ada niat sama sekali untuk merebutmu dari Dandy. Dan tentangku. Aku bukanlah faktor utamamu.”

Aku mengerenyit. “Maksud kamu?”

“Aku memang sayang sama kamu. cinta malah. Tapi ini bukan hanya soal cinta. Dan sekarang ini kita bukan sedang membahasa tentangku, tapi tentang kamu. Segala tentangmu dan kebahagiaanmu, tak menjadikan aku sebagai faktor utamamu.”

Aku semakin tak mengerti.

“Kebahagiaan kamu adalah Dandy. Laki-laki yang sekarang berada di belakangmu.”
Eh?

Berat aku menoleh. Aku menutup mata. Dan begitu aku membuka mata, benar. Sosok itu adalah Dandy. Laki-laki yang akan kuputuskan nanti setelah aku katakan keputusanku pada Ardana. Tapi apa yang terjadi sekarang?

“Kembalilah. Aku hanyalah seorang pengganggu yang kebetulan lewat saja. Yang kebetulan mengetahui masalah kalian berdua. Tapi aku juga bisa merasakan setiap kamu mengucap ataupun mendengar nama Dandy. Matamu ngga pernah bisa bohong.” Ardana melepaskan genggamannya. Mengambil satu tanganku lalu direkatkannya pada sela-sela jemari tangan Dandy.

Aku tak bisa bicara apa-apa.  Tepatnya, aku ngga tahu mesti bilang apa. Aku menatap mata Ardana. Tapi matanya kini sudah tak menatapku. Matanya berlabuh ke lelaki yang kini menggenggam erat tanganku. Aku hanya bisa menunduk.

“Kayaknya kalian butuh bicara berdua saja. Aku pamit dulu.” Lalu ia pergi.

“Rissa?” gumam seorang lelaki di depanku.

Aku tidak berani mengangkat kepala. Bukan karena gugup bertemu Dandy. Tapi, aku masih tak percaya engan apa yang Ardana lakukan. Jadi apa sebenarnya yang ia lakukan selama ini? Membuatku bahagia, lalu pergi begitu saja? Aku merasa dipermainkan oleh anak kecil itu. Laki-laki memang. Well. Brengsek.

“Rissa?” gumamnya lagi. Kali ini aku mengangkat kepala. Memaksa mata ini untuk melihatnya. Jujur, aku merasa tidak mengenali lelaki di hadapanku lagi.

Lalu Kami sama-sama membisu. Tapi masalah ini harus selesai. Aku tak bisa lama-lama mengalihkan pandanganku, kutenggelamkan mataku kedalamnya. Mata kami berbicara. Dan Dandy seperti tahu pertanyaan yang berputar di kepalaku.

“Wanita itu asistenku. Hanya asisten, sungguh. Memang hanya ia yang kupercaya untuk mengangkat telepon di hpku. Aku bahkan sampai lupa kalau asistenku adalah seorang wanita juga, sama sepertimu. Makanya aku bingung ketika kamu menuduhku selingkuh.”

Aku tersenyum mendengar penjelasannya. Mau selingkuh beneran juga, aku sudah tidak peduli kok.

“Rissa. Aku sadar aku tak punya banyak waktu untuk bisa menemanimu. Tapi perlu kamu tahu, bahwa setiap menit aku bekerja, kamu selalu hadir dalam khayalanku, mengganggu konsentrasiku bekerja. Mulai saat ini aku janji sama kamu, aku akan meluangkan waktu lebih banyak lagi buat kamu.”

“Aku ..”

“Sudah Rissa. Kamu ngga perlu bicara apa-apa lagi. Cukup jawab pertanyaanku. Apakah kamu mau menikmati hari-harimu kedepan denganku?”

Dandy merogoh sesuatu dalam kantung celananya. Sebuah kotak kecil. Dibukanya perlahan di depanku. Aku kaget sekali melihat sesuatu yang bersinar itu.

“Will you marry me?”

Eh?

Aku tergagap. Kenapa?

Aku benar-benar tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Maaf Dandy. Mungkin aku adalah perempuan jahat. Tapi aku tidak bisa terus-menerus mengalahkan hati ini dan terus menjalani hidup hanya dengan mengandalkan logika.

Dandy tampak menunggu jawabanku.

Aku pegang erat tangannya. Dandy terlihat tersipu. Aku menutup mata lalu kulepaskan genggaman tanganku.

“Maaf Dandy.... Aku tidak bisa.”

Ia terperangah dan menuntut alasan dariku.

“Bukan soal wanita itu. Tapi, ini soal aku. Dan bukan hanya tentang cinta. Tapi, Soal kebahagiaan.”

Aku tinggalkan Dandy yang masih duduk terpaku. Dia sama sekali tidak mengejarku, sesuai harapanku.

Aku rasa, aku butuh kesendirian.

Semua rasa bercampur aduk.

Ini bukan hanya tentang cinta. Benar. Dan aku akan cari jawabannya dengan kesendirian dan melarikan diri. Setidaknya harus pergi dari kota ini dulu. Menenangkan hati dan logikaku yang tak pernah bisa berdamai.


***

Selasa, 23 Juni 2015

It's Not Only About Love - Part 2


Drrrrt..drrrrt..drrrrrtt...

No Number’s Calling

Siapa yang menelpon malam-malam gini? Apakah Dandy? Sejak pertengkaran di telepon tadi siang, ia benar-benar tak berusaha menghubungiku. Padahal hp sudah kunyalakan setelah mahasiswa gila itu keluar dari tokoku. Tapi rasanya Dandy tidak pernah meneleponku dengan private number. Jadi penasaran.

“Halo?” ucapku pelan begitu menekan tombol answer.

“Halo, Rissa Ayutri. Bagaimana keadaan hatimu sekarang? Do you feel better?” Suara cowok. Kayaknya aku pernah dengar suaranya ini. Tapi dimana ya?

“Sorry. Siapa ini?” Tanyaku hati-hati.

“Perkenalkan, namaku Ardana. Remember me?

Tuh kan. Dia si ..

“Ah, dasar mahasiswa gila!” Seruku sambil menahan tawa. Nada bicaranya itu benar-benar dibuat-buat. Memangnya dia pikir dia pejabat yang harus menggunakan nada seperti itu saat memperkenalkan diri.

“Hahahahahahaha..” Tawanya benar-benar terdengar renyah.

“Hahaha” Aku ikut tertawa.

“Nah, gitu dong. Kan cantik kalau ketawa.” Godanya setelah berhenti tertawa.

“Gombal! Huu.”
“Loh, siapa yang gombal? Aku kan hanya ingin berkata jujur sama kamu.”

“Lebih gombal lagi tuh. Hahaha” Dasar. Kenapa aku jadi berbunga-bunga gini baru digombalin gitu aja?

“Yee, yaudah kalau nggak percaya. Kamu yang rugi.” Ancamnya pelan.

“Hahaha terserah ah.”

“Eh, bales dong chat aku kemarin. Sombong nih kamu.” Loh? Jadi yang kemarin itu dia? Coba tes dulu.

“Ayo jawab. Kamu pakai foto profil apa?”

“Chika!” Jawabnya antusias.

“Salah! Orang yang chat aku kemarin itu, foto profilnya anak anjing tahu!”

“Lha itu namanya Chika. Dia anjing kesayanganku tahu!”

“Yang bener?”

“Sini deh mampir ke rumahku kalau mau kenalan sama Chika. Hehe”

“Iya, iyaa deh percaya. Hehehe aku nggak nyangka kamu suka binatang.”

“Aku juga nggak nyangka bisa suka sama kamu!” Godanya.

Aku diam saja. Kulihat pantulan wajahku di cermin meja rias di depanku. Merah padam. Tidak. Masa aku kalah hanya dengan kalimat gombal dia sih.

“Hahaha. Ah sudah ya, aku ngantuk nih. Sudah malam tahu!”

“Oke deh. Selamat tidur ya bidadari manis.”

Apa? Bidadari?

“Sweet dream.”

“Night.” Aku menutup telepon. Kudekap erat handphoneku. Hati meledak.
Aku tertidur lelap. Dan bermimpi semanis permen.

***

10 Missed Call

Haha dasar mahasiswa gila. Baru bangun tidur gini, udah bisa aja bikin orang ketawa yah. Kan semalam aku udah bilang mau tidur, buat apa missed call segala. Sampai sepuluh kali pula. Kubuka notification. Aku terpana. Terkejut. Tak percaya.
Begitu melihat nama kontak yang tertera di layar, yang menghubungiku terus-menerus. Dandy? Aku sampai lupa masih ada masalah dengan pacarku satu itu.

Maaf semalam aku sudah tidur. Ada apa?

Kukirim pesan singkat padanya. Mencoba bersikap wajar. Meski hati dongkol setengah mati mengingat kejadian tempo hari. Dandy, sang pacar yang sangat dewasa dan selalu kubanggakan, selingkuh. Tragis.

Drrrrt...drrrt. 1 Message.

Bisa buka pintu rumah kamu?

Eh? Aku berjalan keluar kamar, menuju foyer. Kusibakkan gorden sedikit, mengintip apa benar dia ada di depan pintuku. Ternyata ia sungguh-sungguh. Cowok super rapih yang berdiri di depan pintuku adalah Dandy. Aku melirik jam dinding, pukul enam. Masih pagi sekali ini. kuputar kunci lalu kubuka perlahan pintu. Wajahnya tepat dibalik pintu. Wajah memelas. Entah karena merasa bersalah atau kelelahan?

“Sayang, tolong jelaskan apa yang terjadi sebenarnya.” Ucapnya serius dengan kerut di dahi. Masih dengan wajah memelasnya.

“Masuk. Nggak enak sama tetangga.” Ia menurut. Kututup pintu lalu berpaling duduk di sofa single empuk. Kulipat tangan di dada. Menghela nafas.

“Aku ulang sekali lagi pertanyaanku di telepon waktu itu. Siapa wanita itu?” tanyaku tajam. Lagi-lagi dandy pura-pura tak mengerti. Kukibaskan tangan.

“Udah deh. Mau sampai kapan kamu bersandiwara terus, Dan?”

“Oke. Aku akan jawab pertanyaan kamu itu, tapi kamu harus jawab pertanyaanku dulu sebelumnya.” Jawabnya datar. Wajahnya terlihat, mm menantang?

“Silahkan.” Aku tak takut. Toh dia yang salah.

“Memangnya kamu melihat dengan mata kepala kamu sendiri kalau aku sedang bersama wanita lain?” tanyanya tegas.

“Aku memang tidak melihat. Tapi aku mendengar dengan telingaku sendiri.”

“Mendengar dari gosip orang lain? Jadi kamu lebih percaya dengan orang asing daripada pacarmu sendiri yang sudah lama sama kamu?”

Aku tertawa sinis.

“Bukan. Tapi dari handphonemu sendiri. Aku menelepon dan yang menjawab adalah wanita. Mau berkilah lagi? Memangnya sejak kapan kamu pakai suara pengubah menjadi seorang wanita di telepon kamu, SAYANG?”

Dandy hendak berbicara lagi tapi kuhentikan dengan satu lambaian tangan.

“STOP! Aku nggak mau dengar apapun lagi. BYE!” kutinggalkan foyer. Melangkah cepat menuju kamarku. Dasar buaya dewasa!

Blam.

***

Pertengkaran tadi pagi benar-benar merusak hariku. Mega merah mulai muncul, namun aku belum beranjak dari tempat tidur. Seharian ini kerjaanku hanya tidur-tiduran, ngemil, nonton tv. Bahkan aku belum mandi. Ke kamar mandi hanya numpang pipis. Di rumah ini aku hanya sendiri. Jadi nggak ada yang bakal protes dengan kebiasaan burukku setiap bad mood menyerang.

Meski cuma malas-malasan saja, tapi rasanya capek sekali. Tepatnya, pikiran dan hati yang capek. Siapa lagi? Kalau bukan karena Dandy. Akar penyebab jeleknya moodku hari ini kan dia, si buaya dewasa.

Kalau diingat-ingat, aku jahat juga ya. Sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk menjelaskan. Tapi apa yang perlu dijelaskan lagi kalau semua toh sudah jelas. Aku nggak jahat, yang jahat itu dia. Mungkin ini jalan terbaik untuk kita berdua. Coba saja kita lihat, kalau dia punya rasa bersalah, apa yang bakal dia lakuin selanjutnya. Kalau aku masih berada di urutan kesekian prioritasnya, makin jelaslah sudah. Aku sudah tak mau lagi berada dalam skala prioritasnya itu.

Ah, Dandy. Andai saja. Andai saja kamu selalu punya waktu untukku. Andai saja kamu tidak bermain dibelakangku. Andai saja kamu ..bisa selalu menghibur dan menyemangatiku.

Tiba-tiba saja muncul suara mahasiswa gila itu. Tidak, dia tidak benar-benar muncul di hadapanku seperti kemarin-kemarin. Melainkan di pikiranku, atau mungkin, di hatiku. Ada apa ini sebenarnya? What’s wrong with you? Bukan saatnya memikirkan cowok lain sekarang ini. Ah, sepertinya aku butuh guyuran air dingin di kepalaku. Tidak mandi seharian membuat otakku error sedemikian rupa.

***                    
                               
1 New Message

Hai Rissa, kamu baik-baik aja? Tokomu tutup hari ini?

Aku lemparkan handphoneku kembali ke atas kasur. Mahasiswa gila ini lagi. Kenapa dia kepo banget sih? Mau aku tutup seharian atau sebulan sekalian kan, bukan urusannya. Pasti ini anak lagi taruhan sama teman-temannya buat dapetin aku.
Astagfirullah. Kenapa aku jadi berpikiran buruk gini sama orang? Anak itu kan sedari awal nggak pernah terlihat jahat sama aku. Dandy benar-benar bikin hatiku jadi kacau sampai orang lain kena imbasnya.

Drrrttt.....drrrrttt....

Ardana’s Calling

Answer.

“Ya?”

“Hai, Rissa! Kok tokomu tutup? Kenapa pesanku ngga dibalas?”

“Ardana ...”

“Kenapa sayang?”

“Ardana ...”

“Kamu baik-baik aja? Aku ke tempat kamu, kasih tahu alamat kamu sekarang!”

Tidak sampai satu jam, Ardana kini sudah berada di sisiku. Setia mendengarkanku. Segala rasa yang kupendam selama ini terhadap Dandy. Rasa kesal, marah, cemburu dan haus akan perhatian juga ingin diprioritaskan olehnya. 

Lega. Bebas. Heran.

Rasanya lega sekali bisa mengeluarkan segala gelisah yang ada dalam pikiran dan hatiku. Yang selama ini hanya aku memendamnya sendiri, tak sekalipun aku curhat pada teman manapun sampai tadi, sebelum sosok lelaki ini tiba dihadapanku.

Pikiranku bebas. Tak hanya memikirkan Dandy lagi setelah menumpahkan semuanya pada Ardana. Logikaku mulai berjalan kembali setelah sebelumnya diambil alih seluruhnya oleh yang namanya hati. Cukup perasaan saja yang sakit, jangan sampai otak kita. Memangnya mau jadi orang nggak waras usia dini?

Sangat heran. Beneran deh. Kenapa juga aku bisa percaya langsung oleh yang namanya Ardana ini? kenal baru juga beberapa hari. Tapi Ardana adalah tipe cowok yang sangat bisa mengerti aku. Dia selalu beri apa yang aku ingin, tanpa perlu aku diktekan padanya. Dia selalu ada tanpa diminta, disaat aku benar-benar malas menghubungi siapapun padahal sebenarnya aku sangat kesepian dan memang butuh teman bicara.

Ardana. Mahasiswa di depanku ini benar-benar seorang gentleman. Mengelus halus rambutku, mengusap kepalaku dan membawanya bersender dipundaknya. Jemarinya menelusuri pipiku, mengusap tangisku namun seakan berkata,”menangislah.”

***

“Terima kasih banyak, Ardana.” ucapku pelan ketika ia membuka pintu rumahku keluar. Ia menoleh  lalu tersenyum.

“Senyum dong, mau pulang nih. Masa dicemberutin?”

“Hehehe..” Aku menunduk malu. Benar juga, kan hatiku sudah merasa lebih baik.

“Nah, gitu. Kan jadi ngga perlu jauh-jauh ke Kota Bunga, ada di depanku bunga-bunganya. Jauh lebih cantik.” Godanya lalu mengedipkan sebelah mata.

“Hati-hati ya. Jangan ngebut.”

“Kamu yang hati-hati. Besok aku tunggu kamu di kampus.”

Ia mengacak-acak rambutku sebelum benar-benar pergi dengan sepeda motornya. Aku menutup pintu, bersender padanya. Hari ini benar-benar hari yang sangat aneh. Dalam satu hari, situasi hatiku bisa jungkir balik seperti ini.

Ah iya, Dandy. Urusannya dengannya belum selesai. Dan takkan selesai kalau aku pasang aksi diam seperti ini. Dandy bukan tipe cowok yang lelaki, yang punya inisiatif untuk berusaha menenangkan pasangannya yang sedang marah besar. Lagi-lagi aku harus mengalah kepada makhluk yang penuh dengan keegoisan itu.

Aku mau kita break. Entah berapa lama, kita selesaikan masalah masing-masing. Intropeksi diri sendiri sampai benar-benar sadar. Barulah kita memutuskan kelanjutan dari hubungan ini. Aku atau kamu yang merasa sudah selesai berinteraksi dengan cermin dan menyadari segalanya, datanglah. Kita selesaikan.

1 message sent to Dandy.

Kumatikan handphone. Sengaja supaya dia mengerti apa yang kumaksud dengan, intropeksi diri masing-masinng. Aku dan dia, sama-sama butuh waktu untuk diri sendiri.


***

To Be Continued

Senin, 15 Juni 2015

It's Not Only About Love - Part 1

Perkenalkan, namaku Rissa. Aku adalah wanita biasa, seorang penulis lepas yang bekerja sesuai mood. Umurku akan memasuki 20 tahun, angka setengah matang. Belum dewasa, tak bisa juga disebut masih remaja. Tapi tak mengapa, umur bukan persoalan penting bagiku. Hanyalah sebuah angka. Toh punya pacar yang jauh lebih dewasa telah memaksaku mempunyai pola pikir seperti wanita dewasa. Ia telah mengajariku segala hal tentang kehidupan. Logika dan perasaan. Kadang aku sudah tak bisa membedakan lagi keduanya. Samar-samar.

Cinta kini sudah menjadi hal yang tak terlalu penting. Realita mengalahkan segalanya. Dunia dewasa yang mengajarkan. Kita tak bisa hidup hanya berdasarkan pilihan hati, namun harus pakai logika. Mana realita, dan mana khayalan.

Namun pandanganku tentang hidup berubah kembali. Dimana kukalahkan akal sehat dengan perasaan. Tak perdulikan lagi dengan realita. Hanya satu faktor yang dapat menjungkir-balikkan seluruh pondasi kehidupanku dengan cepat. Siapa lagi? Kalau bukan cinta. Bukan. Aku bukannya makin jatuh cinta pada kekasihku ini. Tapi ini cinta yang lain. Cinta kedua. Cinta yang paling menggiurkan.

Memilih. Antara realita dan cinta. Awalnya saja aku bingung. Tapi bacalah dahulu kisahku, semoga dapat menemukan jawaban. Apa sebenarnya yang kupilih dan pada akhirnya kujalani? Selamat membaca.

***

“Halo sayang, sudah makan siang?” tanyaku riang begitu mendengar suara dari seberang.

“Ya, sudah kok. Duh maaf sayang, aku harus siapin materi untuk meeting jam dua nanti. Klien minta dadakan nih.” Suaranya terburu-buru dilatar belakangi suara klak-klik-kluk mouse komputer.

“It’s ok sayang. Klien darimana say?”

“Nanti ya. ok, bye-bye. Love you.” Tanpa menungguku membalas ucapannya, aku sudah mendengar nada telpon terputus. Huft. Menyebalkan.

Entah sudah berapa kali dalam minggu ini telponku selalu berakhir tragis seperti barusan. Memang tidak bisa menyalahkan pacarku yang super sibuk. Jabatannya sebagai manager mengharuskannya untuk selalu patuh pada pekerjaan. Mungkin baginya, pekerjaan adalah nomer satu. Baru setelah itu ada diriku diurutan nomer dua. Tapi tak apalah. Aku kan sudah berjanji padanya untuk bersikap dewasa dan realistis. Meski umur kami terpaut jarak 10 tahun, aku maupun dia selalu bisa mengimbanginya. Dengan cara yang realistis tentunya.

Hubungan kami sudah berjalan sekitar setahunan. Awalnya aku juga ngga yakin. Sering aku bertanya pada diri sendiri, “Yakin nih pacaran sama om-om?”. Tapi sampai pada akhirnya waktu yang membunuh pertanyaan membimbangkan itu. Aku sangat nyaman jika berada didekatnya. Begitupun ia. Setidaknya itu yang aku rasakan. Jarang ada pria yang mampu membuatku sedemikian nyamannya.

Tapi kalau kejadian seperti tadi sih, memang sedikit mengusikku. Kadang aku ingin sekali menjadi prioritas utamanya. Hanya saja, mari kita tengok realitanya. Justru ia bekerja untuk masa depan kita. Bekerja keras untuk tahap kehidupan selanjutnya di masa depan. Nah, sulit kan? Perasaan dan realita sulit dibedakan.

Profesiku sebagai penulis lepas pastilah penyebabnya. Banyak waktu luang yang menuntut hatiku butuh perhatian extra. Jam kerja semauku, tak terikat oleh waktu atau aturan apapun. Kalau sedang mood dan dapat inspirasi menulis, ya kutuang semua dalam tulisan layar komputer. Kalau tidak, ya sepanjang hari aku pasti bermalas-malasan. Bukannya tidak butuh uang, habis mau bagaimana lagi? Percuma kan kalo memaksakan menulis tapi hasilnya amburadul.

Aku harus cari kesibukan lain. Supaya bisa mengalihkan pikiran jelekku kepada hal lain. Minimal bisa menguras seluruh waktu yang kugunakan hnaya untuk memikirkannya. Tapi apa? Aku berpikir keras. Saking kerasnya aku sampai tertidur. Terbuai lagi oleh mimpi tentangnya.

***

Ternyata upayaku tak percuma. Aku mencoba peruntungan di dunia bisnis. Dagang. Aku baru ingat kalau aku punya teman yang mempunyai usaha kerajinan dan ia sudah punya beberapa store di Ibukota. Namanya Dian. Tanpa perlu perundingan alot, kami sepakat bekerja sama. Aku akan membuka satu store di Bogor dan keuntungan segala macam sudah dibuatkan perjanjian hitam di atas putih. Dengan bantuan kekasihku, jadilah toko milikku hanya dalam waktu satu minggu.

Letak tokoku cukup strategis. Di pinggir jalan, lokasinya cukup dekat dengan Universitas ternama di Bogor. Dan di sekitar tokoku banyak sekali cafe dan distro. Belum ada toko kerajinan tangan. Hanya ada milikku seorang disitu. Senyumku mengembang begitu menikmati pemandangan luar dari balik kaca jendela tokoku.

Tapi rupanya, eksterior dan interior toko yang menarik tidak menjamin bisa menarik pelanggan. Semenjak buka perdana jam 10 pagi tadi, belum ada satu orang pun yang berkunjung. Kuperhatikan dari dalam, orang-orang hanya seperti berjalan numpang lewat di depan toko. Satu dua orang melirik. Tapi tak satupun berani melangkah masuk. Aku rasa, aku butuh bantuan.

Tuuut..tuut..tut..tut..

Direject pada nada sambung pertama. Ah, Dandy kan sudah bilang kalau siang ini ia ada meeting penting di Hotel Indonesia. Huft. Aku harus minta saran sama siapa nih. Sudah pukul satu siang. Kurasakan perutku mendengkur pelan. aku sampai lupa jam makan siang. Kulihat ada sebuah warung tenda di seberang yang  ramai sekali. Pasti makanannya enak.

“Bu, nasi bebek satu porsi ya dibungkus!” ucapku hampir berbarengan dengan salah satu lelaki di sebelahku. Aku meliriknya, ia menangkap lirikanku.

“Aduh maaf nak, bebeknya tinggal satu porsi. Gimana?” kata ibu penjual.
“Yaudah bu, saya pecel ayam saja.” Ralatku cepat.

“Eh kalo mba mau nasi bebek, ngga apa-apa. Biar saya pakai ayam saja.” Sanggahnya. Ibu tukang jualan terlihat bingung. aku hendak protes. Namun ia tersenyum manis sekali pada Ibu itu sehingga langsung dituruti keinginannya.

“Terima kasih, ya.” ucapku tulus begitu menerima bungkusan nasi bebek.

Ia mengangguk. “Anak fakultas mana?” tanyanya berbasa-basi.

Aku menggeleng. “Saya bukan mahasiswi. Saya SPG yang jaga toko baru di seberang sana.” Jawabku sambil menunjuk tokoku.

Ia ber-oh lalu berlalu pergi. Aku mengangkat bahu dan segera pergi dari situ. Berada di tengah-tengah mahasiswa-mahasiswi cukup membuatku tampak seperti alien. Paranoid!

***

Pertemuan pertama barang-kali memang tak semuanya bisa menimbulkan kesan mendalam dalam hati. Justru seharusnya kita berhati-hati di pertemuan yang kedua dan selanjutnya. Karena kita tak pernah tahu, kita tak pernah bisa menebak apa yang akan terjadi. Begitupun dengan cinta.

Aku bertemu dengannya lagi keesokkan harinya. Tepatnya ia yang menemuiku. Awalnya kupikir ada calon pelanggan yang tertarik dengan tokoku. Begitu pintu kaca buram membuka, aku langsung ingat wajah itu. Mahasiswa kemarin yang memberikan nasi bebek.

“Hai! Masih ingat sama aku?” tanyanya ringan sambil berjalan ke arahku yang sedang duduk di belakang meja kasir.

Aku tersenyum mengangguk. “Silahkan melihat-lihat.”

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling toko. Tersenyum lalu kepalanya mengangguk-angguk pelan. Aku masih tak bisa menebak untuk apa kedatangannya. Apakah memang tertarik dengan tokoku, atau ?

Aku memperhatikan gerak-geriknya. Jangan-jangan ia punya hobi mengutil barang. Aku harus waspada dan terus memperhatikannya. Tapi tidak terlihat seperti orang yang suka menguntil. Penampilannya sangat anak muda. Casual. Mungkin itu yang cocok untuk menggambarkan bagaimana cara berpakaiannya. Umurnya sepertinya di bawahku. Wajahnya baby face. Sulit menebak pasti umurnya.

Ia berhenti berputar-putar di tokoku. Membawa sebuah frame cantik berhiaskan kerang laut warna biru ke meja kasir. Aku meraihnya, melihat tag harga, memasukkan frame ke dusnya lalu kumasukkan ke dalam paper bag.

“Lima puluh ribu rupiah.” Ucapku pelan.

Ia mengulurkan selembar uang seratus ribu. Kuberikan kembalian lima puluh ribu. “Ini kembaliannya, terima kasih.” Aneh. Pelanggan pertama tapi aku tidak senang. Aku malah merasa terganggu olehnya.

Bukannya cepat-cepat pergi, ia malah asik berkutik dengan uang kembalian yang kuberikan. Aku diamkan saja.

“Ambil aja kembaliannya buat kamu. Gantinya..” Ia tersenyum manis sekali lalu mengangkat tanganya ke udara, membentuk isyarat “Call me”. Alisku terangkat. Dia mahasiswa atau apa sih? Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya.

Kuraih uang lima puluh ribu yang ia letakkan di atas mejaku. Ah! Rupanya ini maksud dia. Kupandangi 12 digit angka yang tertulis dengan pensil berjejer rapih disamping wajah pahlawan. Di bawahnya angka-angka, tertulis dengan huruf cetak ARDANA.

Jadi, ini maksud sebenarnya ia datang ke tokoku?
Jadi, inikah cara yang dilakukan mahasiswa zaman sekarang untuk pedekate? NORAK

***

Kluk.kluk. ada chat masuk ke handphoneku.

Hai Rissa Ayutri!

Siapa nih? Nomer tak dikenal. Kulihat foto profil chatnya. Anak anjing? Kayaknya aku ngga punya teman yang pelihara anak anjing kayak gini deh.

Maaf siapa?

Beberapa menit kemudian, chattingku tak berbalas. Mungkin hanya orang iseng. Atau? Ah, mana mungkin si Ardana-Ardana itu tahu nomer teleponku. Eh? Tapi kan, aku mencantumkan kontak di struk belanjaan tokoku. Mungkin saja ia memeriksa struk frame yang ia beli tadi. Tapi, Anjing? Kalau dilihat dari orangnya sih, tidak mungkin ia seorang penyayang binatang. Sudahlah, jangan dipikirkan.

Berguling-guling di tempat tidur saja benar-benar membuatku bosan. Aku juga sedang tidak mood. Ah percuma saja aku punya kegiatan tapi di malam hari aku tetap nganggur sementara Dandy masih sibuk dengan pekerjaannya itu. Lagi-lagi lembur. Sudah seminggu ini aku tidak pernah mendapatkan telepon selamat tidur darinya. Apa aku saja yang telepon ya? Memangnya Dandy tidak kesepian malam-malam seperti ini masih di kantornya. Ide bagus!

Tidak diangkat. Kucoba sekali lagi. Horeee! Diangkat di nada sambung ketiga!

“Halo?” kok suara cewek?

“Halo? Halo?” aku tak bisa menjawab. pelan-pelan kutekan tombol end call.
Astaga. Dandy benar-benar harus memberikan penjelasan kepadaku. Tadi sore dia bilang harus lembur malam ini karena ada laporan yang harus ia selesaikan. Bodohnya aku percaya begitu saja. Ternyata ia asik bersama dengan seorang wanita! Teganya Dandy. Sudah berapa kali ia membohongiku? Inikah arti kedewasaan yang selama ini ia ajarkan?

Kunyalakan radio dengan kasarnya. Rasanya aku butuh musik untuk menghiburku. Penyiar radio baru saja mengakhiri cuap-cuapnya. Terdengar alunan musik. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan kejadian tadi. Aku harus fokus mendengarkan musik. Ah, lagu Ten 2 Five. Aku sangat suka akustikan mereka. Tapi inikan lagu? 
Who’s that girl. Radio seakan bisa membaca hatiku. Benar. Hanya satu pertanyaan yang perlu Dandy jawab: Siapa perempuan itu?

***

“Berani-beraninya kamu bohong, Dandy!!” teriakku sambil berusaha keras tak melempar handphoneku, saluranku berbicara dengannya. Tadi pagi aku mengajaknya makan siang bersama. Tapi apa katanya? Ada meeting dengan klien siang ini sekalian makan siang. Alasan klasik. Aku yakin, ia pasti sudah sangat lihai berbohong. Menjadikan pekerjaan sebagai kambing hitam perselingkuhannya.

Dandy pura-pura tak mengerti. Dasar buaya!

“DASAR PEMBOHONG!” aku langsung memutus telepon. Kumatikan handphone lalu kulempar jauh-jauh.

Ups. Handphoneku ditangkap seseorang.

“Kenapa handphonenya dilempar-dilempar?” Cowok itu. Sejak kapan dia ada disitu? Jangan-jangan dia mendengar semuanya?

“Kamu. Sejak kapan ada disitu? Kamu dengar semuanya?”

Ia mengangguk pelan. memasang muka merasa bersalah. Menaruh hp-ku yang sedari tadi ia genggam.

“kamu tidak lihat papan di pintu kalau toko ini masih Closed?” tanyaku tak sabar.

“Maaf. Aku kira, kamu lupa membalikkan papan tanda itu. karena aku melihat kamu ada di belakang meja kasir. Aku mau memberitahu kamu kalau kamu lupa membalikkan papan tanda itu.” Jelasnya pelan. Ekspresinya sama sekali beda dari kemarin. Tak ada tanda-tanda ia akan jahil lagi

Aku hanya bisa menunduk. “Maaf.” Ucapku akhirnya.

Ia mendekatiku, melipat tangan di atas mejaku lalu menaruh dagunya di atas tangan itu. 

“Ada masalah?” tanyanya perhatian. Sama sekali tidak menyiratkan kalau ia ingin ikut campur, tapi ia hanya peduli padaku. Wajahnya menggambarkan itu. Aku hanya menggeleng pelan. Aku bukan tipe orang yang sedikit-sedikit curhat. Apalagi dengan orang yang baru kukenal beberapa hari ini.

Ia tersenyum lalu dengan misterius mengeluarkan sesuatu. Selembar kertas. Selanjutnya ia mengambil pulpen yang sedaritadi kumainkan. Pulpenku sekarang diajaknya menari-nari. Pasti dia nulis nomer teleponnya lagi.

Disodorkan kertas itu. Setelah meletakkan pulpenku di atas meja, ia tersenyum lagi lalu meloyor pergi. Aku masih memegang kertas itu. Tulisannya sangat bagus.

Kalau kamu murung, bunga-bunga yang biasanya mekar disekelilingmu langsung layu loh. Ayo senyum, kayak cewek cantik dibalik sini :)

Gombal! Kubalikkan kertas itu. eh? Itukan aku. aku sedang tersenyum sambil mengelap kaca toko. Kapan dia mengambil fotoku? Cowok itu benar-benar konyol. Hihi tapi dia pintar juga mengambil fotoku diam-diam. Aku terlihat sangat bahagia di dalam sana. Ia benar, seperti ada bunga bermekaran di sekelilingku.

Hatiku rasanya sudah berbalik lagi. Dari kesal menjadi senang. Karena cowok gila itu. Ah, ternyata dia sangat perhatian sekali. Beda dengan Dandy yang mungkin sudah tak peduli lagi bagaimana perasaanku saat ini. Buktinya, ia tak mencoba menghubungiku. Oh oke, hp memang sudah kumatikan. Tapi tidak bisakah ia langsung datang menemuiku untuk menjelaskan semuanya? Tentu saja jawabannya tidak bisa. Lihat prioritas dalan hidupnya. Aku pasti berada dalam urutan kesekian.

Dandy, haruskah aku melepasmu?


***
to be continued