Masa-masa break ini sangat kunikmati. Aku sama
sekali tidak memikirkan Dandy saat menjalani hari-hariku. Justru cowok lain
yang mengisi hari-hariku sekarang. Ya, dia adalah Ardana.
Ardana menyadarkanku akan banyak hal. Ardana
selalu membuat senyumku mengembang meski sebelumnya dibuat jengkel oleh
kelakuan jahilnya itu. Ardana membuatku belajar bahwa cinta itu harus bisa
membuatmu selalu tersenyum dan tersipu meski sesekali boleh dibumbui oleh isak
tangis. Karena katanya, cinta tanpa air mata itu bagaikan sayur tanpa garam.
Kurang asin, kurang gurih, kurang nikmat.
Hati dan pikiranku sekarang dipenuhi oleh satu
nama. Ardana. Sepertinya aku memang jatuh cinta pada mahasiswa konyol satu ini.
Dan sepertinya juga, aku ingin menyudahi proses intropeksi diriku.
Dandy takkan pernah bisa tahu apa yang sebenarnya
aku inginkan. Cinta yang sudah lama terjalin, perlahan pasti akan menghilang.
Dengan adanya cinta yang baru ini, aku yakin hatiku akan lebih baik dan
bahagia. Meski cinta ini baru tumbuh, entah kenapa aku yakin.
Malam ini aku akan mengatakan pada Ardana tentang
keputusanku.
Aku sudah berdandan sempurna untuk malam ini. Sangat
kebetulan sekali Ardana mengajakku makan malam. Apalagi ketika ia bilang bahwa
ada sesuatu yang harus ia katakan.
Pukul 08.00 malam
Kami berdua sudah duduk manis di meja makan sebuah
Cafe dengan pemandangan lampu-lampu kota yang gemerlapan. Sebuah lilin
menghiasi meja kami, menambah romantis malam ini. Jantungku bahkan sudah
deg-degkan tak karuan sedari ia menjemput di depan rumah.
Ia memuji penampilanku malam ini.
“So pretty, princess.” Matanya menatap dalam
mataku. Membuatku tersipu akan ucapannya sekaligus kelabakan membalas tatapan
matanya.
Sepanjang jalan aku tidak berani menatapnya meski
kutahu sesekali ia curi-curi memandangku. Malam ini cerah. Dihiasi
bintang-bintang dan satu bulan sabit. Sempurna bukan? Untuk sebuah pernyataan
cinta.
“Jadi, Ardana. Apa yang sebenarnya mau kamu
bicarakan malam ini?” tanyaku membuka pembicaraan setelah kami berdua sudah
menyelesaikan makan, menaruh garpu dan sendok pada piring.
Ardana tersenyum.
“Tentang aku.” jawabnya tenang.
“Kamu?” ia mengangguk.
“Perlu kuakui, Rissa. Satu hal saja. Aku nggak
suka bertele-tele, jadi aku langsung bicara pada pointnya saja. Oke?” Giliran
aku yang mengangguk.
“Aku suka kamu. Aku sayang kamu. Aku mau kamu
bahagia.” Ucapnya tegas tanpa gagap tanpa tersendat. Jantungku semakin tak
karuan.
“Ke-na-pa?”jujur aku kaget sekali ia bisa
menyatakan perasaannya selancar itu.
“Nggak ada alasan untuk bisa suka sama kamu. Dan
aku yakin, setiap cowok yang sudah dekat
sama kamu, pasti bisa merasakan kenyamanan seperti ini.”
Aku menunduk. Sepertinya ini memang saat yang
tepat untuk bahagia.
“Ardana, akupun ingin mengatakan sesutu denganmu.”
Ia hanya mengangkat alisnya dan memberi isyarat,
“Silahkan.”
“Aku.. mm aku sudah memutuskan. Aku ingin
benar-benar break dengan Dandy. Dia ngga akan bisa buat aku seperti aku kalau
bersama kamu. Dan aku rasa, mengakhirinya lebih cepat akan lebih baik.”
Ardana tampak sangat kaget. Ia bengong. Sudah
tanggung aku bicara.
“Aku, mm aku sayang sama kamu. Rasanya, aku pasti
bisa bahagia kalau selalu bersama kamu.”
Ardana diam terpaku. Lalu tertawa.
Eh?
“Kamu kenapa malah ketawa sih?” Sumpah aku nggak
ngerti apa yang ada di pikirannya. Mahasiswa ini memang gila, tapi masa otaknya
sampai rusak gitu?
Bukannya menjawab. Ia malah menggemgam kedua
tanganku, menyatukan keduanya. Tatapannya kembali serius.
“Dengar. Aku memang sayang sama kamu. tapi bukan
berarti cinta membutakan aku. aku ngga ada niat sama sekali untuk merebutmu
dari Dandy. Dan tentangku. Aku bukanlah faktor utamamu.”
Aku mengerenyit. “Maksud kamu?”
“Aku memang sayang sama kamu. cinta malah. Tapi
ini bukan hanya soal cinta. Dan sekarang ini kita bukan sedang membahasa
tentangku, tapi tentang kamu. Segala tentangmu dan kebahagiaanmu, tak
menjadikan aku sebagai faktor utamamu.”
Aku semakin tak mengerti.
“Kebahagiaan kamu adalah Dandy. Laki-laki yang
sekarang berada di belakangmu.”
Eh?
Berat aku menoleh. Aku menutup mata. Dan begitu
aku membuka mata, benar. Sosok itu adalah Dandy. Laki-laki yang akan kuputuskan
nanti setelah aku katakan keputusanku pada Ardana. Tapi apa yang terjadi
sekarang?
“Kembalilah. Aku hanyalah seorang pengganggu yang
kebetulan lewat saja. Yang kebetulan mengetahui masalah kalian berdua. Tapi aku
juga bisa merasakan setiap kamu mengucap ataupun mendengar nama Dandy. Matamu
ngga pernah bisa bohong.” Ardana melepaskan genggamannya. Mengambil satu
tanganku lalu direkatkannya pada sela-sela jemari tangan Dandy.
Aku tak bisa bicara apa-apa. Tepatnya, aku ngga tahu mesti bilang apa. Aku
menatap mata Ardana. Tapi matanya kini sudah tak menatapku. Matanya berlabuh ke
lelaki yang kini menggenggam erat tanganku. Aku hanya bisa menunduk.
“Kayaknya kalian butuh bicara berdua saja. Aku
pamit dulu.” Lalu ia pergi.
“Rissa?” gumam seorang lelaki di depanku.
Aku tidak berani mengangkat kepala. Bukan karena
gugup bertemu Dandy. Tapi, aku masih tak percaya engan apa yang Ardana lakukan.
Jadi apa sebenarnya yang ia lakukan selama ini? Membuatku bahagia, lalu pergi
begitu saja? Aku merasa dipermainkan oleh anak kecil itu. Laki-laki memang.
Well. Brengsek.
“Rissa?” gumamnya lagi. Kali ini aku mengangkat
kepala. Memaksa mata ini untuk melihatnya. Jujur, aku merasa tidak mengenali
lelaki di hadapanku lagi.
Lalu Kami sama-sama membisu. Tapi masalah ini
harus selesai. Aku tak bisa lama-lama mengalihkan pandanganku, kutenggelamkan
mataku kedalamnya. Mata kami berbicara. Dan Dandy seperti tahu pertanyaan yang
berputar di kepalaku.
“Wanita itu asistenku. Hanya asisten, sungguh.
Memang hanya ia yang kupercaya untuk mengangkat telepon di hpku. Aku bahkan
sampai lupa kalau asistenku adalah seorang wanita juga, sama sepertimu. Makanya
aku bingung ketika kamu menuduhku selingkuh.”
Aku tersenyum mendengar penjelasannya. Mau
selingkuh beneran juga, aku sudah tidak peduli kok.
“Rissa. Aku sadar aku tak punya banyak waktu untuk
bisa menemanimu. Tapi perlu kamu tahu, bahwa setiap menit aku bekerja, kamu
selalu hadir dalam khayalanku, mengganggu konsentrasiku bekerja. Mulai saat ini
aku janji sama kamu, aku akan meluangkan waktu lebih banyak lagi buat kamu.”
“Aku ..”
“Sudah Rissa. Kamu ngga perlu bicara apa-apa lagi.
Cukup jawab pertanyaanku. Apakah kamu mau menikmati hari-harimu kedepan
denganku?”
Dandy merogoh sesuatu dalam kantung celananya.
Sebuah kotak kecil. Dibukanya perlahan di depanku. Aku kaget sekali melihat
sesuatu yang bersinar itu.
“Will you marry me?”
Eh?
Aku tergagap. Kenapa?
Aku benar-benar tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Maaf Dandy. Mungkin aku adalah perempuan jahat. Tapi aku tidak bisa
terus-menerus mengalahkan hati ini dan terus menjalani hidup hanya dengan mengandalkan
logika.
Dandy tampak menunggu jawabanku.
Aku pegang erat tangannya. Dandy terlihat tersipu.
Aku menutup mata lalu kulepaskan genggaman tanganku.
“Maaf Dandy.... Aku tidak bisa.”
Ia terperangah dan menuntut alasan dariku.
“Bukan soal wanita itu. Tapi, ini soal aku. Dan bukan
hanya tentang cinta. Tapi, Soal kebahagiaan.”
Aku tinggalkan Dandy yang masih duduk terpaku. Dia
sama sekali tidak mengejarku, sesuai harapanku.
Aku rasa, aku butuh kesendirian.
Semua rasa bercampur aduk.
Ini bukan hanya tentang cinta. Benar. Dan aku akan
cari jawabannya dengan kesendirian dan melarikan diri. Setidaknya harus pergi
dari kota ini dulu. Menenangkan hati dan logikaku yang tak pernah bisa
berdamai.
***